UBAH PIKIRAN JADI NYATA

Ubah Pikiran Jadi Nyata

Oleh: Hojot Marluga

Seorang filsuf William James (1842-1910) dengan revolusioner pernah menulis, “Jika Anda ingin hidup berkualitas, bertindak seolah-olah Anda sudah memilikinya.” Disinilah perubahan dimulai. Namun prosesnya seumur hidup. Kesempatan untuk berubah lebih baik aspek di kehidupan dan mustahil dihindari. Niat berubah lebih baik mesti dimiliki, walaupun usaha ini membutuhkan waktu dan dedikasi yang tak mudah. Bertimbun orang butuh waktu lebih mengerjakan perubahan. Bahai, perubahan besar tergapai bila dilalui proses berlahan, tentu, problemnya tak setiap orang bisa konsisten berubah, tentu karena tak langsung nampak perubahan yang lebih baik. Permasalahnya, apakah seumur hidup perubahan yang dinanti selalu berjalan di tempat yang sama? Tentu, dalam menjalani proses butuh kesungguhan agar hasil yang mungkin saja bereaksi seumur hidup.

Disinilah gagasan Wallace D Wattles, dalam bukunya The Science of Being Great tepat menyebut, perlu ketegasan dalam kebiasaan untuk mencapai hidup penuh keagungan. Tak ada yang bisa kecuali sikap pribadi Anda, dan sikap pribadi Anda tak akan salah jika percaya dan tak takut. Karena problem kita soal kebiasaan. Kesulitan terbesar mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru.

“Dunia dikuasai kebiasaan. Para raja, tiran, tuan, dan plutokrat hanya mempertahankan posisinya karena orang-orang telah terbiasa menerima mereka. Segala sesuatu seperti apa adanya hanya karena orang-orang telah membentuk kebiasaan menerimanya sebagaimana adanya. Ketika orang mengubah kebiasaan pikir mereka tentang lembaga-lembaga pemerintahan, sosial, dan industri, mereka akan mengubah lembaga-lembaga itu. Kebiasaan menguasai kita semua.”

Karena memang, perubahan membutuhkan proses, waktu dan kemauan keras, serta sikap yang kuat, dan tentulah tak akan ada perubahan bisa berjalan seumur hidup jika tak dimulai dari langkah-langkah sederhana. Jikalau gagal ulang lagi sampai ada secercah perubaan. Kegagalan saat berubah malah ditimpali sebagai bekal belajar untuk makin mumpuni. Perubahan membutuhkan disiplin dan konsistensi. Dalam berbagai riset ilmiah menyebut bahwa proses perubahan atau transformasi pada tiap orang memang berbeda-beda. Namun garis merahnya saat perubahan membawa pada berperilaku lebih baik, hidup lebih baik dari hari ke hari.

Tepatlah ungkapan yang mengatakan, pengalaman adalah guru terbaik. Disinilah keberhasilan tak hanya membutuhkan kemauan, tetapi untuk mendapatkannya lebih baik butuh pengorbanan, dan memperluas jaringan pertemanan, beradaptasi dalam setiap keadaan yang ada. Adaptif senantiasa oleh karena perubahan yang senantiasa terjadi. Perlu menghilangkan ego, cara pandang yang lebih baik dari yang kemarin, paradigma yang lebih baik.

Disinilah perlu cerdas dan aktif membaca perubahan. Jangan takut akan perubahan. Di kehidupan ini dinamika akan selalu terjadi, gelombang perubahan selalu menerpa, hanya bagaimana menjadikan perubahan untuk kebaikan. Pergumulan aktif dan rumit tak terelakkan, namun manusia-manusia cerdas akan mampu menjadikan setiap keadaan untuk kebaikan. Krisis itu perlu untuk menemukan peluang baru. Justru krisis memaksa perubahan dari kenyamanan dari pikiran yang mengidap anti perubahan. Kondisi tak nyaman itu penting untuk perubahan. Namun diri yang tak siap untuk menerima perubahan-perubahan akan letih.

Efek pikiran

Beralih dimulai dari mengubah profil, termasuk kebiasaan yang tak baik, karakter yang tak baik. Pertanyaannya mengapa mengubah kebiasaan itu sangat sulit?  Menurut Geil Browning PhD seorang pendiri Emergenetics LLC dan The Browning Internasional dalam bukunya Menyadap Ilmu Kesuksesan Emergenetics menyebut, bahwa ternyata otak manusia membentuk sambungan saraf setiap mempelajari hal baru. “Ketika Anda lahir, terdapat banyak sirkuit dasar. Pada tahun-tahun pertama, pertumbuhan neuron terjadi pada tingkat yang menakjubkan, yang kemungkinan kita belajar, mengingat, berbicara, dan bergerak.”

Bahkan, menurut Browning, saat memasuki pubertas, tingkat pertumbuhan menurun. Pada masa pendewasaan, otak menghasilkan sambungan yang lebih kuat di antara sirkuit yang dipakai secara teratur. “Pada saatnya, sirkuit dan neuron yang jarang terpakai akan terbuang dengan sendirinya. Disinilah sirkuit neuron yang efisien mempermudah kita melakukan beberapa hal secara otomatis.” Di pihak lain, salah satu sebab mengapa kebiasaan buruk sulit dihentikan adalah karena otak telah terbentuk untuk melakukan kebiasaan tanpa berpikir.

Itu sebab kegaliban sering disebut impulsif oleh karena hanya menuruti kebiasaan, watak. Orang yang mampu berubah memiliki kebiasaan melakukan sesuatu dengan berpikir, semua keputusan diambil dengan berpikir secara matang. Meski terdengar sulit mesti dicoba dan tetap santai, dan jangan berpikiran negatif.  Dari pikiran menunjukkan apa yang diterimanya. Pikiran negatif disebabkan karena selalu menerima hal-hal negatif. Artinya, pikiran dan leluri dapat memengaruhi suasana hati. Tanpa disadari, musuh terbesar bagi diri adalah diri sendiri. Karenanya, untuk bisa berubah, jangan berkutat pada kelemahan atau situasi buruk yang sedang dihadapi diri. Itu alasannya mengapa dianjurkan untuk sering berpikir positif, dan jangan remehkan efek pikiran.

Tentu untuk mengubah rasam dibutuhkan kekuatan tekad, sebab faktor terpenting dari pasca berpikir adalah bertindak. Saat seseorang menapaki jalan hidup adalah tekad. Banyak orang yang berhenti disaat dituntut usaha lebih, tentu orang yang punya tekad yang kuat pasti dapat menanggungnya, berusaha untuk mewujudkannya. “Pekerjaan hebat tak dimulai dengan tenaga besar, melainkan dimulai dari hal keci dari langkap per langkah. Ada proses yang persisten. Ada kebulatan tekad. Lagi-lagi konsistensi kekuatan sangat dibutuhkan jika seseorang ingin meraih impian. Kekuatan mental untuk menindaklanjuti resolusi, disiplin diri, berfokus pada kekuatan bukan pada kekurangan. Sumber kekuatan terbaik bagi manusia adalah tekadnya tadi.

Menuju kelimpahan

Dalam mengusahakan perubahan penting merasakan sukacita di hati, dan gembira. Hati yang terus terasuh, terus berusaha dan senantiasa bersukacita, maka apapun keadaannya, baik suka dan duka. Tak akan gentar. Saat menanggung dukacita jadi tempat paling meresapi asuhan jiwa, bahwa memang banyak hal yang tak dapat dimengerti, tetapi segala keruwetan penting untuk menguatkan bukan memperkeruh kejernihan pikiran. Tatkala sedang dalam dukacita diminta menenangkan hati dan pikiran. Hati yang gembira membuat muka berser-seri, tetapi kepedihan hati membuat semangat keder. Hati sumbu dari di mana sukacita bersemayam di atasnya. Disinilah semakin mengejar hal-hal duniawi, semakin diri merasakan kegelisahan. Ada sukacita dan kebahagiaan yang mendalam dirasakan sewaktu ada pengorbanan, semakin bersukacita dan merasa puas di kedalaman hati. Memang tujuan dari kehidupan, paling dicari dalam hidup, sukacita akan membawa spirit baru, kasih dan kedamaian itu menghadirkan sejahtera.

Merasakan sukacita lebih banyak dalam hidup, merasakan gembira oleh karena dilepas dopamin dan serotonin. Sebaliknya saat suasana hati sedang muram, cobalah berteriak sekeras-kerasnya, buang jauh-jauh pikiran yang buram. Amsal menyebut, hati yang gembira adalah obat manjur. Pikiran yang sehat berdampak pada tubuh yang sehat. Penyakit kadang-kadang timbul dan sering lebih berat karena angan-angan yang tak tercapai. Pikiran yang merasa puas, roh yang bergembira itulah yang menyehatkan jasad, tubuh. Kuasa memberi hidup yang mengagumkan dalam sukacita. Jikalau bersukacita dalam Pencipta, ada kesejatian, sebab hanya di dalam Dialah ditemukan sumber sukacita sejati. Jika tak menemukan sumber sukacita itu akan merasakan kehampaan, kekosongan jiwa. Hati tak gembira, tak riang sudah tentu karena tak ada kegembiraan, sebab hanya Pencipta mengubah keruwetan jadi sukacita kodrati.. Bersukaria bukan berarti selalu riang gembira di tengah keadaan, namum sukacita modal utama agar tetap antusias.

Bila diri telah antusias, tentu akan menular kebaikan, jadi figur yang inspiratif bagi sesama. Lalu, dapatkah pikiran mempengaruhi kenyataan? Dr. Joe Dispenza dalam bukunya Evolve Your Brain, The Science of Changing Your Mind menyebut, bahwa otak sebenarnya tak mampu membedakan sensasi fisik nyata dari sebuah pengalaman internal yang terjadi di tubuh. Sehingga, materi abu-abu itu bisa dengan mudah terpedaya mengubah diri sendiri ke dalam kondisi kesehatan yang buruk ketika pikiran terfokus secara kronis pada suatu pemikiran yang negatif. “Bagaimana jika dengan berpikir saja kimiawi dalam tubuh bisa begitu sering melonjak hingga di atas kondisi normal sehingga sistem pengaturan tubuh akhirnya mendefinisikan kondisi tak normal tersebut menjadi kondisi biasa?” Dispenza,  membuktikan merubah kondisi cacat tubuhnya melalui kekuatan pikiran.

Tentulah, manusia diberikan kehendak langgas, bebas. Kehendak bebas (free will) untuk kemungkinan-kemungkinan, berubah untuk intensitas, memilih jalan hidup yang dipilih. Diri dapat memilih taat pada Pencipta atau memberontak kepadaNya, baik menuju kesuksesan atau kehancuran, serta kebebasan menanggung sendiri, tentu semua ada konsekwensinya. Pencipta menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi, karenanya  walaupun diberi kehendak bebas, manusia tak bisa sesuka hati. Karena itu nafsi perlu bijak membuat keputusan, menundukkan kehendak bebas padaNya.

John Piper dalam bukunya Think, The Life of the Mind and the Love of God; menyebut orang sering menganggap pikiran dan perasaan adalah dua hal yang berbeda, terutama ketika keduanya dikaitkan dengan pengalaman kekristenan. Tapi memuliakanNya dengan pikiran dan hati kita, bukanlah pilih salah satunya, tapi mesti menggunakan keduanya, dengan berfokus pada cara menggunakan pikiran akan bisa mengenal Pencipta lebih baik, mengasihi Dia lebih baik dan lebih peduli pada dunia oleh karena sudah menerima kelimpahan. Jalan menuju kelimpahan membawa pada perubahan, bertobat, memberitahukan jalan kehidupan sesungguhnya.

Berjumpa dengan semberNya, jalan menuju hidup yang utuh dan berkelimpahan itu. Salah satu jalan dimudahkan jalan menuju kelimpahan tersebut diberikanNya inspirasi dari pikiran berupa ide-ide, pikiran yang bernas, gagasan afiat mencari solusi, jalan keluar dari kebutuan. Tentu, jalan bebas hambatan ke kelimpahan itu di sini jangan ditafsirkan sebagai material semata, tetapi damai sejahtera. Kasih memberi hidup, hidup jadi bermanfaat dan memberi kecerahan yang menuntun pada kelimpahan sejati. Tentu, jika pikiran tunduk pada Pencipta memberi hikmat. Tentulah pikiran tak mengantikan kasih karunia, sebab semuanya hanya dari sang Pencipta. Jadi tepatlah ungkapan dari Amsal 2: 3-36, sebab dari Dialah sumber pengetahuan dan kepandaian untuk menyulih suara diri, dari destruktif jadi konstruktif, dari khayalan jadi kenyataan.

Penulis adalah seorang jurnalis, editor dan motivator, penerima certified theocentric motivation (CTM). Bisa dikontak di Facebook: Hojot Marluga, Twitter: @HojotMarluga2 dan Instagram: hojotmarluga_book.

Menghidupi Indra Keenam

Rasa percaya diri alasnya di dalam diri. Inilah tiorem, semacam dalil. “Bila seorang percaya diri, akan membuat dirinya lebih smart.” Memang, ada hal yang mesti diperhatikan dekat-dekat rasa percaya diri yang berlebihan. Kepercayaan diri yang berlebihan, over confidence bisa jadi pergunjingan. Yang tepat, percaya diri berarti membangun diri, bahwa dalam dirinya percaya ada kelebihan yang dititipkan Tuhan. Sementara kepercayaan diri yang berlebih mengganggap bahwa dialah yang lebih hebat dari orang lain, sedangkan orang lain tak dianggapnya berarti. Di sini ego memuncak.

Sungguh, membangun kepercayaan diri, semacam alarm, pengingat bagi diri kita, bahwa kita punya potensi (talenta) yang diberikan Tuhan. Mengotosugesti diri, menyadarkan kita bahwa kita sama “setara” dengan orang lain. Salah satu tokoh yang mendalami otosugesti, Dr John Kappas mengatakan, ada tiga hal yang bersangkutan dengan otosugesti. Pertama, sugestibilitas emosi, diartikan, seseorang yang lebih menitikberatkan pada penerimaan berdasarkan makna yang terkandung.

Seseorang yang mempunyai karakter sugestibilitas emosi seperti ini cenderung memberikan reaksi lebih besar terhadap sugesti-sugesti yang bernuansa emosional. Kedua, sugestibilitas fisik, lebih menitikberatkan sensasi fisik dan akhirnya menjadi respons emosional. Ketiga, sugestibilitas intelektual cenderung merasa khawatir akan hilangnya kontrol terhadap dirinya sendiri. Ini seumpama sugesti yang diberikan motivator. Motivasi dari luar sesaat sifatnya, yang lebih konstan motivasi dari dalam diri. Menemukannya dengan mengotosugesiti diri sendiri.

Meminjam kata, kitalah dokter terbaik dalam diri kita. “Kitalah motivator terbaik untuk diri kita.” Bicara otosugesti merupakan terma yang bisa diterapkan pada setiap orang yang tak bergairah,  maka perlu distimulus pikirannya untuk bertindak. Itu sebab, otosugesti mesti dipahami pada kedalaman diri. Dengan perkataan lain, otosugesti saran untuk mengantusiasme diri. Perkataan lain, peranti, partikel pemantik pada pikiran untuk bersegera bertindak. Tentu ini ranah alam bawah sadar.

Di sini bisa disangkakan negatif. Sebenarnya, positif, jika  dipahami mengotosugesti diri untuk terus menggali kemampuan diri, karena Tuhan sudah memberikan kuasa untuk dirinya. Bahasa rohaninya bagaimana memahami bahwa Tuhan hadir dalam tindakannya. Ada keyakinan bahwa ada Tuhan dalam seluruh totalitas hidupnya. Jelas, di sini sering menjadi perdebatan panjang. Yang merasa rohani berkata, hanya dia yang bisa mengklaimm ada Tuhan, itu batil. Tak valid, invalid.

 

Mengotosugesti diri

Otosugesti asal dari dua suku kata. Kata oto, penggerak sendiri, sugesti berarti sarana. Jika digabungkan berarti sarana dari diri sendiri untuk menggerakkan potensi diri. Otosugesti berarti semua jenis sugesti yang rangsangan timbul dari dalam diri. Merasuk ke dalam pikiran melalui penyadaran diri. Seyogianya yang dilatih adalah pikiran alam bawah sadar. Didengungkan terus-menerus. Diperkatakan tiap waktu. Misalnya, mengatakan, kepada anak, “Engkau adalah anak yang baik.” Terus menerus, satu waktu pikiran ada akan tersadar, diingatkan pikiran bawah sadarnya. Dan itu menjadi alarm mengingatkannya jika diperhadapkan pada satu dilema.

Prinsip otosugesti secara manasuka mengaras zona bawah sadar. Lalu, bagaimana menciptakan otosugesti? Alam bawah sadar kita memiliki kemampuan luar biasa akan memproses tujuan. Awalnya, ditetapkan tujuan, lalu selanjutkan ditonton film, cetak biru pikiran. Contoh, jika takut berbicara di depan umum. Maka caranya, kondisikan diri pada setiap waktu, setiap ada ruang untuk menyampaikan ide dalam pikiran. Sampaikan, sadari itu untuk pembiasaan. Ala bisa karena biasa. Kalau itu sudah ada, maka pasti tak akan takut lagi berbicara di depan umum.

Selanjutnya, sumbuhkan pikiran menjadi tindakan. Ada orang berteriak sekeras-kerasnya, tetapi tanpa suara. Ada semacam pemikiran, membayangkan kita telah mencapai tujuan. Berulang-ulang sehingga tercetak dengan pikiran. Ada layar mental bagi kita memperlihatkan bahwa yang kita cita-cita kelak akan tercapai. Asalah konstan, telaten dan penuh daya juang. Konon inilah yang disebut menghidupkan indra keenam. Bila indra ke enam kita sudah aktif hal itu akan memberikan antusiasme baru, cepat bertindak.

Dan, itu juga untuk yang membangun dan mengembangkan rasa percaya diri. Dalam buku Think and Grow Rich yang digores Napoleon Hill membahas tentang otosugesti. Menurut Hill, prinsip otosugesti, apabila difokuskan pada objek tujuan utama, perhatian yang terkendali adalah sarana untuk mengamalkan prinsip otosugesti secara positif. Artinya, jika seseorang benar-benar sangat menginginkan sesuatu sampai rela mempertaruhkan segala masa depannya, dia pasti akan berhasil. Jika orang benar-benar siap untuk mendapatkan sesuatu, sikap itu terlihat dari penampilannyaa.

Hasrat bukan lagi libido, tetapi keinginan mental yang mengkristal, menggumpal jadi antusias. Nyata-nyata hal itulah yang pada masanya membuahkan hasil. Intinya, otosugesti ada positifnya, mengingatkan diri agar menjadi penguasa takdir sendiri. Sebab memang, Tuhan sudah memberikan kita masing-masing kemampuan tersebut, sekarang tergantung kita. Apakah potensi itu akan kita temukan, atau tetap terkubur dalam-dalam lumpur kungkungan mental? Bersikaplah antusias untuk tetap mengotosugesti diri. Menjadi manusia yang matang lewat proses waktu dan pergumulan hidup. Melintasi pengalaman melahirkan pembelajaran, membawa akil balig pada mindset menyingkap potensi diri.

penulis adalah seorang Jurnalis, Editor dan Motivator CTM FB: Hojot Marluga IG: hojotmarluga_book & T: @HojotMarluga2

Antusias: Bahagia, Merdeka dan Bermakna

Antusias berarti hidup dengan kegairahan, atau semangat yang menggebu-gebu. Dengan antusias, menjadi kekuatan kita dalam mengarungi hidup ini. Bagi saya, jika kita mau antusias, ada tiga hal yang mesti kita hidupi dalam hidup keseharian kita. Apapun situasinya, tanda kita menghidupi “antusias” kita kepada Tuhan. Pertama, hidup bahagia dengan kesederhanaan. Kedua, merdeka dalam setiap situasi yang ada. Ketiga, hidup bermakna dengan menemukan panggilan jiwa kita, orang menyebutnya menemukan passion.

Adagium yang menyebut: “Kesederhanaan pangkal kebahagiaan” benar adanya. Kesederhanaan itu penting. Kesederhanaan bukan berarti ketinggalan zaman, tak perlu mengikuti zaman. Bukan! Kesederhanaan menggambarkan hidup apa adanya, bukan hidup ada apanya. Karena hidup ada apanya selalu menunjuk kemampuan finansial, hedon dan komsumeris. Apa yang diraihnya, apa yang dicapainya, apa yang dipunyainya dipamerkan. Padahal, di hampir seluruh fakta sejarah menyiratkan bahwa kesederhanaan selalu ditunjukkan orang-orang mulia.

Banyak orang yang kaya raya secara materi, tetapi sederhana gaya hidupnya, tak menonjolkan diri, karena mengerti bukan kemewahan kemuliaan, bukan fasilitas mewah mengangkat martabatnya. Itu jugalah sebab, umumnya yang sederhana, orang hidup apa adanya, memuliakan orang lain. Pada pasangan suami istri: Suaminya, dan sebaliknya, istri memuliakan suaminya. Maka untuk apa malu hidup sederhana? Sebab letak kemuliaan tak ada pada fisik yang terlihat, tetapi jiwa di lubuk terdalam.

Sebagaimana bait syair menyebut, terkubur di dalam sejuta pilu. Terpendam di dalam kalbu. Cahaya kemuliaan itu letaknya di dalam, tetapi memang terpancar keluar. Namun yang mengherankan amat latah orang memolesnya di luar saja, lupa menghidupi yang di dalam. Jadi terbiasa bermekap atau dijadikan solek untuk menutupi cahaya hati itu.

Mengutamakan kemewahan. Segelintir orang menjual kejujuran, menggadaikan harkat martabatnya demi ambisi keberpunyaan materi tadi. Berfoya-foya dan hidup hedon dipujinya sebagai kebahagiaan. Tak ada di kamusnya berhemat, sabar senantiasa, tidak berfoya-foya apalagi. Belajar prihatin, memantaskan diri atau mencukupkan diri pada apa yang ada padanya. Padahal, alih-alih kebahagiaan tak tergantung oleh situasi, baik buruk pun keadaannya. Tetapi, ini menyangkut suasana hati, batin, pikiran atau jiwa. Sekalipun harta banyak, jika hati dan semua perangkapnya, tetap belum bisa bersyukur, tak akan dapat melihat sebening kebaikan. Tak akan bahagia, tak mungkin bahagia.

Selanjutnya, yang mesti dimiliki adalah merdeka. Merdeka berarti tak terjajah, atau tak terpenjara oleh keadaan, baik buruk pun itu. Bisa juga kita sebut tak dikungkung oleh apa pun juga. Merdeka dari setiap intervensi apapun. Merdeka, kata lain happy dalam hidupnya. Tentu bukan merdeka, lalu bebas sebebas-bebasnya melakukan yang tak patut! Tetapi, bebas melakukan kepantasan, kebaikan yang positif.

Akhirnya, bukti kita juga menghidupi antusiasme dengan menunjukkan kebermaknaan hidup. Antusias dalam setiap keadaan cerminan dari memahami dan menghidupinya. Paling sederhana terlihat dalam diri seseorang yang memiliki kebermaknaan, menyadari panggilan jiwanya. Profesinya membawa kebermanfaatan pada orang lain. Dengan sikap antusias, menjadi motivasi baginya untuk terus mencari makna di kehidupan. Para seniman (artis) sudah lama mengetahui harta dunia hanyalah hiasan semata.

Kita ingat lagilah lagu Pambers: Cinta dan Permata...Harta adalah hiasan hidup semata. Kejujuran, keikhlasan, itu yang utama. Jangan kau taburi cinta dengan permata. Tetapi hujanilah semua dengan kasih sayang…

Lucunya, kita juga selalu tergoda mengejar hiasan itu, umumnya artis. Padahal, hiasan hanyalah ornamen pemanis, terlihat manis. Padahal, esensinya bukan terpaut melengket pada hiasan, tetapi di kedalaman makna. Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah kesementaraan, hanya kita lupa, bahkan, lupa dipermainkan oleh gurauan materi. Demi mengejar perhiasan meniadakan bahkan tak mempedulikan yang lain, yang ada kita menjadi egois.

Maka tanda orang yang memahami kebermaknaan, terlihat, sepeninggalannya, pasti meninggalkan kemanfaatan bagi orang lain. Orang yang menemukan kebermakaan dalam hidupnya adalah manusia mulia. Orang-orang yang mulia itu terlihat setelah mereka meninggal. Sekali lagi, apa yang dikerjakan semasa hidupnya, pastilah meninggalkan kebaikan bagi orang lain.

Tentu, sebagaimana kita tahu bersama dalam sejarah–tak selalu seluruhnya setuju dengan tindak-tanduk mereka, barangkali, ada yang pro dan kontra. Itu menandakan bahwa manusia tak ada yang sempurna seratus persen, semuanya menuju kesempurnaan. Memang memahami itu menandakan (ia) sosok yang tak tahu segala-galanya, tak mampu menghalau seluruhnya. Karena itu, modal utama perlu rendah hati. Kenyataan menyiratkan kerap kali kesombonganlah yang menonjol, menjauhkan orang dari kemuliaan di kemudian. Lagi-lagi antusiasme berarti juga selalu tabah, senantiasa gigih menghadapi segala permasalahan hidup. Hal itu menjadi obor ketika berada dalam jalan kegelapan. Karena itu, sikap arogan dan rasa suci diri, perlu disingkirkan, agar tak terjerumus pada jurang kesombongan, memetik keabadian.

penulis adalaha seorang Jurnalis, Editor dan Motivator CTM IG: hojotmarluga_book & Twitter: @HojotMarluga2

Melebihi Perestroika

Kata perubahan di seluruh jagat memang tak mungkin ditunda. Itu sebab perubahan disebut keniscayaan. Perestroika dalam bahasa Rusia disebut перестройка. Perestroika mulai terdengung tatkala di tahun 1980-an oleh Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev, kala itu menyebut “Perestroika” yang berarti perubahan yang masif, lebih tepatnya restrukturisasi. Merujuk pada perubahan yang lebih baik. Kemudian hari Perestroika menjadi program yang dirancangnya untuk mereformasi birokrasi dan ekonomi Uni Soviet. Tak hanya itu, pemikirannya kemudian dibukukan, diberi tajuk “Perestroika.” Isinya pemikiran baru untuk perubahan.

Dampaknya? Oleh pemikiran itulah, membuat Uni Soviet berubah total, kemudian hari menjadi Rusia yang sekarang. Oleh Rupert Murdoch mendengus kata Perestroika sebagai sebuah bisnis, naskah Perestoika dia prediksi bisa dijual ke mana-mana. Naskah itu kemudian dialihbahasakan ke berbagai bahasa dunia. Oleh perusahaan bisnis media Murdoch, mencetaknya menjadikan buku itu laku keras. Sama di negeri kita, Presiden Joko Widodo, juga mendengungkan Revolusi Mental. Intinya, untuk mentransformasikan mental atau perubahan pola pikir. Oleh pemikiran Kristen disebut Metanoia. Metanoia artinya: Pertobatan. Dalam arti yang lebih luas metanoia: Perubahan pola pikir. Berubah oleh pembaharuan budi, bertobat dari sesat pikir.

Lalu, apa maksudnya melebihi Perestroika? Maksudnya, boleh saja menggebu dalam pemikiran, namun jauh lebih bermanfaat melalui tindakan. Pikiran yang berubah ditindaklanjuti dengan sikap untuk lebih baik. Alih-alih, tindakan jauh lebih baik dari hanya sekadar kata-kata. Mengapa perlu perubahan? Sebab tanpa perubahan tak ada perbaikan. Memulai perubahan dimulai dari sebuh pikiran, bukan mengubah nama. Dalam Alkitab kita menemukan tokoh-tokoh, seperti Abrham menjadi Abraham, Simon menjadi Petrus, atau Saulus menjadi Paulus yang menunjukkan mereka berubah.

Namun, berubah berarti mengubah jalan hidup untuk lebih baik. Oleh pemikiran dari Paulus itu kita bisa mendapati sebuah ayat yang menunjukkan pentingnya sebuah proses perubahan yang berkelanjutan. “Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambarNya, dalam kemuliaan yang semakin besar” (2 Korintus 3:18).

Barang kali kisah inspirasi di kehidupan kita bisa tiru. Barangkali Anda kenal Ibu Guru Kembar. Dua orang perempuan kembar yang menjadi lokomotif perubahan, si kembar Sri Rosyati (Rossy) dan Sri Irianingsih (Rian). Keduanya telah berkiprah paling tidak seperempat abad memperjuangkan kecerdasan bangsa. Meski karya tak terlalu besar, tetapi keduanya berjuang dalam mencerdaskan bangsa melalui sekolah yang didirikan, yaitu Sekolah Darurat Kartini. Menurut keduanya, ada banyak cara berkontribusi untuk kemaslahantan rakyat. Salah satunya dengan menerbitkan buku.

“Melalui sebuah buku itu bisa diturunkan oleh generasi penerus bangsa dan ini sangat bermanfaat serta penuh inspirasi, tentunya. Apalagi ada metode cara mengajar yang seperti apa teman-teman kita yang di bawah,” sembari menambahkan, masyarakat kita bina dan justru mereka berterima kasih kepada kita. “Tapi kalau pemerintah mau membina rakyatnya, berarti harus melalui sebuah pendidikan, bukan lewat dikasih uang ketika pemilu, itu sangat salah. Karena pendidikan bisa mengubah harkat dan martabat manusia.”

Sudah tentu memulai perubahan, apalagi menjadi pelopor perubahan itu tidaklah mudah. Dalam perubahan pasti akan ditemukan jalan terjal,  jalan berkelok, bahkan berkerikil. Namun, jikalau telah memahami perubahan untuk kebaikan, kita tak akan gentar. Sudah menjadi habitusnya setiap perubahan pasti mendapat halangan. Perubahan kokoh dan membawa kebaikan apa bila mampu melewati ujian kesulitan.

 Meretas Perubahan

Meretas perubahan, berarti yang dulu terpuruk tak lagi terburuk, yang lama terkungkung menjadi disandung. Lalu, pertanyaannya mengapa banyak orang mengalami kesulitan meretas perubahan? Jawabannya, karena tak siap dan tak mau berubah. Tentu, perubahan tak selalu enak dan menyenangkan, sebab perubahan mengganggu kenyamanan. Mungkin juga susah berubah karena mengganggu zona kemapanan.

Barangkali sosok yang bisa menjadi inspirasi semangat perubahan yang ditunjukkan Matheos Berhitu. Dialah orang yang memenangkan lomba lari ultra Lintas Sumbawa 350 kilometer. Oleh semangat perubahan, dan tak ingin kehidupan ekonominya terus merangkak, Matheos berfotosintesis dari seorang sopir angkot menjadi sosok inspirator. Walau umurnya relatif tak muda lagi, 45 tahun. Tetapi tekadnya terus menggelora, mengubah kehidupan ekonomi keluarga.

Dari penghasilan 1,4 juta per bulan didapatnya dari menarik angkot, kini menjadi public pigur bak seperti sebrani yang menarik fulus. Tentu jauh sebelum memenangkan lomba, Martheos jauh-jauh hari sudah terbiasa melatih diri berlari 600 kilometer. Antusiasnya dalam mengubah hidup dibuktikan dengan kerja keras, berkorban dengan latihan keras. Kegigihan melatih diri, itulah niat mau berubah. Atas kehebatan yang ditorehkannya, kini ia digadang-gadang menjadi pegawai negeri oleh pemerintah Maluku. Jiwa perubahan yang menjadi inspriasi itu kemudian ditulis pada kolom Sosok (Kompas, 20 April 2016).

Itulah orang yang adaptif terhadap perubahan. Maka sebelum dipaksa oleh perubahan, kita terus adaptif terhadap perubahan itu. Berbesar hati terhadap perubahan. Jangan sampai kita dipaksa tunduk pada perubahan. Karena itu, kita tak boleh hanya berangan-angan baru berubah, tetapi tindakan sikap tak dirubah. Sebab lebih sakit dipaksa berubah, daripada jika perubahan dipahami sebagai hal yang absolut. Sebagaimana pemikiran seorang motivator Samuel Taylor Colleridge mengatakan, yang lebih baik mengerjakan yang terbaik hari ini yang terbaik. “Kita tidak tahu bagaimana hari esok, yang bisa kita lakukan adalah berbuat sebaik-baiknya dan berbahagia hari ini.” Mengerjakan yang terbaik untuk perubahan yang akan datang. Lagi-lagi perubahan butuh kegigihan. Perubahan membutuhkan disiplin. Membangun perubahan dibutukan pengorbanan.

Penulis adalah seorang Jurnalis, Editor dan Motivator CTM IG: hojotmarluga_book & Twitter: @HojotMarluga2

Berani, Siapa Takut!

Berani, Siapa Takut!

oleh: Hojot Marluga

Bangsa kita bukan bangsa penakut. Paling tidak dari goresan rekam sejarah menyebut, para pahlawan terdahulu, tatkala melawan penjajah hanya mengusung bambu runcing. Berhadapan bedil kolonialis, meski banyak korban jiwa. Atau bukti lain, pascateror Sarinah hashtag #Kami Tidak Takut sempat menjadi tranding topic, mengungguli tagar lain di media sosial beberapa waktu lalu. Itu bukti para pengguna internet (netizen) di Indonesia menunjukkan keberanian melawan teroris. Nyatanya masyarakat tetap asyik berselfie ria.

Namun secara personal, kenyataan menunjukkan begitu banyak orang berhenti hanya pada angan-angan, dikungkung “perasaan takut.” Ketakutan merupakan penghalang pikiran untuk bisa bernalar jernih. Berpikir dengan takut, tentu akan terus meneror pikiran. Rasa takut bisa menjadikan kita terlalu berhati-hati. Waswas bertindak memang tak salah, yang salah karena terlalu hati-hati, jadi takut mewujudkan. Akhirnya pikiran di awang-awang, nir-tindakan. Pengalaman saya berinteraksi dengan beberapa teman yang baru saja memulai bisnis tetapi gagal, mereka trauma memulai lagi. Undur dari bisnis, malah ingin kembali ke kehidupannya lalu, misalnya, kembali menjadi karyawan, karena tak berani memulai lagi. Jelas memang tak mudah pulih dari rasa takut.

Berbagai teori menyebut, memulai bisnis tak otomatis langsung berhasil. Takut bangkrut. Takut gagal membuat orang takut mewujudkan cita-citanya. “Keberanian tak ada, jika rasa takut tidak ada.” Secara logika tak perlu ada ketakutan. Namun dari pandangan kejiwaan bahwa rasa takut itu bersemayam dalam diri manusia. Sebelum seseorang mampu mengendalikan rasa takut ia akan selalu hidup dalam buaian kenyamanan, dan terkungkung. Padahal ketakutan harus dilawan. Orang yang sudah bisa menalar mampu mengelola rasa takut, tentu memiliki pikiran yang telah tertata dalam bernalar. Sudah pasti orang seperti ini menyiapkan diri pada skenario terburuk. Jika ia membuat satu tindakan atau keputusan yang salah. Artinya, seorang pemberani sejati pasti memiliki logika itu. Jikalau gagal, skenario terburuk ia siapkan.

Kalau sudah demikian, rasa takut tidaklah selalu buruk. Ia bisa menjadi pengelola perasaan dan pikiran. Bahkan, rasa takut positifnya bisa mendorong agar terus belajar dan belajar. Mengembangkan diri untuk tak pernah merasa puas menjadi pembelajar sejati. Maka ada ungkapan, “Jangan takut, tapi jika engkau benar-benar takut kepadanya, maka berlatihlah dengan keras. Sehingga ketakutanmu tadi takut kepadamu.”

Misal, kalau kita tahu kita lemah dalam menulis, padahal kita telah menetapkan diri menjadi penulis, berarti tak ada kata lain selain terus-menerus belajar cara menulis apik. Benarlah kata para motivator, bahwa ketakutan yang paling menakutkan adalah rasa takut itu sendiri. Bahwa memang musuh terbesar kita melawan diri sendiri yang bersemayam dalam ketakutan. Sebab ketakutan meneror, menutup potensi diri. Terlalu banyak cerita kisah manusia yang tak berhasil melawan rasa takutnya. Itu sebab, rasa itu harus dikelola sebagai bagian dalam perjalanan hidup. Agar rasa takut itu tak lagi membawa traumatik. Perasaan takut gagal adalah hal paling umum.

Sudah menjadi habit manusia memiliki rasa takut. Setiap orang merasa takut. Entah siapa pun itu. Dari yang berpendidikan hingga profesor sekalipun, memiliki rasa takut. Dari orang besar hingga orang kecil. Artinya manusia normal pastilah memiliki rasa takut. Bagi saya, ketakutan semacam antena untuk menangkap sinyal. Hanya saja rasa takut itu harus dikelola dengan sepatutnya. Diarahkan pada posisi yang benar. Antena kita arahkan ke mana, dan bagaimana mengarahkan antena kita tepat dan benar agar menangkap sinyal. Menjadi hal penting, jika kesadaran “ketakutan” itu ada. Menghadapi dunia dan segala isinya kita tak perlu takut. Sebab pada Tuhan-lah rasa takut itu diarahkan.

Cara melawan ketakutan, bermacam-macam cara orang. Ada mengonsumsi narkoba, karena tak mampu menalar kenyataan hidup yang dihadapinya. Ada orang meminum minuman keras agar berani menghadapi ketakutan. Bahkan, ada atlet yang menggunakan doping yang dipercaya meningkatkan performa, takut menghadapi kekalahan. Cara melawan ketakutan, sepertinya adalah salah. Sebentar berani, tetapi setelah khasiat dosisnya selesai, malah membawa ketakutan yang berlipat kali ganda. Itu kisah dan contoh melawan ketakutan yang salah, membuat manusia bertindak tak wajar.

Alih-alih bahwa rahasia sesungguhnya melawan ketakutan, dengan menempatkan ketakutan kepada Tuhan. Sebab dari Tuhan-lah sumber keberanian itu datang. Jangan takut sebagaimana Yesaya memotivasi Israel, “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kananKu yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10).

Agar menemukan kebermaknaan dari pecarian kita di kehidupan, harus berani menghadapi risiko. Keluar dari zona nyaman. Sebab keberhasilan hadir pada orang-orang yang mau meninggalkan kenyamanan, menantang risiko. Tak pernah datang pada mereka yang tak berani menanggung risiko. Menghindari rasa takut itu harus dicurigai sebagai pembawa kenyamanan sesaat. Penakut, selalu ingin berlindung dalam zona aman itu. Tak mau memiliki risiko apapun, setidaknya takut pada risiko. Padahal, hidup dalam wilayah aman pun juga tak menutup kemungkinan ada ketidaknyamanan.

Tulisan ini mengajak untuk melawan rasa takut dengan menyerahkan ketakutan kita kepada Tuhan untuk ditukarkan menjadi keberanian. Akhirnya, saya terkesima dengan kata-kata seorang novelis tenar Inggris, anak dari seorang biarawan Anglikan bernama Sir Hugh Seymour Walpole (1884-1941). Dia pernah menuliskan, perasaan takut adalah hal yang paling berbahaya di jagat ini. “Jangan takut, takut adalah hal paling berbahaya di dunia.” Karena itu, tak perlu takut. Rasa takut perlu dikelola menjadi pendukung keberhasilan kita.

KOTOR KESOMBONGAN MANUSIA

Oleh: Hojot Marluga

Kesombongan dalam jiwa manusia merupakan penyakit yang paling tak mudah disembuhkan, itu karena natur keberdosaan. Manusia dalam keberdosaannya lebih cenderung untuk menjadi sombong ketimbang rendah hati. Menurut Bapa-Bapa gereja dan para teolog, bahwa kesombongan merupakan dosa terbesar diantara segala dosa. Misalnya, Bapa Gereja, Augustinus dari Hippo (354-430) menyatakan, bahwa kesombongan adalah awal dari segala dosa. Thomas Aquinas (1224-1274) menganggap kesombongan sebagai dosa ultimat. Karena kesombongan, maka Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa dengan mengambil alih posisi Tuhan dalam hidup mereka.

John Stott dalam bukunya The Living Church menyatakan, para pemimpin gereja rentan terhadap godaan kesombongan karena mereka selalu menjadi sorotan orang banyak. Ganjaran, kepemimpinan dapat dengan mudah turun derajatnya menjadi otoriter atau justru mengangkat-angkat orang lain. Seorang pemimpin agama seharusnya menggunakan kuasa dan kedudukannya dalam kerendahan hati sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran Kitab Suci. Mungkinkah para ahli agama dapat rendah hati? Tentu sebagaimana John Stott menyebut, perlu ketertundukan padaNya. Orang yang berpengaruh “ahli agama” cenderung jatuh pada isu kerendahan hati. Nyatanya, dunia memang sama sekali tak memberikan apresiasi terhadap kerendahan hati. Karena rendah hati dianggap identik dengan kelemahan dan kerugian. Sebab dunia menuntut kuasa, otoritas menjadi otoriter. Sebenarnya esensi dari kepemimpinan adalah pengaruh, kerendahan hati juga membawa pengaruh asalah menyadari esensi kekuatan dari rendah hati.

Memang, terkadang di kehidupan ini yang baik kita lakukan kerap juga mendapat cemoohan. Inilah kenyataan dunia yang baik kita lakukan juga mendapat kritik. Jadi, ketika menghadapi pencemooh, orang rendah hati harus berserah, termasuk pemimpin yang berkuasa mesti sadar dia bukan manusia setengah dewa yang tak punya kekurangan, ketika dikritik reaktif meresponinya dengan sadis menggebuk, semestinya tak demikian. Jika belajar rendah hati mari ingat sifat air. Sifat air mengajarkan kerendahan. Air bisa melawan gravitasi bumi, tetapi terlebih dahulu dari yang rendah. Misalnya, air sebelum naik akan terlebih dahulu turun sebelum kemudian naik, bila sudah terisi di bawah air akan menaik. Tak ada yang menghalangi air jika sudah naik, semua sisi yang ditutup akan menjadi daya lawannya dan sudah pasti bisa mencari celah-celah yang bisa ditembus. Dalam fisika kapilaritas diartikan sebagai gejala naiknya zat cair melalui celah, fenomena naik atau turunnya permukaan zat cair.

Perumpamaan Amsal 11 2. “Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati.” Dan, (Amsal 15 33) “Takut akan Tuhan adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan.” Lag-lagi Amsal membandingkan lebih baik merendahkan diri dengan orang yang rendah hati daripada membagi rampasan dengan orang congkak. Apa maksudnya? Kecongkakan dan keangkuhan membuat orang menjadi congkak lagi congak. Tepatlah yang disebut Amsal orang yang tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan.

Kecongkakan pintu kehancuran, sementara rendah hati memberi harapan, mendapat mahkota. Jelaslah dari penjelasan di atas kita tahu dampak dari rendah hati akan terlihat rasa hormatnya padaNya. Memang, ada orang-orang yang berpura-pura rendah hati padahal sesungguhnya bukan demikian, hanya bertopeng yang diselubungi. Berpura-pura miskin, padahal kaya, sesungguhnya bukan demikian. Memang yang paling naif adalah pura-pura kaya pahadal sesungguhnya miskin, ini tentu sudah kesombongan yang menahun, tak tahu diri. Kesombongan sebenarnya kata lain dari rendah diri. Rendah hati bukan rendah diri. Rendah hati tahu diri, tahu menempatkan di mana diri, termasuk duduk di tengah pembesar. Sementara rendah diri bisa saja bukan minder, tetap ditunjukkan arogannya, tinggi hati untuk menutupi kekurangan diri.

Dampak dari kita rendah hati membawa kehormatan dan kehidupan. Sebab, jikalau kita sudah merendahkan hati terlebih dahulu, tak ada lagi yang merendahkan. Sebaliknya jika kita meninggikan diri, ada saja cara orang untuk menjatuhkan, banyak celah yang bisa menjatuhkan seseorang apalagi itu sudah berkongsi dengan orang lain. Kerendahan hati tak akan membuat kita terhina, malah membuat kita terhormat di hadapan orang lain. Tinggi hati selalu akhirnya merendahkan diri sendiri, tetapi orang yang rendah hati, kelak akan menerima sanjungan, penghargaan.

Tentu, rendah hati datangnya dariNya sendiri, hati yang bening dan mental yang elastis. Esensinya dariNya yang bersemayam di tempat maha kudus, datang menyapa orang-orang yang terluka, yang remuk hatinya. Di sanalah Dia dari tempat maha tinggi turun kedalam kehidupan orang-orang yang direndahkan, membalut luka hatinya menjadi kekuatan. Orang Israel berseru mengapa mereka sudah berpuasa, menjalankan ritual agama, tetapi Dia tak hadir menyapa mereka? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tak mengindahkannya juga? Mengapa? Sebab bangsa yang dipilihnya tak sungguh-sungguh merendahkan hati. Sepertinya mereka memujiNya tetapi tak tampak bukti iman dalam kehidupan umatNya. Orang yang mengatakan, mengenal Tuhan mesti dibuktikan mengasihi manusia. Tak masuk akal jika seremonial agama berjalan terus-menerus tetapi tak dibuktikan dengan mengasihi orang lain, sesamanya. Tuhan tak pernah membedakan manusia, baik dari warna kulit maupun bangsa, bahkan dari agama. Sebab Tuhan tak memiliki satu agama, bahkan Tuhan tak beragama. Kita terkadang mengatakan mengasihi Tuhan tetapi tak tampak dari diri kita mengasihi sesama. Apa yang dituntut Tuhan dari kita? Tak lain agar kita berlaku adil, mencintai sesama, ada kesetiaan bagi pemuliaan manusia. Itulah bukti kehidupan yang sudah memahami rendah hati.

Mencari wajahNya itu mesti rendah hati, berlaku adil itulah kerendahan hati. Tetapi, puncak dari pemahaman kita tentang rendah hati adalah pada Yesus Kristus sebagai teladan kerendahan hati terbesar. Selama pelayanan fana-Nya, Dia lahir dan mati terhina, di kandang domba dan di Golgota. Di (Matius 11: 29) mengatakan, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” Tuhan tak pernah menghiraukan setiap orang yang rendah hati.

Dengan rendah hati membuat diri kita senantiasa nyaman dalam kehidupan. Sudah tentu, oleh karena memahami hidup rendah hati seseorang dengan ihklas melayaniNya di seluruh hidupnya. Ibadahnya bukan hanya liturgi semata, tetapi ibadah dan liturginya adalah memuliakanNya di setiap hari-hari hidupnya dalam berkarya, di bidang apa pun. Jadi penulis, penulis yang memahami esensi melayaniNya. Jadi guru, juru yang sadar makna menjadi guru sebagaimana diajarkanNya. Jadi pemimpin agama, jadilah imam yang mengarahkan domba yang sesat, jangan menjadi hakim jika memahami panggilan melayaniNya.

Pelayanan pun bisa dibuat topeng jika memang tak ada rendah hati di sana. Sebaliknya, jika oleh pelayanan membuat dirinya mencucurkan air mata, dan banyak mengalami keruwetan, Tuhan akan memberikan kekuatan untuk bertahan. Bahkan, sebagaimana Rasul Paulus mengatakan, sampai nyawanya terancam. “pencobaan dari pihak orang Yahudi yang mau membunuhnya.”  Namun, sebagaimana di atas disebutakan jika pun Tuhan ijinkan kesulitan, kesulitan itu tak mengkin membuat susah yanag tak tertanggungkan. Tuhan senantiasa menghiburkan orang-orang yang dengan rela dipimpinNya. Jadi, jika kita bermaksud menemukanNya  (sebab tak ada yang bisa melihatNya dengan mata) kita hidupi sikap rendah hati, melihataNya dengan batin, sanubari kita yang bening. Dengan demikian akan ada kualitas karakter, mental teruji, dan membuat kita lebih fokus. Kita menyadari semua manusia diberiNya keistimewaan, jika nilai ini kita anut akan lahir sikap yang terbaik, bahkan gigih dan tekun untuk menyadari peranNya menuntun dan mengasuh batin kita dalam bergumul.

Dalam buku Andar Ismail dari Selamat Bergumul ajakan untuk merenung tentang iman. Buku tersebut mengajak kita menapaki naik turunnya pergumulan iman percaya. Percaya bisa sederhana, bisa juga pelik. Seorang bayi percaya pada ibunya. Pasien percaya pada dokter. Kita percaya Kristus adalah Juruselamat. Kita percaya, saling percaya, mempercayakan, mempercayai, beriman dan mengimani. Akan tetapi, apa sebenarnya percaya? Ada seribu satu pertanyaan tentang percaya. Percaya memang tidak mudah. Percaya adalah dasar hidup. Semua hubungan berdiri di atas dasar percaya. Tetapi, seringkali yang terjadi malah kebalikannya: bimbang, cemas, cemburu, cuek, curiga, prasangka, ragu dan was-was. Percaya bukan barang tinggal terima jadi. “Percaya masih perlu digumuli. Percaya adalah seperti ombak yang sebentar pasang dan sebentar surut. Sebab itu, kita menunduk dan berbisik, ”Itulah dinamika iman: dalam percaya terdapat tidak-percaya dan dalam tidak-percaya terdapat percaya. Itu sebabnya, kita selalu bergumul dalam iman.”

 

 

Belajar persisten

Sikap hati dan konsistensi dalam berjuang itulah yang mesti dimiliki. Bagaimana konsisten, konstan untuk terus berusaha dan terus menerus mengasah diri mencoba. Sikap yang selalu mau belajar. Belajar untuk persisten, presisi. Inilah modal yang mesti dimiliki oleh mereka yang konsisten berjuang, berusaha dengan sikap antusias. Bermental positif, selalu dinamis. Bukan akronis. Jikalau sikap itu, terus berusaha niscaya akan sampai pada titik, keberhasilan. Sungguh tak ada orang yang gagal. Kegagalan oleh tak lagi mencoba lagi, sebab jika terus masih ada semangat hidup untuk berusaha lagi, dan lagi, niscaya tak patah arang.

Kegagalan hanyalah jalan yang mesti dilalui. Thomas Alfa Edison mengatakan, “Kegagalan dalam kehidupan adalah orang-orang yang tak menyadari betapa dekatnya dia dengan kesuksesan ketika mereka berhenti.” Bahkan, jauh sebelumnya, filsuf terayal Socrates menekan perlu mempunyai kepribadian yang sabar, rendah hati, yang selalu menyatakan dirinya bodoh. Sebagaimana seorang pemimpin Jose Mujica, presiden Uruguay berpenampilan tak ubahnya petani. Dia tak tinggal di istana kepresidenan, tak dikawal ke mana pun pergi, dan mengendarai mobil sendiri. Selama Mujica memimpin, dia berhasil menurunkan angka kemiskinan di negaranya dari 37 persen menjadi 11 persen. Disinilah perlu mengubah pola piker, merendahkan hati.

Pertanyaannya, apa yang membuat orang tak bisa mengubah pola pikirnya? Bagaimana cara mengubah pola pikir? Kalau pola pikir tak berubah apa yang terjadi? Disinilah kerendahan hati itu perlu. Jikalau kita tak mengubah pola pikir kita, kita tak dapat melakukan perubahan. Lucunya, banyak orang mengatakan, mereka ingin mengubah hidup mereka tetapi tak merubah pola pikirnya, tak merendah. Tak akan berhasil, pastilah gagal. Mengubah pola pikir seperti dua orang melihat peluang yang sama. Seorang darinya ketika menemukan peluang tak lagi gesit. Tak mengubah cara yang paling baik untuk hidup lebih baik. Namun yang satu menyadari bahwa peluang yang ada sekarang harus dicarikan cara lain untuk mencari peluang di masa yang akan datang, maka dia bekerja keras. Sementara yang lain tadi tetap tak beranjak dari wilayahnya, oleh karena cara pandanganya tak dirubah. Yang satu berpikir negatif, yang seorang berpikiran positif.

Mengapa? Buah pola pikir positif penting untuk dimiliki oleh setiap orang. Tentu,  setiap orang bebas memilih dan menentukan pola pikir sendirinya. Orang yang berpikiran positif membawa dampak positif bagi penganutnya, sebaliknya pola pikir negatif berimbas negatif. Orang yang berpikir positif memiliki pola pikir berorientasi solusi, maju. Sebaliknya orang yang berpikir negatif memiliki pola pikir berorientasi buntu, mundur. Setiap dari kita mempengaruhi orang-orang yang kita temui. Berpikir positif diawali dengan sebuah keyakinan pada diri sendiri, keyakinan tersebut adalah optimisme dalam menjalani kehidupan. Berpikir positif memiliki peran penting dalam pembentukan mental seseorang.

Tak semua orang menerima atau mempercayai pola berpikir positif. Perlu diketahui, kata-kata kita mengeluarkan kekuasaan. Pikiran kita menimbulkan energi. Pola pikir positiflah kunci bagi kehidupan yang penuh antusiasme. Soal pola pikir, kita bisa mengubah pendirian kita dengan logika, oleh  karena kita bisa memiliki logika sendiri. Pola pikir kita berubah, tentu tergantung keyakinan diri sendiri, itu bisa merubah pola pikir. Lalu, bagaimana cara kita mengubah pola pikir? Tentu, agar bisa mengubah hasil yang dramatis dan permanen, kita harus mengubah cara berpikir. Barangkali kita pernah mendengar bahwa pola pikir mudah dirubah, jelas mudah dirubah tergantung diri kita sendiri. Dan lagi, pola pikir adalah kunci sukses dalam meraih sukses. Berhenti untuk berpikir secara kaku, berhenti cara berpikir hitam putih.

Pola pikir sering juga disebut mindset adalah cara otak dan akal menerima, membentuk kepribadian. Dari kepribadiaan itu mengkristal menjadi karakter. Sementara karakter yang lebih baik diperlukan, tekad dan keberanian untuk berubah lebih purna. Sebabnya pikiran menjadi penyebab. Artinya, perilaku manusia sangat ditentukan oleh pola berpikirnya. Prilaku terjadi melalui pembaharuan budi, dan itu mempengaruhi pola berpikir. Jika ada perbaikan berpikir, ingin berubah lebih baik, membawa perubahan dengan bertindak, kita menemukan kebahagian.  Jikalau kita bahagia, tentu kita membagikan kebahagiaan kita pada orang lain. Pola pikir yang telah berubah lebih baik adalah produk dari hati nurani yang sudah jernih. Sudah bersih dari onak, kotoran dari kelakuan buruk. Tentu, mengubah pola pikir yang lebih baik adalah proses yang panjang. Cara yang benar adalah proses, dari ulat buluh menjadi kupu-kupu. Dari mentanoia ke metamorfosa.

Mengubah karakter sama juga mengubah watak. Kata itu juga bisa disamakan dengan hati, jiwa, mental, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen seseorang. Mengubahnya tentu melalui jalan sulit. Belajar untuk makin purna, bermetamorfosa. Seperti ulat buluh menjadi kupu-kupu. Hukum alam berlaku. Apa yang diperbuat, itu juga yang didapat. Apa yang ditanam akan juga dipanen. Menanam kebaikan, berarti ada waktunya memanen kebaikan, tetapi sebaliknya yang jahat dilakukan akan mendatangkan kejahatan untuk diri kita.

Sebagaiman tadi kupu-kupu sebelumnya adalah ulat. Salah satu anasir yang mengalami metamorfosis adalah kupu-kupu. Awal seekor kupu-kupu adalah ulat bulu, kemudian membentuk kepompong. Kita tahu proses menjadi kupu-kupu. Ketika kupu-kupu akan melepaskan kempompongnya, ia harus berjuang sekuasa tenaga. Oleh proses itu, terpancar sejenis cairan mengalir ke dalam sayap-sayapnya, sehingga ia memiliki sayap terbang. Proses metamorfosis membutuhkan jalan persabungan, jalan yang panjang nan berkelok, kerja keras untuk mentransformasi diri. Kesulitan secara fisik alamiah, dialami setiap orang yang berusaha untuk makin baik.

Metanoia, berubah pola pikir. Perubahaan itu berawal dari niat diri untuk memperbaiki kekurangan. Yang baik ingin lebih baik, dan yang sudah baik diusahakan menjadi yang terbaik. Problem, masalah dan tantangan, tentu untuk merubah kita menjadi lebih baik, biar kita bertumbuh makin purna. Permasalahan yang terbesar itu bukanlah situasi atau kondisi di luar. Tetapi, soal suasana respon, hati dan pikiran kita. Oleh karena itu, alterasi, perubahan, transformasi hanya bisa terjadi bila kita mengalami perubahan pola pikir dari dalam diri, dan bertindak dengan perubahan pikiran yang baru ke luar. Akhirnya, belajar menjadi persisten adalah ketabahan yang kokoh. Bak batu cadas yang besar dapat hancur jika ada air ketabahan, tetap fokus, terus berusaha, dan bersabar hingga membuahkan hasil. Asal konsisten akan menjadi persisten oleh karena ada antusiasme belajar sampai akhir hayat. Sebab, niat belajar untuk menguasai suatu ada kemauan darinya akan ada kompetensi, kekuatan pendorong jadi persisten.

 

Diri Perlu Bangkit, Walau Keras

Oleh: Hojot Marluga

Keberhasilan tak mungkin diperoleh oleh dorongan dari luar, tetapi dimulai dari dalam diri. Keberhasilan seseorang dimulai dari dalam dirinya sendiri. Artinya, agar tercapai sebuah tujuan di dalam kehidupan seseorang, dari dalam diri, cara ini merupakan salah satu hal penting untuk menjadikan diri berhasil.

Jadi, bukti diri yang telah memahami perbaikan diri dari dalam, diri akan berdiri teguh, bangkit dan meninggalkan keterpurukkan, bangkit mengejar langit. Tak mau terus terpuruk di hal-hal buruk. Bangkit dari emosi yang merusak, dang menguburkan amarah yang mengungkung.

Alih-alih bangkit memberi arti, menolong mereka yang membutuhkan dan memberi kelegaan bagi yang tersesat, dan bangkit menentang kemunafikan, melepaskan api antusiasme untuk makin lebih baik dari yang sekarang. Tak adanya waktunya untuk mengeluh. Jika masih ada kesempatan, mesti bangkit dari bibir kesulitan, kita masih bisa berjalan dengan waktu yang masih ada.

Tak ada guna merundungi apa yang sudah lalu, menyesali hal yang tak mungkin kembali. Jikalau tak memanfaatkan waktu yang ada, bangkit dari sisa waktu yang ada, maka dirilah yang sesungguhnya membuat kesempatan itu tak ada, hilang menguap. Kesempatan masih ada hanya saja kita tak manfaatkan dengan baik.

Bangkit terhadap kematian mental, bangkit dari kematian semangat dan membinasakan kemalasan. Selagi Tuhan memberi kesempatan, diri masih diberikan waktu untuk bangkit, berlari keluar dari kenyamanan yang menyesatkan. Diri bersiap, berdiri tegak seperti singa jantan, yang tak tidur sebelum memakan mangsa. Demikianlah diri terus bangkit menggapai potensi kita sampai tuntas tugas-tugasnya.

Tak penting seberapa buruk memulai tugas, tetapi yang lebih penting seberapa baik kita mengakhiri pekerjaan ini. Ingatkan diri, waktu ini adalah waktu untuk kita. Sekarang waktunya diri untuk mempersembahkan semangat untuk generasi berikutnya, semangat menyala-nyala untuk tak terpuruk oleh setiap keadaan. Bangkitlah segera, jangan sampai Pencipta memunahkan diri oleh tegar-tengkuknya diri. Jika diri tak memberikan makna, apa yang bisa diteladankan darinya?

Padahal, diri tak mungkin terus ada di jagad ini, jangan nanti di giliran keturunan diri menyesal, mereka tak menemukan spirit perjuangan diri orangtuanya. Mereka terpuruk secara mental oleh karena tak ada sanubari yang mereka teladani. Amat naiflah seseorang yang terus membanggakan diri, bernostalgia akan masa lalu, padahal sesungguhnya tak ada goresan karya diwariskan.

Karenanya, berdirilah tegak dengan kesadaran bahwa diri mesti memberi warisan pada generasi ini, mendatangkan celaka pada keturunan oleh karena kita tak memberi ketadanan. Keteladanan bukan hanya kata-kata yang terucap, tetapi tertulis di loh hati, terekpresi dalam sanubari dan tindakan. Diri mesti menghabiskan jatah kesulitan, meremukkan keadaan yang menyeret pada keterpurukan, yang membuat diri tertidur, tetapi mari diri untuk terus melawan dan merebahkannya.

Olehnya, antusiasme diri tak boleh kendor. Hal itu bisa terlihat dari sikap kesadaran memiliki perisai. Sesungguhnya Tuhan memberikan kepada diri kemampuan, sikap hati yang penuh hikmat dan pengertian. Rahasianya, asal diri mau dan mampu menemukan di  kedalaman. Jika ada ketersadaran pada diri, diri pun akan bangkit.

Tetapi orang-orang yang angkuh tak akan menemukan itu, sebab tak ada kerendahan hati di sana. Hikayat telah membuktikan, orang-orang sukses terbiasa membangunkan potensi diri sendiri dengan penggalian yang terus menerus hingga kedalaman.

Disinilah ajakan bangkit, tiba dengan gairah yang tinggi menghadapi tantangan, siap secepat mungkin untuk bersabung dengan keadaan yang ada. Keberhasilan dimulai dari disiplin pada diri, keras pada diri. Tak bermalas-malas. Malas bisa jadi menahun, kambuh pada mental dan kurangnya penghargaan pada kerja keras inilah yang membuat diri tak berhasil. Jikalau diri lunak pada diri, maka keadaan berbalik akan lantam dan keras pada diri.

Olehnya, semangat baru menjadi menjadi momentum bagi diri untuk membenahi diri yang terpuruk. Sebab keajaiban akan muncul jika diri bangkit. Momentum bagi diri untuk membenahi diri, dan itu menjadi virus yang menyemangati. Orang lain bisa merasakan jika diri yang tercerahkan, menjalankan aksi untuk terus bergairah menjalani hidup yang sekejap ini.

#Keajaiban Menghormati Orangtua

Oleh: Hojot Marluga

Saat membentuk mahligai rumah tangga, orang menikah, harapan yang terbesar bagi mereka adalah memiliki keturunan. Anak bagi orangtua bukan saja kebanggaan, tetapi mahkota. Orangtua yang baik akan terus mengasuh dan mengasupi anak-anaknya dengan nasihat-nasihat yang baik dan makanan yang bernutrisi. Soal menasihati, betapa amat penting orangtua mengajarkan hormat kepada anak-anak tentang nilai-nilai hidup.

Jadi, jikalau disebut anak adalah mahkota dan kehormatan orangtua, maka hal itu saling berkaitan. “Anak cucu adalah mahkota, orangtua (kakek moyang) adalah kehormatan bagi anak dan cucunya.” Olehnya, orangtua juga harus menunjukkan sikapnya terhadap mahkota, anak-anaknya. Bagi anak, menghormati dan belajar dari orangtua akan menjadi pondasi utama dalam meraih kesuksesan.

Keajaiban itu, mendapatkan balasan yang setimpal dari menghormati orangtua. Jadi, sungkem kepada orangtua, sebagai terapi mental, introspeksi diri itu penting. Meresap di kehidupan, menghormati orangtua sebagai keajaiban untuk kekuatan bertahan dalam usaha apa pun. Mari belajar pada pemimpin-pemimpin sejati terlihat dari cara mereka menghormati orangtua.

Rasa-rasanya tak ada pemimpin besar yang berhasil tetapi menghina orangtuanya. Tujuh presiden Indonesia, seluruhnya menggambarkan mereka begitu hormat kepada orangtuanya. Bagitupun Soekarno menghormati orangtuanya, ayahnya seorang guru dan ibunya putri Bali. Sarinah seorang pembantu saja dihormatinya, apalagi orangtua yang menghadirkannya di jagad dan memberinya hajat, oleh Tuhan diberi hayat.

Bagaimana Soeharto, juga demikian hormat kepada orangtuanya, seorang petani di Desa Kemusuk. Bagaimana Habibie, tak juga kurang mengajari kita betapa perlu menghormati orangtua. Bahkan, istri yang sangat dicintainya, Ainun adalah putri dari sahabat dari ibunya.

Gus Dur apalagi, hormatnya kepada kedua orangtua yang mengasuh batinnya. Walau ayahnya mantan Menteri Agama itu meninggal di masa Gus Dur anak-anak, tetapi tak kurang mengasuh batinnya, setelah dewasa keluwesan itu dia tunjukkan. Megawati juga digambarkan begitu hormat kepada ayahandanya, Soekarno.

Walau dia tahu bahwa ayahnya bukan manusia sempurna, tetapi tak pernah membatah, termasuk diminta menjadi penari istana menyambut tamu-tamu negara dilakonnya. Pun, Susilo Bambang Yudhoyono, walau orangtuanya cerai, dia sangat menghormati kedua orangtuanya.

Presiden Joko Widodo begitu hormat kepada orangtuanya, ayahnya Noto Mihardjo tukang kayu dan ibunya, Sudjiatmi. Nasihat senantiasa merendahkan hati berasal dari ibunya, nasihat Sudjiatmilah yang bersemayam dalam batinnya. Rasa-rasanya tak ada agama di dunia ini yang tak mengajarkan hormat kepada orangtua.

Dan memang, anjuran menghormati orangtua adalah ajaran universal. Semua bangsa, sama-sama mengajarkan, itu. Jika mempelajari detail ajaran-ajaran kebudayaan, orang Timur lebih menekankan menghormati orangtua, namun kebudayaan Barat lebih menitikberatkan mengasihi keluarga, detailnya mengasihi istri/suami dan anak bukti mengasihi keluarga. Tetapi, jika kedua sari kebudayaan ini dipersinggungkan, tak ada yang salah, malah saling melengkapi.

Pendiri agama Budha, Siddhartha Gautama juga menunjukkan baktinya kepada orangtuanya sebagai anak dari raja. Orangtuanya raja “baik” menutup cela-cela kesusahan baginya, Gautama ditempatkan di istana tanpa melihat kenyataan hidup rakyat yang ada. Namun, setelah melihat kenyataan, tanpa mempersalahkan orangtua, Gautama lalu bertapa untuk menemukan batin yang tercerahkan. Budha juga mengajarkan ketaatan terhadap orangtua.

Dalam kebudayaan Tionghoa dan menjadi agama Konghucu. Sang holopis itu, Konghucu mengajarkan bagaimana berbakti terhadap orangtua. Untuk hidup bernilai, memperlakukan orangtua dengan baik dan tulus. Bakti terhadap orangtua dengan ketaatan. Sari dari ajarannya adalah ketaatan, taat kepada yang lebih tua utamanya orangtua. “Jikalau seorang anak tak berbakti dan menghormati orangtuanya, dia sama seperti pendurhakaan, kedurhakaan mendatangkan malapetaka.” Pun sebaliknya, menghormati orangtua mendatangkan berkat.

Dalam budaya Batak, khususya Toba percaya bahwa Tuhan yang bisa dilihat ada pada diri orangtua. “Natuatua mi do Debata natarida.” Artinya; orangtuamulah Tuhan yang kelihatan. Jadi, tak menghormati orangtua, sama dengan tak menghormati Tuhan. Tak mungkin seseorang bisa mengenal Tuhan, tetapi tak menjaga kehormatan pada orangtua. Bersikap santun terhadap orangtua dalam kehidupan sehari-hari, sudah seharusnya, sekalipun orangtua melakukan kesalahan.

Di sinilah ketaatan berlaku, bagaimana selayaknya menunjukkan bakti kepada mereka. Sudah tentu, orangtua yang baik pasti tak hanya memberi pengarahan, menasihati dengan kata-kata, tetapi dengan ketauladanan. Rentetannya, orangtua menjalankan tanggung-jawabnya dan menyayangi anak-anaknya, anak peka, satu saat anak pasti melihat dan berbakti kepadanya.

Bagaimana dalam ajaran Islam? Nabi Muhammad SAW dilahirkan dalam keadaan yatim, ayahnya meninggal di kala Nabi Muhammad SAW dalam kandungan. Bahkan, kira-kira umur enam tahun kemudian, ibunya meninggal. Sang Nabi kemudian diasuh oleh pamannya. Tetapi, ajaran Muhammad tak kurang mengajari umat untuk menghormati orangtua. “Menjalani semua perintah orangtua, dan berkata yang baik atau sopan kepada mereka, bahkan mendoakan orangtua agar mereka disayang Allah dan diampuni dosanya.”

Maka seseorang yang tak pernah menghormati orangtua, tak bercermin dari orangtuanya selama hidupnya, apapun pencapaiannya tak ada makna, hasilnya. Inilah sifat kehidupan terpusat pada hubungan batin manusia, orangtua dan anak. Maka, bisa disebut rahasia kekuatan hubungan orangtua terletak pada hubungan batiniah yang erat itu.

Orangtua yang mendapat hinaan dari anaknya, sang anak, apapun kelak pencapaiannya tak akan bisa menemukan esensi hidup, juga akan terhina. Sebaliknya, orangtua yang meniadakan anaknya, tak bertanggung jawab mengasuh anak, baik mental dan fisiknya, satu saat akan mendapat hinaan, dan diminta pertanggung-jawaban dari Tuhan.

Alkitab juga menulis, bahwa Yesus begitu taat kepada orangtuanya. Hingga ibu Yesus, Maria, di satu pesta perkawinan di Kana meminta untuk menunjukkan mukjizat pertama, walau Yesus menyebut belum waktunya, tetapi tetap menunjukkan penghormatan kepada seorang ibu. Berkali-kali Alkitab menyebut, anak-anak mesti menaati dan menghormati orangtua, baik di PL dan di PB.

Sari Alkitab mengajarkan bahwa orangtua itulah arsitektur jiwa anak-anak. Dan ternyata, di bidang psikolog para pesohornya pun sudah menemukan bahwa dasar pendidikan di masa balitalah faktor penentu pembentukan kepribadiaan seseorang, malah di masa kandungan pun janin sudah harus dididik, mengasuh jiwa.

Jadi, jangan jua “arogan” lembaga pendidikan atau intitusi agama yang merasa berhasil mendidik seorang anak, sebab arsitek dasarnya sesungguhnya adalah orangtua. Kedua insitusi itu penting sebagai pelengkap, tetapi yang utama, dasar mendidik jiwa manusia ada pada orangtua. Penulis, adalah Pemred Tabloid AGAPE

Ibadah Syukur Guru Ompu Daniel Doli

Ulang Tahun Ke-80
Ibadah Syukur Guru Ompu Daniel Doli
Guru adalah pahlawan. Bekerja sebagai guru harus dimaknai sebagai ibadah, demikian prinsip hidup Maringan Naibaho yang lahir di Samosir, 1 Mei 1932. Adalah, semasa mudanya hingga pensiun menjadi guru. Terakhir guru di SMP 3 Sidikalang.
“Saya bersyukur kalau Tuhan menambahkan umur panjang pada saya saat ini. Kalau saya ingat, beberapa waktu lalu saya dioperasi, jantung saya harus diberi ring. Kalau pun saya ada saat ini hanya karena karunia Tuhan,” ujar Maringan Naibaho (Ompu Daniel Doli) pada perayaan hari ulang tahun ke-80 kelahirannya di Gedung Sinar Kasih, Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, Minggu (6/5/2012) siang.
Saat pesta syukur itu, Maringan menggunakan jas lengkap, berpadu topi coboy warna putih. Pesta Ultah 8 dekade itu dihadiri tetamu undangan sanak-family dan sahabat-sahabat, dan sahabat-sahabat anak-anaknya. Dan tak lupa, ada beberapa orang muridnya yang datang.
“Ketika anak-anak kita berusia lima tahun mereka adalah raja dan ratu. Ketika anak-anak kita berusia 15 tahun mereka menjadi mitra. Ketika anak-anak sudah dewasa mereka bisa menjadi pahlawan, dan menjadi musuh, tergantung baimana kita membimbing dan mengajari mereka,” tandas sang ompung, Ompu Daniel Doli berfilosofi.
Acara dimulai dengan kebaktian gereja. Khotbah dipimpin Pendeta Daniel T A Harahap. Dalam pesan renungannya memesankan, agar kita melupakan apa yang telah berlalu, dan mengarahkan diri pada apa yang ada di depan, dan bersemangat kepada cita-cita, hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus, dikutip dari Filipi 3:14.
Selesai kebaktian diadakan pengumpulan persembahan yang dialokasikan pada pembangunan HKBP Cisauk, yang sampai hari ini masih beribadah dari rumah ke rumah jemaat. Dan juga, persembahan ini dibagi, diberikan ke HKBP Pangururan, Samosir asal si Ompung, yang sedang dalam pembangunan.***Hotman

Kementerian Pariwisata Gelar Lomba Foto Sadar Wisata 2012


Oleh: Hotman J . Lumban Gaol
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia mengadakan konfrensi pers tentang Lomba Foto Sadar Wisata 2012, Kamis, (16/3) di Gedung Sapta Pesona, Jakarta Pusat. Acara ini akan berlangsung mulai 16 Maret-24 Agustus 2012.
Lomba ini digelar untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat akan pentingnya Sapta Pesona (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan) melalui fotografi. “Ini merupakan tahun ke-4. Perlu membangun komunitas fotografer untuk menunjang perekonomian,” ujar Direktur Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata, Firmansyah Rahim.

“Fotografer sangat penting untuk memberikan gambaran penting sebuah keindahan. Itu juga yang kita harapkan fotografi itu bisa menjual pesona kebudayan di Indonesia. Selain itu, yang kita bisa lakukan adalah memperluas komunitas, dan meningkatkan kreatifitas untuk menjadikan ekonomi.”

Apa tujuannya? Harapan yang paling penting adalah untuk mendorong semangat berwisata. “Kami berharap, ke depan agar kebijakan dari penilaian bukan hanya di kalangan orang di Jakarta. Saya berharap untuk memberikan ruang bagi foto daerah untuk mengirimkan foto-fotonya. Agar komunitas di daerah juga punya kesempatan untuk menang,” tambahnya.

Sementara itu, Sigit Pramono Komisaris BCA yang juga penggiat fotografer sekaligus juri dalam lomba ini mengatakan, saya melihat negara-negara yang mengembangkan fotografer adalah bangsa yang maju dan bangsa yang besar.

Lomba foto ini sudah digelar sejak empat tahun lalu. Pada tahun 2009 peserta berjumlah; 205 peserta dengan jumlah foto sebanyak 1.120 lembar. Tahun 2010 peserta jumlah: 368 peserta dengan jumlah foto 1.468. Dan tahun 2011 peserta berjumlah 630 peserta dengan jumlah foto sebanyak 2.424 lembar.

Tim juri terdiri dari orang-orang yang terkenal ahli fotografi yaitu; Sigit Pramono (Ahli Fotografi, Komisaris BCA), Darwis Triadi (Ahli Foto, Darwis Triadi School of Photography), Arbain Rambey (Ahli Foto,Ketua Kominatas Fotografi Budpar), dan Ray Bachtiar (Ahli Fotgrafi, Komunitas Lubang Jarum Indonesia).

Lomba ini juga disiapkan hadiah untuk mereka yang mendapat hadiah Rp. 20 juta untuk pemenang pertama. Perlobaan ini bisa diikuti semua kalangan, termasuk wartawan. Juri untuk tahun ini lebih melebar pemberitaan, misalnya pasar terapung di Kalimanatan, kaitannya sebagai ekonomi kreatif. Masyarakat yang bisa memajukan daerah untuk mengembangkan wisata di daerahnya, dengan menjual foto.

Perempuan adalah Mahluk yang Lebih Lemah?

Dialog bersama seorang Teolog-Feminis
Anna Garlin Spencer (1851-1931)

Siapa Anna Garlin Spencer

Ia merupakan seorang perempuan yang sukses dalam karir. Ia pernah berprofesi menjadi seorang guru sekolah umum, jurnalis, dan profesor yang mengajar ilmu-ilmu sosial di Universitas Wisconsin, serta mengajar Sosiologi dan Etika di Sekolah Teologi Meadville. Ia menikah dengan seorang pendeta bernama William H. Spencer pada tahun 1878.

Sebagai seorang feminis, ia diidentikan dengan pendiri organisasi gerakan perempuan, gerakan perdamaian dan sebagai pembicara rutin di seminar-seminar Nasional Amerika. Kemudian Anna juga memiliki hubungan dengan New York Society for Ethical Culture pada tahun 1903 hingga 1909 dan New York School of Philanthropy pada tahun 1903-1913. Ia merupakan perempuan pertama yang menjadi pendeta di Rhode Island-New York, yang melayani satu kapel tersendiri.

Karya Anna yang paling penting adalah Woman’s Share in Social Culture, yang menunjukkan keluasan kapasitas intelektualnya. Dalam buku tersebut Ia memaparkan kontribusi-kontribusi perempuan, mulai dari jaman primitif hingga modern, dalam suatu evolusi peradaban, serta peran perempuan dalam bidang industri, pendidikan, seni dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Peran Penting Perempuan

Dalam buku itu Anna juga menekankan bahwa tanggung jawab domestik perempuan seharusnya tidak diserahkan atau diambil alih oleh profesional, untuk konteks ini misalnya pengasuh anak. Anna yakin bahwa hal tersebut tidak praktis dari segi ekonomi dan tidak bermanfaat dari segi sosial. Menurutnya rumah dan keluarga merupakan suatu titik pusat yang penting bagi perkembangan kepribadian dan sosialisasi bagi anak-anak.

Hal lain yang menjadi fokus perhatiannya, adalah permasalahan yang dihadapi oleh para perempuan yang memiliki bakat di dunia yang lebih luas di luar lingkungan rumah. Ia menjelaskan tentang banyak hambatan yang disebabkan oleh budaya yang didominasi oleh kaum laki-laki di berbagai jaman, yang mencegah perempuan berbakat untuk mewujudkan potensi mereka untuk meraih kesuksesan dan menjadi setara dengan laki-laki.

Sebagai contoh bahwa perempuan sebenarnya bisa berperan banyak, Catherine Hall pada tulisannya yang berjudul “The History of The Housewife” menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-14 di Inggris, perempuan memainkan peranan penting dalam bidang produksi. Meskipun posisi mereka masih tidak setara dengan laki-laki, namun mereka memainkan peran ekonomi yang besar di pedesaan, mereka menjadi koordinator dan penjaga kestabilan proses produksi. Perempuan mampu memainkan peran yang relatif independen dalam kehidupan ekonomi sehari-hari. Secara umum tidak ada batasan antara kehidupan bisnis dan kehidupan privat, dengan kata lain tidak ada pembedaan antara wilayah domestik dan publik bagi perempuan.

Perempuan melakukan pekerjaan yang berbeda-beda, seperti memintal benang dan membuat pakaian, memerah susu dan mengolahnya menjadi keju, pengobatan, bekerja di ladang bersama laki-laki, dan lain-lain. Selain untuk konsumsi keluarga, hasil produksi tersebut kemudian dijual dan menghasilkan pendapatan bagi keluarga. Keluarga di masa pra-kapitalis adalah keluarga yang merupakan suatu kesatuan unit ekonomi, yang artinya laki-laki, perempuan, dan anak-anak mengambil bagian dalam peran produksi.

Kritik Atas Gereja
Anna dalam esainya yang berjudul “The Social Use of the Post-Graduate Mother”, selain mengangkat soal dominasi kaum laki-laki atas perempuan dalam berbagai bidang, juga mengangkat tentang penyiksaan dan pembunuhan terhadap perempuan atas nama perburuan penyihir (witches) . Pada jaman pertengahan di Eropa para perempuan tersebut mengalami kesengsaraan atas tuduhan melakukan praktek ilmu sesat dan perbuatan yang dianggap menistakan Tuhan, sedangkan di awal abad-19 di Amerika tuduhan yang sama dijatuhkan pada para perempuan karena aktifitas dan pemikiran mereka yang dianggap tidak sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungannya.

Dia menyayangkan bahwa Reformasi gereja ternyata tidak membawa perubahan atas bentuk penyiksaan dan hukuman terhadap perempuan, dalam banyak kasus peristiwa kekerasan itu malah semakin meningkat. Di Jenewa saja ada sekitar 500 korban kehilangan nyawa hanya dalam jangka waktu tiga bulan, dan Luther mendeklarasikan bahwa dia tidak akan memberikan ampunan bagi para penyihir-penyihir (witches) serta akan membakar mereka semua. Di Skotlandia, akibat aliran mistik dan teologi yang gila, penghukuman dan penyiksaan yang terjadi umumnya mengerikan sekali. Peristiwa tersebut kemudian dikenal luas bahwa kepercayaan pada tahyul masih merentang sepanjang lautan dan mencoreng Protestanisme di Inggris. Kekerasan masih terjadi ketika seorang yang terkenal bernama Sir Matthew Hale menggantung dua orang perempuan yang dituduh sebagai penyihir pada tahun 1664, hingga eksekusi terakhir di Inggris terjadi pada tahun 1712.

Menurutnya ada dua alasan mengapa hal seperti ini bisa terjadi. Pertama, ada suatu kebencian terhadap perempuan yang dikembangkan dan dibangun terus menerus secara keji. Para pemimpin gereja di masa-masa awal menyatakan bahwa perempuan merupakan titik pusat aktif dari pengaruh jahat. Untuk itulah masyarakat di masa itu memandang perempuan sebagai mahluk yang berbeda dan menempatkannya dalam suatu halusinasi yang maniak. Kebencian terhadap perempuan ini kemudian bertahan hingga abad keenam, setidaknya satu provinsial gereja melarang para perempuan untuk menerima Ekaristi dengan tangan mereka secara langsung karena alasan ketidaksucian.

Padahal sebagian besar peradaban di muka bumi yang percaya pada hal-hal yang supranatural dan mempersonifikasi dewi-dewi yang dipuja, seperti misalnya Hestia, kakak dari Zeus, Venus di peradaban Roma, Aphrodite di peradaban Yunani, Astarte di peradaban Phoenician, Istar di peradaban Assiria, Hathor di peradaban Mesir. Semua dewi-dewi tersebut melambangkan kekuatan dari cinta yang mengikat manusia secara bersama dan menghancurkan perbedaan antara mereka. Belum lagi tentang mitos Demeter dan Athena yang melambangkan sifat-sifat luhur perempuan yang berasal dari kebaikan bumi, serta lambang dari kedamaian tatanan kehidupan sosial.

Kecenderungan untuk memberikan penghormatan terhadap kekuatan perempuan melalui perlambangan dewi-dewi kemudian berakhir ketika era Kekristenan mulai berkembang dan melahirkan obsesi yang keji sehingga merubah semua bentuk pengagungan tersebut menjadi sesuatu yang kemudian dianggap berkaitan dengan pemujaan hal-hal yang jahat.

Tubuh Perempuan yang Ditakuti

Sedangkan alasan kedua yang diberikan oleh Anna lebih pada persoalan biologis. Menurut fakta-fakta yang berhasil dikumpulkannya, perempuan ternyata memiliki kekuatan fisik dan mental yang lebih dari laki-laki. Sebagai contoh, fakta menunjukkan bahwa jumlah penderita kematian akibat kelahiran prematur lebih banyak bayi laki-laki alih-alih bayi perempuan. Fakta juga menunjukkan bahwa jumlah manusia yang mampu bertahan hidup lebih lama kebanyakan adalah perempuan alih-alih laki-laki.

Mereka tidak hanya bisa bertahan hidup namun juga memiliki kesehatan dan daya tahan yang baik meskipun laki-laki memiliki otot yang kuat dan bisa diandalkan untuk urusan yang sifatnya mendesak dengan kekuatan yang meledak-ledak, serta susunan dan tegangan syaraf yang lebih stabil. Dengan hal-hal seperti itu secara tidak disadari ada semacam ketidaksukaan dan ketidakmengertian atas tubuh perempuan yang kemudian berubah menjadi sesuatu yang ditakuti.

Dari hasil pengamatan di jamannya, perempuan dipersulit dan seringkali ditolak ketika berusaha untuk belajar di dalam lembaga pendidikan. Hanya perempuan yang sudah membuktikan dirinya ’jenius’ atau punya kemampuan lebih yang diperbolehkan. Namun pertanyaannya, bagaimana para perempuan bisa menjadi jenius atau bisa menunjukkan kelebihannya sejak awal jika ia sama sekali tidak mendapat kesempatan? Karena siapapun tidak akan tahu bila perempuan secara umum tidak diberi kesempatan yang setara dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, pelatihan dan pekerjaan, serta mendapatkan sambutan secara sosial atas karya-karya intelektual mereka. Karenanya tidak ada hal yang lebih bodoh dari usaha menilai batas kapasitas perempuan secara apriori.

Sebenarnya banyak perempuan yang mencapai kesuksesannya, meskipun namanya tidak begitu bergema sepanjang masa. Hal ini disebabkan salah satunya karena jejak kesuksesan perempuan hilang ketika perubahan nama mereka setelah melalui proses pernikahan karena harus mengikuti nama suaminya. Faktanya, beberapa perempuan tercatat dalam sejarah sebagai orang-orang yang dipuji karena kecerdasan mereka. Misalnya, Sappho yang hidup sekitar 500 tahun sebelum masa kita, yang disebut-sebut sebagai ”the poetess” seperti halnya Homer ”the poet” di Yunani. Kita juga tentu pernah mendengar sekitar lebih dari 30 puluh orang filsuf perempuan dan murid-murid perempuan yang belajar pada jenjang yang tinggi di Sekolah Pythagoras. Peradaban kuno dunia sekiranya juga telah menghasilkan banyak filsuf-filsuf perempuan, seperti Hypatian yang memimpin suatu sekolah dan dengan kapasitasnya Ia bisa didudukan setara dengan Sokrates.

‘Strong Women, Strong Nation’

Pandangan Anna mengenai rumah dan keluarga merupakan titik pusat yang penting. Sedangkan perihal mengurus anak yang sebaiknya tidak diserahkan pada para pengasuh juga menjadi fokus dari Plato dalam proses pendidikan anak-anak calon pemimpin Polis yang sebaiknya ‘dijaga’ relasinya dengan para pengasuh, atau juga budak dalam konteks masa itu, agar sikap para anak-anak tidak terpengaruh oleh mereka.

Meskipun Anna tidak menyinggung soal peranan modal yang turut menindas kaum perempuan seperti halnya para Feminis Marxis, namun bukan berarti dia tidak sadar serta mempersoalkan ketidakadilan yang terjadi di sektor industri terhadap perempuan. Menurutnya perkembangan industri yang semakin kompetitif telah dirancang sedemikian rupa sehingga para perempuan yang telah menikah tidak mampu mendapatkan keuntungan lebih atau layak seperti sebelum mereka menikah. Sedangkan di sisi perempuan sendiri ada suatu kecenderungan yang fatal, yaitu di kalangan perempuan muda yang baru menikah dan hanya memiliki pendidikan rata-rata membuang cita-cita serta profesi yang mereka miliki sebelumnya.

Dengan latar belakang disiplin ilmu sosial, teologi, dan filsafat, Anna Garlin secara mengagumkan menghasilkan banyak analisa dan kritik yang tajam atas realita yang terjadi pada masanya, serta menarik pelajaran dari analisa sejarah peradaban manusia dan Kekristenan. Dengan analisa sosial dan telogi, Anna menunjuk Kekristenan sebagai salah satu biang kerok dan mengkritik tindakan-tindakan gereja dengan menunjukkan kesalahan mereka dan memberikan argumentasi yang menelanjangi kedangkalan dogma-dogma yang digunakan dalam rangka mendiskriminasikan perempuan, kemudian menghubungkannya dengan analisa sosial sesuai dengan konteks.

Ia bicara mulai dari soal ‘tenggelamnya’ nama perempuan ketika ia menggunakan nama suaminya setelah menikah, pembatasan ruang gerak perempuan untuk mengembangkan potensi dan kemampuannya, diskriminasi perempuan di bidang pendidikan serta lapangan pekerjaan, penindasan terhadap perempuan atas nama agama, hingga mengumpulkan banyak fakta-fakta biologis bahwa sebenarnya perempuan tidak lebih lemah dari laki-laki. Kesetaraan adalah sesuatu yang sangat mungkin!

Potensi Pemanasan Global

Oleh Robert Goodland dan Jeff Anhang

Setiap kali mendiskusikan penyebab perubahan iklim, bahan bakar fosil menempati urutan teratas. Minyak bumi, gas alam, dan terutama batu bara memang sumber utama emisi karbon dioksida (CO2) dan gas-gas rumah kaca lainnya (GRK). Tetapi kami yakin bahwa siklus kehidupan dan mata rantai pasokan hewan yang dipelihara sebagai makanan telah sangat disepelekan sebagai sumber GRK, padahal kenyataannya industri peternakan bertanggung jawab terhadap setidaknya setengah dari seluruh GRK yang disebabkan oleh manusia. Jika argumen ini benar, berarti penggantian produk peternakan dengan makanan alternatif yang lebih baik akan menjadi strategi terbaik dalam membalik perubahan iklim. Kenyataannya, pendekatan ini memiliki pengaruh yang lebih cepat untuk mengurangi emisi GRK dan tingkat konsentrasinya di atmosfer – sehingga mengurangi laju memanasnya iklim – dibandingkan dengan tindakan-tindakan untuk menggantikan bahan bakar fosil dengan energi yang dapat diperbaharui.

Hewan ternak telah dikenal sebagai penyumbang emisi GRK. “Bayangan Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow)”, laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) tahun 2006 yang telah dikutip secara luas, memperkirakan emisi sebesar 7.516 juta metrik ton ekuivalen CO2 (CO2e) per tahun, atau 18 persen emisi GRK dunia setiap tahun, dihasilkan oleh hewan ternak sapi, kerbau, domba, kambing, unta, kuda, babi, dan unggas. Dengan jumlah sebesar itu, peternakan sangat jelas memenuhi syarat untuk mendapat perhatian besar dalam mencari cara-cara untuk menangani perubahan iklim. Tetapi analisa kami memperlihatkan bahwa peternakan dan hasil sampingnya sebenarnya bertanggung jawab atas setidaknya 32.564 juta metrik ton CO2e per tahun, atau 51 persen dari seluruh emisi GRK dunia setiap tahun.

Ini adalah pernyataan tegas yang memerlukan bukti kuat, maka kami meninjau kembali secara menyeluruh sumber-sumber emisi GRK dari peternakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagian dari hal ini sudah jelas tetapi ditaksir lebih rendah, sebagian terlewatkan, dan sebagian adalah sumber emisi yang telah dihitung tetapi ditempatkan pada sektor yang salah. Data peternakan sangat beragam dari lokasi ke lokasi dan dipengaruhi oleh ketidak-akuratan yang tak bisa dihindari; dan tidaklah mungkin untuk menghindari ketidak-akuratan dalam memperkirakan jumlah GRK, sehingga kami berusaha keras mengurangi jumlah itu agar perkiraan kami secara keseluruhan dapat diterima sebagai konservatif.

Gambaran Besar

Tabel di sebelah kanan adalah ringkasan dari kategori-kategori emisi peternakan dan perkiraan kami terhadap angkanya. Kami memulai dengan angka dari FAO 7.516 juta ton CO2e per tahun yang disebabkan oleh peternakan, sebuah angka yang didapat dengan menambahkan keseluruhan GRK terkait dalam pembukaan lahan untuk menggembala dan menanam pakan ternak, memelihara hewan ternak, pengolahan dan pengiriman produk jadi. Perhitungan kami menunjukkan 25.048 juta ton CO2e yang disebabkan peternakan telah dihitung lebih rendah dari kenyataan atau dilewatkan; dari subtotal itu, 3.000 juta ton ditempatkan secara salah, dan 22.048 juta ton semuanya tidak dihitung. Ketika jumlah ton yang tidak dihitung ditambahkan ke dalam persediaan GRK global di atmosfer, persediaan itu meningkat dari 41.755 juta ton menjadi 63.803 juta ton. Laporan FAO sebesar 7.516 juta ton CO2e yang disebabkan peternakan kemudian menurun dari 18 persen GRK dunia menjadi 11,8 persen. Marilah melihat masing-masing kategori GRK yang tidak dihitung atau salah penempatan:
Pernafasan. FAO meniadakan pernafasan hewan ternak dari perkiraannya, dengan penjelasan berikut:

Pernafasan dari hewan ternak bukanlah sumber CO2 bersih… Emisi dari pernafasan hewan ternak adalah bagian dari sistem biologi yang cepat berubah, dimana tanaman yang dikonsumsi terbuat dari proses pengubahan CO2 di atmosfer menjadi senyawa organik. Karena jumlah yang dikeluarkan dan diserap dianggap sama, pernafasan hewan ternak tidak dianggap sebagai sumber emisi yang bersih oleh Protokol Kyoto. Sesungguhnya, karena sebagian karbon yang dikonsumsi disimpan dalam jaringan hidup hewan yang bertumbuh itu, pertumbuhan kawanan ternak global bahkan bisa dianggap sebagai penyimpan karbon. Tingkat persediaan biomasa peternakan meningkat secara signifikan pada dekade terakhir… Pertumbuhan yang terus-menerus ini… dapat dianggap sebagai proses penyimpanan karbon (perkiraan kasar 1 atau 2 juta ton karbon per tahun).

Tetapi ini adalah cara yang keliru dalam melihat perkara ini. Kita periksa kenyataan penyimpanan karbon terlebih dulu: Penyimpanan karbon yang baik mengacu pada penyaringan CO2 dari atmosfer dan menimbunnya di dalam tempat penyimpanan atau dalam senyawa yang stabil sehingga ia tidak bisa lepas dalam jangka waktu lama. Bahkan jika seseorang menganggap tubuh hewan ternak sebagai penyimpan karbon, dari perkiraan FAO sendiri jumlah karbon yang tersimpan dalam hewan ternak terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah yang disimpan pada hutan yang dibabat untuk lahan menanam pakan ternak dan ladang merumput.

Lebih jauh lagi, industri peternakan (seperti mobil) adalah penemuan manusia demi kenyamanan, yang tidak ada pada zaman prasejarah manusia, dan molekul CO2 yang dihembuskan ternak sama tidak alaminya seperti CO2 yang dikeluarkan dari pipa knalpot mobil. Selain itu, meskipun dengan berjalannya waktu mungkin ada keseimbangan antara jumlah CO2 yang dihembuskan hewan dengan jumlah yang difotosintesiskan oleh tumbuhan, tapi keseimbangan tersebut tidak pernah statis. Saat ini ada puluhan miliar hewan ternak lebih banyak yang menghembuskan CO2 dibandingkan dengan zaman praindustri, sementara kapasitas fotosintesis Bumi (kemampuan untuk menghilangkan karbon di atmosfer dengan menyerapnya ke dalam tumbuhan) telah menurun tajam karena penebangan hutan. (Sementara itu, tentu saja, kita juga menambahkan karbon ke udara melalui pembakaran bahan bakar fosil, yang semakin memberatkan sistem penyerapan karbon.)
FAO menyatakan bahwa pernafasan hewan ternak tidak tercantum sebagai sumber GRK yang diakui dalam Protokol Kyoto, meskipun kenyataannya, Protokol tersebut mencantumkan CO2 tanpa pengecualian, dan “yang lainnya” dimasukkan dalam kategori rupa-rupa. Agar jelas, ini seharusnya juga dicantumkan secara terpisah dalam protokol apapun yang menggantikan Kyoto.

Memang menggoda untuk mengeluarkan satu atau sumber emisi antropogenik (yang dihasilkan oleh kegiatan manusia) lainnya dari perhitungan karbon – berdasarkan kepentingan pribadi seseorang – dengan alasan bahwa hal tersebut diimbangi oleh fotosintesis. Akan tetapi, jika mereka menganggap sah untuk menghitung mobil-mobil yang digerakkan oleh bahan bakar fosil sebagai sumber GRK, sementara ratusan juta orang tidak mengendarainya, maka sama sahnya untuk memperhitungkan pernafasan hewan ternak. Ratusan juta manusia hanya sedikit atau tidak mengonsumsi produk hewani, dan pernafasan ternak (tidak seperti pernafasan manusia) tidak dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia. Dengan mengeluarkan GRK yang disebabkan oleh pernafasan ternak dari neraca GRK, dapat diperkirakan bahwa hal itu tidak dikelola dan jumlahnya akan meningkat – seperti yang terjadi dalam kenyataan.

Karbon dioksida dari pernafasan hewan bertanggung jawab atas 21% GRK antropogenik di seluruh dunia, menurut perkiraan ahli fisika Inggris Alan Calverd pada tahun 2005. Dia tidak memberikan jumlah CO2, tapi ternyata ada sekitar 8.769 juta ton. Calverd adalah satu-satunya pencetus awal perkiraan dalam bidang ini, tetapi karena hanya melibatkan satu variabel (total berat seluruh hewan ternak, karena semuanya kecuali ikan budidaya berdarah dingin, menghembuskan CO2 yang secara kasar berjumlah sama per kilogramnya), seluruh kalkulasi CO2 dari pernafasan untuk berat tertentu pada hewan ternak akan berkisar sama.

Perkiraan Calverd tidak memperhitungkan fakta bahwa CO2 dari pernafasan hewan ternak dikesampingkan dari persediaan GRK global. Juga tidak memperhitungkan GRK baru yang diakibatkan oleh peternakan dalam analisis kami. Setelah menambahkan semua GRK yang relevan bagi persediaan GRK global, persentase GRK yang diakibatkan pernafasan peternakan turun dari 21 persen menjadi 13,7 persen.

Lahan. Sejalan dengan berkurangnya luas padang rumput secara global, otomatis cara satu-satunya untuk memproduksi lebih banyak hewan ternak dan pakannya adalah dengan membabat hutan alami. Pertumbuhan pasar produk-produk hewan ternak paling banyak terjadi di negara-negara berkembang dengan hutan hujan normalnya dapat menyimpan setidaknya 200 ton karbon per hektar. Ketika hutan berubah menjadi padang rumput, muatan karbon yang dapat disimpan per hektarnya berkurang menjadi 8 ton saja.

Secara rata-rata, setiap hektar padang rumput mendukung tak lebih dari seekor sapi, yang kandungan karbonnya berkisar satu ton saja. Bandingkan dengan hutan yang dapat menyerap lebih dari 200 ton karbon per hektar yang mungkin akan dilepaskan dalam waktu singkat setelah hutan dan tumbuhan lain dipotong, dibakar, atau dikunyah. Dari dalam tanah, per hektarnya ada 200 ton karbon lainnya yang mungkin dilepaskan, yang bakal ditambah lagi dengan GRK lainnya dari pernafasan dan kotoran hewan ternak. Jadi, hewan ternak dari jenis apapun merupakan “celengan” karbon kecil yang memicu pelepasan “celengan” karbon luar biasa besar yang tersimpan di dalam tanah dan hutan-hutan. Tetapi jika produksi hewan ternak dan pakan ternak berhenti maka hutan seringkali akan meremajakan dirinya kembali. Fokus utama dalam upaya-upaya untuk mengurangi GRK selama ini adalah pengurangan emisi, tetapi hutan yang mempunyai kemampuan untuk mengurangi dampak GRK secara cepat dan murah telah lenyap lebih dahulu.

FAO menghitung emisi yang disebabkan peralihan penggunaan lahan terkait dengan adanya hewan ternak, tapi nilai GRK yang dihitung dari perubahan itu setiap tahunnya relatif kecil. Anehnya, mereka tidak menghitung jumlah yang jauh lebih besar dari pengurangan penyerapan GRK tahunan karena telah hilangnya proses fotosintesis, yang menempati 26 persen lahan di seluruh dunia untuk merumput hewan ternak dan 33 persen lahan subur di seluruh dunia untuk menanam pakan ternak, alih-alih menganggap lahan itu berkembang kembali menjadi hutan. Membiarkan lahan tropis dalam jumlah besar yang dipakai untuk merumput hewan ternak dan menanam pakan ternak, untuk kembali menjadi hutan bisa berpotensi untuk menyerap sampai setengah (bahkan lebih) dari seluruh GRK antropogenik. Penyebab utama hal ini tidak terjadi adalah karena upaya reboisasi tanah yang telah digunakan untuk memelihara ternak dan bercocok tanam pakan ternak belum menjadi prioritas; sebaliknya, produksi pakan ternak dan perluasan lahan untuk merumput malah terus berkembang pesat merambah hutan.

Atau misalkan tanah yang digunakan sebagai tempat merumput hewan ternak dan menanam pakannya, digunakan sebagai lahan pertanian yang hasilnya dapat dimakan langsung oleh manusia atau dijadikan biofuel (bahan bakar dari tanaman). Bahan bakar ini dapat menggantikan setengah dari batu bara yang digunakan di seluruh dunia, yang bertanggung jawab atas 3.340 juta ton emisi CO2e setiap tahunnya. Jumlah tersebut mewakili 8 persen persediaan GRK seluruh dunia di luar tambahan GRK yang dihitung dalam artikel ini, atau 5,6 persen GRK seluruh dunia jika GRK yang dihitung di artikel ini dimasukkan. Jika jumlah biomasa dari pakan ternak dipilih dan diproses dengan benar, maka biofuel dapat menghasilkan 80 persen lebih sedikit GRK per unit energi dibandingkan batu bara. Oleh karena itu, emisi ekstra yang dihasilkan karena penggunaan lahan untuk berternak dan menanam pakan ternak bisa diperkirakan menjadi 2.672 juta ton CO2e, atau 4,2 persen dari emisi GRK tahunan di seluruh dunia.

Mengingat dua skenario yang masuk akal ini, paling tidak 4,2 persen GRK dunia seharusnya dihitung sebagai emisi terkait lenyapnya pengurangan GRK karena penggunaan lahan untuk merumput hewan ternak dan menanam makanannya.
Metana. Menurut data FAO, 37 persen metana yang dihasilkan oleh manusia berasal dari hewan ternak. Meskipun efek pemanasan metana di atmosfer jauh lebih kuat daripada CO2, tetapi umur paruhnya di atmosfer hanya sekitar 8 tahun, dibandingkan CO2 yang setidaknya selama 100 tahun. Sebagai hasilnya, pengurangan pemeliharaan hewan ternak secara signifikan di seluruh dunia akan mengurangi GRK secara lebih cepat dibandingkan dengan menerapkan kebijakan dalam energi terbarukan dan efisiensi energi.

Kapasitas GRK dalam menyerap panas di atmosfer disebut sebagai potensi pemanasan global / global warming potential (GWP), dengan CO2 ditentukan mempunyai potensi pemanasan 1 (GWP-nya = 1). Hitungan GWP terbaru yang secara luas telah disepakati untuk metana adalah 25 dalam jangka waktu 100 tahun – tetapi angkanya menjadi 72 jika menggunakan jangka waktu 20 tahun. Hal ini lebih cocok karena dampak metana yang besar akan berkurang dalam jangka 20 tahun dan dampak buruk perubahan iklim diperkirakan akan terjadi dalam jangka 20 tahun ke depan jika tidak ada pengurangan GRK secara signifikan. Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim juga mendukung penggunaan jangka waktu 20 tahun untuk metana.

FAO memperkirakan peternakan menghasilkan sekitar 103 juta ton emisi metana di tahun 2004 dari proses fermentasi di dalam pencernaan hewan dan pengelolaan kotoran ternak, ini setara dengan 2.369 juta ton CO2e. Jumlah ini adalah 3,7 persen dari GRK dunia, nilai yang dipakai FAO dengan acuan GWP 23 yang sudah kadaluwarsa. Jika menggunakan GWP 72, maka metana dari peternakan bertanggung jawab terhadap 7.416 juta ton CO2e atau 11,6 persen GRK di seluruh dunia. Jadi dengan menggunakan jangka waktu 20 tahun dan bukannya 100 tahun maka kenaikan jumlah metana yang diakibatkan oleh produk-produk hewan ternak adalah sebesar 5.047 juta ton CO2e atau 7,9 persen. (Perhitungan lebih jauh diperlukan untuk menyesuaikan kembali emisi metana selain hasil emisi yang terkait dengan produk-produk hewan ternak dengan mengunakan jangka waktu 20 tahun.)

Sumber-sumber lainnya. Empat kategori tambahan dari GRK setidaknya berjumlah 5.560 ton CO2e (8,7 persen emisi GRK) yang telah diabaikan atau dihitung lebih kecil oleh FAO dan tidak dihitung dalam total GRK di seluruh dunia saat ini:
Pertama, Bayangan Panjang Peternakan mengutip data statistik FAO pada tahun 2002 sebagai sumber utama untuk perhitungan 18 persennya. Dari tahun 2002 sampai 2009, perkembangan produk hewan ternak di seluruh dunia telah naik 12 persen. Hal ini tentunya menghasilkan kenaikan emisi GRK secara proporsional. Melalui ekstrapolasi dari perkiraan FAO serta perkiraan kami, kami menghitung bahwa kenaikan dalam produk hewan ternak dari tahun 2002 sampai 2009 bertanggung jawab terhadap kira-kira 2.560 juta ton CO2e, atau 4,0 persen emisi GRK.

Kedua, FAO dan yang lainnya telah mencatat sering terjadinya perhitungan yang lebih kecil pada statistik resmi jumlah hewan ternak di pedesaan dan industri. Bayangan Panjang Peternakan tidak hanya menggunakan faktor yang belum dikoreksi dalam perhitungan itu, tetapi pada beberapa bagian ternyata menggunakan jumlah yang lebih rendah daripada yang ada dalam statistik FAO dan lainnya. Sebagai contoh, Bayangan Panjang Peternakan melaporkan bahwa ada 33,0 juta ton unggas yang dihasilkan di seluruh dunia pada tahun 2002, sementara Gambaran Makanan (Food Outlook) FAO pada bulan April 2003 melaporkan bahwa ada 72,9 juta ton unggas diproduksi di seluruh dunia pada tahun 2002. Laporan itu juga menyatakan bahwa ada 21,7 miliar hewan ternak yang dipelihara di seluruh dunia, sementara banyak organisasi non-pemerintah melaporkan bahwa ada sekitar 50 miliar hewan ternak dipelihara setiap tahunnya di awal tahun 2000-an. Jika jumlah yang benar mendekati 50 miliar dan bukannya 21,7 miliar, maka persentase GRK di seluruh dunia yang didasarkan atas statistik jumlah hewan ternak resmi yang dihitung lebih kecil itu kemungkinan besar berada di atas 10 persen.

Ketiga, FAO menggunakan kutipan tentang berbagai aspek GRK dari hewan ternak pada tahun-tahun sebelumnya seperti tahun 1964, 1982, 1993, 1999, dan 2001. Emisi-emisi saat ini pasti jauh lebih tinggi.
Keempat, FAO menyebutkan Minnesota sebagai sumber data yang kaya. Tetapi jika data ini disama-ratakan ke seluruh dunia maka mereka mengecilkan nilai-nilai yang sebenarnya, karena kegiatan peternakan di Minnesota lebih efisien daripada kegiatan peternakan di sebagian besar negara-negara berkembang yang sektor peternakannya tumbuh paling cepat.
Terakhir, kami percaya bahwa FAO telah mengabaikan beberapa emisi yang telah dihitung di sektor lain di luar peternakan. Emisi-emisi ini berjumlah sedikitnya 3.000 juta ton CO2e, atau 4,7 persen emisi GRK di seluruh dunia.
Pertama, FAO menyatakan bahwa “pembabatan hutan yang berhubungan dengan hewan ternak seperti yang dilaporkan, contohnya oleh Argentina tidak dimasukkan” dalam perhitungan GRKnya.

Kedua, FAO mengabaikan peternakan ikan dari definisi hewan ternaknya sehingga gagal untuk menghitung GRK dari siklus hidup dan rantai pasokan mereka. FAO juga mengabaikan emisi-emisi GRK dari konstruksi dan operasi industri-industri di lautan serta di daratan untuk menangani organisme laut yang diperuntukkan memberi makan hewan ternak (sampai separuh dari tangkapan organisme laut tahunan).

Terakhir, FAO tidak menghitung jumlah GRK yang jumlahnya lebih tinggi pada masing-masing tahapan untuk menghasilkan produk hewani dibandingkan produk nabati:
• Fluorokarbon (Diperlukan untuk mendinginkan produk-produk hewani, jumlahnya jauh lebih banyak daripada produk nabati), yang memiliki potensi pemanasan global sampai beberapa ribu kali lebih tinggi daripada CO2.
• Memasak, yang biasanya memerlukan suhu yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama untuk memasak daging daripada produk nabati, dan di negara berkembang mereka memakai banyak arang (dengan menebang pohon sehingga mengurangi penyerapan karbon) dan minyak tanah. Masing-masing menghasilkan jumlah GRK yang tinggi.
• Pembuangan kotoran cair ternak yang tak terelakkan, juga limbah dari produk hewan ternak lainnya dalam bentuk tulang, lemak, dan produk-produk rusak, yang semuanya menghasilkan GRK dalam jumlah besar ketika dibuang di tempat pembuangan sampah, tempat pembakaran sampah, dan saluran air.
• Produksi, distribusi, dan pembuangan produk-produk sampingan seperti kulit, bulu, dan kemasannya.
• Produksi, distribusi, dan pembuangan kemasan yang digunakan untuk produk-produk hewani, yang untuk alasan kesehatan dibutuhkan lebih banyak daripada produk-produk nabati.
• Perawatan medis yang intensif karbon karena jutaan kasus penyakit zoonosis (yang disebabkan oleh hewan) di seluruh dunia (seperti flu burung) dan penyakit degenerasi kronis (seperti penyakit jantung koroner, kanker, diabetes, dan hipertensi yang mengarah pada stroke) berhubungan erat dengan konsumsi produk peternakan. Perhitungan GRK yang dihasilkan produk peternakan secara menyeluruh harus memasukkan juga emisi untuk konstruksi dan operasi industri-industri farmasi dan kesehatan yang digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit ini.

Mitigasi

Ancaman utama dari perubahan iklim adalah pertumbuhan populasi manusia, yang diperkirakan sekitar 35 persen antara tahun 2006 hingga 2050. Dalam periode yang sama, FAO memproyeksikan bahwa jumlah peternakan di seluruh dunia akan meningkat dua kali lipat, sehingga emisi GRK terkait peternakan juga akan meningkat kurang lebih dua kali lipat (atau meningkat sedikit lebih kecil bila semua rekomendasi FAO diterapkan sepenuhnya), sementara secara luas diharapkan bahwa GRK dari industri-industri lain akan turun. Hal ini akan menyebabkan jumlah emisi terkait peternakan bahkan lebih tidak dapat diterima dibandingkan tingkat saat ini yang sudah membahayakan. Hal ini juga berarti bahwa strategi yang efektif harus melibatkan penggantian produk peternakan dengan alternatif yang lebih baik, alih-alih hanya mengganti satu produk daging dengan produk daging lainnya yang dianggap lebih rendah jejak karbonnya.
Teori, keyakinan, dan bahkan kepentingan yang kuat telah dibangun di sekitar gagasan untuk memperlambat perubahan iklim melalui energi terbarukan serta efisiensi energi. Namun setelah perundingan iklim internasional bertahun-tahun dan berbagai usaha praktis, hanya sedikit jumlah energi terbarukan serta efisiensi energi yang sudah dikembangkan (bersama dengan lebih banyak prasarana energi nuklir dan energi fosil). Emisi GRK terus meningkat sejak protokol Kyoto ditandatangani pada tahun 1992 dan menyebabkan perubahan iklim semakin cepat. Betapapun dikehendaki, bahkan kemajuan besar dalam mengganti energi yang tidak terbarukan saja tidak bisa menggantikan peranan penting dari tindakan mengurangi emisi GRK terkait peternakan.
Tindakan untuk menghilangkan produk peternakan tidak hanya dapat mencapai pengurangan GRK di atmosfer dengan cepat, namun juga bisa membalik krisis pangan dan air yang sedang berlangsung di dunia. Seandainya rekomendasi yang dijabarkan di bawah ini diikuti, setidaknya 25 persen pengurangan produk peternakan di seluruh dunia dapat dicapai antara saat ini hingga tahun 2017, akhir periode komitmen yang akan dibicarakan dalam konferensi iklim PBB di Kopenhagen pada bulan Desember 2009. Hal ini akan menghasilkan paling tidak pengurangan 12,5 persen emisi GRK antropogenik global, yang sudah hampir mencapai pengurangan seperti yang secara umum diharapkan untuk dinegosiasikan di Kopenhagen.
Karena mendesaknya untuk memperlambat perubahan iklim, kami percaya bahwa merekomendasikan perubahan kepada industri secara langsung akan lebih efektif dibandingkan merekomendasikan pemerintah untuk mengubah kebijakan yang belum tentu bisa menghasikan perubahan pada industri. Hal ini benar meskipun industri dan investor biasanya berhasil jika tanggap terhadap konsumen serta pemegang saham dalam jangka pendek, sementara iklim hanya dipandang sebagai risiko jangka panjang.
Gas rumah kaca yang berkaitan erat dengan peternakan dapat diatur oleh pemerintah dengan mengenakan pajak karbon (walaupun ada tentangan dari industri peternakan), dengan begitu para pemimpin dalam industri makanan dan para investor akan mencari peluang lain dan pajak karbon dapat membantu mewujudkannya. Kenyataannya, mereka mungkin akan mencari keuntungan dari peluang semacam ini meskipun tidak ada pajak karbon, karena emisi GRK terkait peternakan adalah risiko yang besar bagi industri makanan. Bencana iklim diramalkan akan lebih besar mengancam pasar yang sudah ada, dan akibatnya akan lebih membahayakan pasar yang sedang berkembang, di mana industri makanan diramalkan akan mendapatkan pertumbuhan terbesarnya jika tidak ada bencana tersebut.

Peluang

Sebuah perusahaan makanan setidaknya mempunyai tiga insentif untuk menanggapi risiko dan peluang pada industri makanan secara umum. Insentif pertama adalah perusahaan makanan telah rugi akibat bencana iklim, jadi kepentingan perusahaan itu sendiri bisa dilindungi dengan memperlambat perubahan iklim. Di daerah-daerah yang terlanda, bencana iklim bisa diperkirakan tidak hanya mengurangi pasar industri makanan, tetapi juga merusak prasarana dan kemampuannya untuk beroperasi. Sebagai contoh, semua resiko ini terjadi di wilayah New Orleans pada tahun 2005 karena badai Katrina, ketika perusahaan Whole Foods Market melaporkan kerugian sebesar US$16,5 juta pada tahun itu karena toko-tokonya rusak dan tutup di wilayah New Orleans, tidak ada penjualan, dan harus memperbaiki toko-toko yang rusak itu. Risiko seperti ini akan diperburuk oleh bencana iklim ekstrem di kemudian hari, yang kejadiannya dan kekuatannya diperkirakan akan meningkat di seluruh dunia.
Insentif kedua muncul dari besarnya kemungkinan setelah krisis ekonomi saat ini selesai, permintaan terhadap minyak akan naik ke tingkat yang tidak mungkin untuk dipenuhi karena menurunnya produksi (fenomena “puncak minyak”). Harga minyak bumi akan meningkat sangat tajam sehingga akan menghancurkan banyak bagian dari ekonomi sekarang. Produk-produk hewani akan menderita pukulan tambahan karena setiap gram biofuel dari hasil panen yang bisa diproduksi untuk menggantikan bahan bakar konvensional kemungkinan besar akan diproduksi – dan dengan demikian dialihkan dari peternakan – sebagai usaha untuk menghindari bencana. Hal tersebut telah diperkirakan oleh mereka yang bergerak di sektor peternakan dan sektor finansial karena fenomena “puncak minyak” dapat membawa kehancuran pada sektor peternakan dalam beberapa tahun. Untuk menjadi pemenang pada kompetisi dalam skenario tersebut adalah alasan lain bagi para pemimpin dalam industri makanan agar secepatnya mulai menggantikan produk hewaninya dengan alternatif yang lebih baik.
Insentif ketiga yaitu sebuah perusahaan makanan dapat memproduksi dan memasarkan produk alternatif pengganti produk hewani yang memiliki rasa serupa, tetapi lebih mudah dimasak, lebih murah, dan lebih sehat, sehingga lebih baik daripada produk hewani. Produk-produk alternatif ini dapat berupa daging sapi, babi dan ayam dari kedelai dan seitan (gluten gandum); susu, keju dan es krim dari kedelai dan beras.
Penjualan produk-produk kedelai pengganti daging di Amerika Serikat saja telah mencapai US$1,9 miliar pada tahun 2007, meningkat dari US$1,7 miliar pada tahun 2005, menurut Asosiasi Makanan Kedelai Amerika Utara. Sebagai perbandingan, penjualan produk daging di Amerika Serikat (termasuk unggas) mencapai $100 miliar pada tahun 2007. Rasio 1,9 berbanding 100 ini menunjukkan banyak ruang untuk tumbuh bagi penjualan produk pengganti daging dan susu. Produk pengganti daging dan susu telah dijual di seluruh negara berkembang, dan seperti di Amerika Serikat, penjualan telah meningkat pada tahun-tahun belakangan ini. Jadi, berbagai usaha untuk meningkatkan penjualan produk-produk ini di negara berkembang tidak harus menunggu usaha yang serupa sukses terlebih dulu di negara maju. Di seluruh dunia, pasar untuk produk pengganti daging dan susu memiliki potensi hampir sebesar pasar untuk produk hewan ternak.
Perusahaan makanan organik skala besar mungkin melihat kesempatan-kesempatan ini sangat menarik. Perusahaan seperti itu dapat membentuk anak perusahaan untuk menjual produk pengganti daging dan susu, mungkin secara khusus. Mereka dapat secara signifikan meningkatkan produksi dan penjualan produk pengganti dalam beberapa tahun dengan biaya modal yang masuk akal dan pengembalian investasi yang menarik. Dan karena produk pengganti daging dan susu diproduksi tanpa proses intensif GRK yang digunakan dalam memelihara ternak – seperti emisi CO2 dan metana dari hewan, dan penggunaan lahan untuk menanam pakan dan penggembalaan ternak – produk pengganti jelas menghasilkan GRK yang jauh lebih sedikit daripada produk peternakan. Jadi, pendapatan tambahan mungkin bisa diperoleh dari penjualan kredit karbon untuk pengurangan emisi GRK yang diperoleh melalui produk pengganti dibandingkan dengan produk ternak.
Produk pengganti susah dibedakan dari daging dan produk susu ketika mereka dipotong, dilapisi bubuk roti, diberi saus, dibumbui, atau proses yang lain, jadi berada di antara strategi berisiko paling kecil bagi anak perusahaan untuk membangun jaringan gerai makanan cepat saji yang menghidangkan burger kedelai, produk ayam kedelai, sandwich yang dibuat dengan berbagai produk pengganti daging dan/atau es krim kedelai. Jika jaringan ini berkembang dengan pesat, maka perusahaan makanan lainnya akan tergoda untuk mengikuti pelopor itu.
Jika produksi produk pengganti daging dan susu meningkat secara signifikan, maka harganya akan turun – suatu keuntungan utama setidaknya selama resesi ekonomi saat ini masih berlangsung di banyak negara. Selanjutnya akan terjadi penurunan harga dari skala ekonomi dan peningkatan persaingan di antara para pembuat produk pengganti, juga karena bahan baku utama untuk biodiesel adalah minyak kedelai. Memenuhi perkiraan permintaan biodiesel yang jauh lebih tinggi akan menghasilkan surplus makanan kedelai, yang tidak hanya merupakan produk sampingan dari minyak kedelai, tetapi juga adalah bahan baku produk pengganti daging dan susu. Kelebihan persediaan makanan kedelai bisa menurunkan harganya secara signifikan.
Bagi konsumen yang tidak suka makan produk pengganti daging dan susu, kacang polong dan padi-padian berprotein tinggi telah tersedia sebagai alternatif. Pilihan lainnya adalah daging buatan yang ditumbuhkan di laboratorium dari sel-sel hewan ternak, kadang-kadang disebut daging “in vitro”. Beberapa percobaan telah dilakukan dan sejumlah paten telah didaftarkan, tapi produksi dan kemungkinan pemasarannya baru bisa dilakukan beberapa tahun lagi dan ini akan cukup lama sebelum diketahui apakah daging in vitro bisa bersaing dengan produk pengganti dalam hal harga dan rasa, serta dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan.

Pemasaran

Untuk mencapai pertumbuhan yang dibahas di atas akan membutuhkan investasi yang signifikan dalam pemasaran, terutama karena produk pengganti daging dan susu merupakan hal baru bagi banyak konsumen. Kampanye yang sukses akan menghindari tema negatif dan menekankan hal-hal yang positif. Misalnya, merekomendasikan agar tidak makan daging satu hari setiap minggu berkesan mengurangi hak. Alih-alih, kampanye sebaiknya menyuarakan tema makan selama seminggu dengan berbagai makanan yang lezat, mudah disiapkan, dan memasukkan “makanan super” seperti kedelai, yang akan memperkaya kehidupan mereka. Ketika orang mendengar pesan menarik tentang makanan, mereka mendengarkan terutama pada kata-kata yang menimbulkan kenyamanan, keakraban, kebahagiaan, kemudahan, kecepatan, harga murah, dan popularitas. Karena itu, beberapa tema lain harus digunakan untuk membangun kampanye pemasaran yang efektif:
Dengan menggantikan produk ternak dengan produk pengganti, konsumen dapat mengambil tindakan tunggal yang kuat secara kolektif untuk mengurangi sebagian besar GRK di seluruh dunia. Pelabelan produk pengganti dengan sertifikat tentang berapa jumlah GRK yang dihindari dapat memberikan keunggulan yang signifikan.
Produk pengganti lebih murah, lebih hemat, lebih mudah dimasak, dan lebih sehat daripada produk ternak.
Produk pengganti daging dan susu dapat diposisikan sebagai produk yang jelas jauh lebih unggul daripada produk ternak, sehingga menarik konsumen yang sama dan mendorong pembelian produk-produk pengganti lainnya, seperti halnya Rolex imitasi.
Di negara berkembang, yang konsumsi daging dan susu per kapitanya lebih rendah daripada di negara maju, konsumen sering menganggap daging dan produk susu sebagai bagian dari pola makan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih baik, dan belum diberitahu tentang dampak buruk dari makanan tersebut. Namun, produk pengganti daging dan susu bahkan dapat memberikan hasil yang lebih baik, terutama jika dipasarkan dengan maksud seperti ini.
Seperti yang telah ditunjukkan oleh pengalaman bisnis hijau, target kampanye yang paling tepat adalah aktivis lingkungan, dengan alasan bahwa mengonsumsi produk pengganti daging dan susu adalah cara terbaik untuk melawan perubahan iklim. Mereka diharapkan dapat menyebarkan pesan tersebut kepada orang lain, dan dapat meminta agar produk pengganti dihidangkan pada pertemuan-pertemuan yang mereka hadiri untuk menghindari GRK dan hal ini bisa menjadi publikasi yang baik.
Mungkin anak-anak adalah sasaran yang paling mudah dipengaruhi dengan makanan baru dan makanan cepat saji karena mereka cenderung untuk mengikuti iklan, memiliki kebiasaan tertanam yang lebih sedikit daripada orang dewasa, dan sering mencari tren baru. Orangtua sering ikut menyantap makanan cepat saji atau produk makanan lain yang diminta oleh anak mereka. Pada saat yang sama, anak-anak semakin banyak dididik mengenai perubahan iklim di sekolah dan mencari aktivitas yang memungkinkan mereka melakukan eksperimen terhadap apa yang mereka pelajari. Tetapi, mereka adalah target utama pemasaran produk ternak, walaupun produk ini memiliki risiko iklim yang sangat tinggi. Untuk memperbaiki hal ini, harus dipertimbangkan untuk mengubah standar yang dapat dipakai dalam pemasaran kepada anak-anak. Dalam berbagai kegiatan, penjualan produk pengganti daging dan susu kepada anak-anak seharusnya menjadi prioritas.
Sebagai tambahan, perusahaan makanan dapat memasarkan produk pengganti daging dan susu melalui kerja sama strategis dengan perusahaan lain. Mereka dapat bekerja sama dengan sekolah, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah. Aktivis lingkungan dengan keahlian terkait dapat diminta untuk melakukan pelacakan terus-menerus dan menyeluruh terhadap GRK yang disebabkan oleh produk peternakan dan produk pengganti. Politikus dan selebriti dapat dilibatkan untuk mempromosikan kepada konsumen agar memilih alternatif dari produk peternakan.
Kami merekomendasikan agar sewaktu penjual bahan makanan merencanakan peragaan dan penetapan biaya penempatan (untuk penempatan rak yang menguntungkan), mereka mempertimbangkan keuntungan dari meletakkan produk pengganti berdampingan dengan daging dan produk susu. Hal ini membuat produk pengganti dapat terlihat oleh banyak konsumen dan dengan demikian akan meningkatkan penjualan mereka. Ini akan dapat memberikan hasil penjualan yang baik yang secara normal terjadi apabila konsumen diperlihatkan kepada bermacam bentuk produk di rak yang sama. Dengan harga produk pengganti yang lebih murah daripada produk daging, meletakkan saling berdampingan akan dapat meningkatkan keuntungan penjual bahan makanan. Jika konsumen membandingkan dan menemukan bahwa produk pengganti lebih murah daripada produk peternakan maka penempatan saling bersebelahan dapat menolong penjual mempertahankan volume penjualan mereka di saat kondisi ekonomi menurun.

Sumber Investasi

Sebuah perusahaan dengan rencana yang baik untuk meningkatkan penjualan produk pengganti daging dan susu sangat mungkin mendapatkan modal usaha yang cukup dari para investor yang mencari peluang investasi yang dapat membantu memperlambat perubahan iklim. Ia juga bisa mendapatkan pinjaman konsesi melalui lembaga kredit pembangunan dan “dana iklim”. Tetapi, mungkin perlu untuk meningkatkan kesadaran di antara para investor yang tidak akrab dengan produk pengganti daging dan susu.
Para investor dapat ditunjukkan bahwa adalah demi kepentingan mereka sendiri untuk menghindari investasi baru dalam produksi daging dan susu dan sebaiknya mencari investasi dalam produk-produk pengganti. Dibandingkan dengan proyek energi dan transportasi, proyek produk pengganti dapat diterapkan dengan cepat, dengan tingkat penambahan investasi yang relatif rendah, tingkat pengurangan GRK yang lebih besar untuk jumlah investasi yang sama, dan pengembalian investasi yang lebih cepat.
Investasi untuk meminimalkan dan mengurangi GRK kebanyakan terfokus pada energi terbarukan di bidang energi dan transportasi. Namun, prasarana energi terbarukan mempunyai siklus pengembangan produk yang lama dan kompleks dan memerlukan modal yang besar. Mengubah armada kendaraan dan pembangkit listrik diperkirakan membutuhkan triliunan dolar dan memerlukan kemauan politik dan konsensus yang masih harus diupayakan. Sekalipun uang dan politik bersama-sama setuju melakukan tugas itu, solusi seperti ini diperkirakan membutuhkan waktu lebih dari satu dekade untuk diterapkan secara penuh, saat di mana titik kritis dari bencana iklim yang tidak bisa dipulihkan mungkin telah lama terlampaui.
Sebagian besar bank komersial, sejumlah agen kredit ekspor, dan bahkan dana ekuitas telah menerima Prinsip Ekuator, yaitu mereka memiliki komitmen untuk mematuhi sekumpulan standar lingkungan dan kinerja sosial yang ketat untuk proyek investasi di negara-negara berkembang. Jika standar-standar itu menentang investasi dalam proyek peternakan skala besar, maka perusahaan dengan proyek produk pengganti daging dan susu memiliki posisi yang baik untuk menarik investasi.

Paket Manfaat

Proyek produk pengganti daging dan susu tidak hanya akan memperlambat perubahan iklim, tetapi juga membantu mengurangi krisis pangan global, karena dibutuhkan jauh lebih sedikit hasil pertanian untuk menghasilkan jumlah kalori tertentu dalam bentuk produk pengganti daripada produk ternak. Produk pengganti juga akan mengurangi krisis air global karena air dalam jumlah besar yang diperlukan untuk produksi ternak akan bisa dihentikan. Kesehatan dan gizi yang diberikan kepada konsumen akan lebih baik daripada produk ternak. Proyek produk pengganti akan lebih padat karya daripada proyek ternak sehingga akan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan pekerjaan yang butuh keterampilan. Mereka juga akan terhindar dari praktik-praktik kerja berbahaya yang ditemukan di sektor peternakan (tetapi tidak ada dalam produksi produk pengganti), termasuk pekerja budak di beberapa daerah seperti kawasan hutan Amazon. Pekerja yang menghasilkan produk ternak dapat dengan mudah dilatih kembali untuk menghasilkan produk pengganti.
Tentu saja, sebagian hewan ternak akan terus dikembang-biakkan, terutama jika diperlukan dalam sistem usaha tani campuran. Mereka juga penting di daerah-daerah di mana sektor pertenakan merupakan salah satu cara bagi penduduk pedesaan yang kurang mampu untuk menciptakan aset dan mendapatkan penghasilan. Akan tetapi, hal itu semakin berkurang karena adanya perkembangan dramatis dalam penggunaan komputer, komunikasi bergerak, perbankan bergerak, kredit mikro, dan listrik luar jaringan (off-grid electricity) pada tahun-tahun belakangan ini, telah menciptakan banyak kesempatan baru bagi komunitas yang kurang mampu di pedesaan.
Selama bertahun-tahun, anjuran kepada alternatif dari produk peternakan didasarkan atas argumen tentang gizi dan kesehatan, kasih sayang kepada hewan, dan masalah-masalah lingkungan selain intensitas karbon. Penjelasan ini sebagian besar telah diabaikan dan konsumsi produk ternak di seluruh dunia telah meningkat, menyebabkan sebagian orang percaya bahwa anjuran semacam itu mungkin tidak akan pernah berhasil. Bahkan mendesak pemerintah untuk mengharuskan pengurangan produksi ternak atas dasar perubahan iklim mungkin tidak efektif karena industri makanan mempunyai kemampuan lobi yang kuat. Tetapi, bila bisnis produk pengganti daging dan susu jelas, maka mereka yang biasa melobi pemerintah dapat langsung menarik perhatian pemimpin di bidang industri makanan, yang mungkin akan menyambut mereka sebagai juara. Risiko bisnis proyek produk pengganti sama dengan sebagian besar proyek pabrikan makanan lainnya, tapi risiko akan dikurangi oleh fakta bahwa sebagian besar prasarana yang diperlukan (seperti untuk penanaman dan pengolahan biji-bijian) sudah ada.
Perubahan kuncinya adalah pengurangan produk peternakan secara signifikan. Pertumbuhan yang dipacu industri atau permintaan telah berhasil dalam industri lain, seperti industri komputer dan ponsel, yang berarti bahwa produk pengganti daging dan susu juga dapat meraih sukses. Pada umumnya, industri makanan di seluruh dunia memiliki kapasitas pemasaran yang sangat canggih, menjadikan pertumbuhan yang tinggi dari pemasaran produk makanan baru praktis adalah hal yang wajar – bahkan sebelum seseorang mempertimbangkan keuntungan esktra yang bisa diraih dari manfaat memperlambat perubahan iklim.
Risiko bisnis seperti biasanya mengungguli risiko perubahan. Pertimbangan untuk perubahan tidak lagi hanya sebuah kebijakan publik atau masalah etis, tetapi sekarang juga menjadi pertimbangan bisnis. Kami yakin bahwa membalik perubahan iklim dengan cepat adalah pertimbangan bisnis terbaik bagi semua industri.

Robert Goodland pensiun sebagai penasihat utama lingkungan Kelompok Bank Dunia (World Bank Group) setelah melayani di sana selama 23 tahun. Pada tahun 2008, dia dianugerahi Medali Coolidge Memorial yang pertama oleh IUCN atas sumbangannya yang besar terhadap pelestarian lingkungan. Jeff Anhang adalah petugas riset dan spesialis lingkungan di Perusahaan Keuangan Internasional Kelompok Bank Dunia, yang menyediakan pembiayaan sektor swasta dan saran di negara-negara berkembang.

Untuk informasi lebih banyak mengenai masalah yang diangkat dalam artikel ini, kunjungi : http://www.worldwatch.org/ww/livestock

wawancara dengan Bondan Gunawan tentang Gus Dur

Kalah, Tapi Wibawa atau Karismanya Tak Hancur

Gus Dur


Tak terhingga jumlah teman dan kenalan Gus Dur, tetapi sedikit yang berdampingan dengan Guru Bangsa itu sejak dia masih melata dalam perjuangan menegakkan demokrasi dan penghormatan terhadap keberagaman kepercayaan dan keyakinan sampai dia duduk di Istana. Di antara yang sedikit itu adalah Bondan Gunawan, sohib Gus Dur ketika mendirikan Forum Demokrasi tahun 1993, dari mana gerakan demokrasi menemukan momentum baru dengan tokohnya seorang yang sangat berakar di kalangan agama, tapi dengan visi kebhinnekaan.
Bondan tidak hanya menjadi teman Gus Dur yang enak dalam diskusi, tetapi juga ketika melonggarkan otot dan syaraf dengan mampir makan-minum di warung-warung sederhana di tepi jalan, berbaur dengan segala rupa orang tanpa merasa kehilangan harga diri.
Pria kelahiran Yogyakarta, 24 April 1948, lulusan fakultas teknik jurusan teknik geologi Universitasa Gajah Mada ini mencapai puncak karier politiknya sebagai Sekretaris Negara. Berdasarkan perintah Presiden Abdurrahman Wahid, dia membuat sejarah dengan masuk ke dalam sarang Panglima Angkatan Perang GAM, Teungku Abdullah Syafei, untuk menyelesaikan konflik Aceh di meja perundingan. Ketika mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, menerima Nobel Perdamaian tahun 2008, mereka yang lupa akan sejarah berharap Susilo Bambang Yudhoyono akan menerima penghargaan serupa. Mereka lupa, Gus Durlah yang membuka jalan menuju perdamaian.
Bondan adalah adik Brigjen Katamso Dharmosaputro, Komandan Korem 072/Pamungkas, yang diculik dan terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Sekarang Bondan memimpin semacam paguyuban politik bernama Gugus Nusantara yang bermarkas di rumahnya di Cempaka Putih. Ke alamat ini suatu hari Gus Dur datang pada hari ulangtahunnya yang ke-68, dan Bondan merayakannya. Akankah teman dekat Gus Dur ini mengulang sejarahnya dengan jurus yang baru ini? Berikut petikan wawancara Hotman J. Lumban Gaol dan Martin Aleida dengan Bondan Gunawan mengenai Gus Dur:

Setelah Gus Dur menjadi presiden perubahan apa yang telah dia lakukan?

Gus Dur telah melakukan perubahan justru sebelum beliau menjadi presiden. Perubahan yang pertama kali beliau lakukan adalah ketika dia memimpin NU. Untuk menjadi ketua PBNU seseorang harus memenuhi ketentuan Dewan Syuro yang antara lain mengharuskan calon memahami Kitab Kuning. Gus Dur melepaskan ketentuan tersebut.
Sesudah dia menjadi presiden, banyak yang kita rasakan. Gus Dus semakin mengembangkan pluralisme dan juga memposisikan semua institusi pada tempatnya, reformasi birokrasi di seluruh bidang. Salah satu yang menjadi konsen beliau adalah bagaimana memisahkan polisi dari angkatan bersenjata. Dan menjabarkan dwifungsi. Itu yang sangat menonjol. Dan berikutnya adalah bahwa Istana Negara dan Istana Merdeka diposisikan dekat dengan rakyat, tidak dibuat jauh dari rakyat. Sehingga sistem protokoler yang selama ini berlaku beliau buat longgar.
Contohnya?
Dalam hal penerimaan tamu. Dia tidak pernah menolak tamu. Asal sampai ke telinganya, Gus Dur akan menerima. Tetapi, karena ketatnya protokol di Istana, maka dia buka pintu pertemuan di Jalan Irian, Menteng.
Forum Demokrasi didirikan dalam rangka apa?
Gus Dur dan teman-temanya merasa bahwa secara seremonial demokrasi ada. Ada pemilu, tetapi tidak ada perubahan bagi kepentingan rakyat. Apalagi pemilu itu tidak memberikan kemungkinan pergantian kepemimpinan nasional sebagaimana mestinya. Kalau hal ini berlanjut terus, tidak baik bagi masa depan bangsa. Tidak dihasilkan pemerintahan yang memikirkan kepentingan umum, yang ada adalah pemerintahan yang otoriter, atau dinasti pemeritahan yang kuat. Oleh karena itu, Gus Dur mengajak kita membangun Forum Demokrasi.
Anggotanya?
Dari berbagai kecenderungan ideologi. Dari teman-teman yang berasal dari berbagai agama, berbagai etnis, tidak ada batasan. Siapa saja bisa masuk. Badan pekerjanya lima orang: Gus Dur, saya sendiri, Todung Mulya Lubis, Marianne Katoppo, Alfons Taryadi. Sementara Marsilam Simanjuntak dan Rahman Tolleng menyusul kemudian. Kelompok kerjanya terdiri dari lima orang. Di dalam perkembanganya kita tidak pernah membatasi siapa yang masuk dalam kelompok kerja tersebut. Forumnya menyelenggarakan diskusi setiap Rabu. Dan kita juga punya pertemuan-pertemuan yang sifatnya terbatas. Ke pertemuan itu Marsilam Simanjuntak, Daniel Dhakidae, dan Rahman Tolleng sering datang.
Di mana pertemuan berlangsung?
Di Gondangdia. Di Jalan Cemara 5. Kemudian kita pindah ke Jalan Moria. Habis dari Jalan Moria kita pindah ke rumah ini (rumah Bondan di Jl. Cempaka Putih Raya). Setelah Gus Dur mendirikan PKB, kepengurusannya berganti, dan beliau mundur dari Forum Demokrasi, kemudian saya yang memimpin.
Bisa diuraikan tentang keputusan Gus Dur sebagai presiden yang memberikan kebebasan bagi masyarakat keturunan Tionghoa untuk merayakan budaya mereka?
Sebenarnya, sebelum menjadi presiden pun beliau bersama saya telah membentuk Yayasan Nur Kebajikan. Tugas yayasan ini utamanya mendorong MATAKIN, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, agar mendapat tempat yang sama di masyarakat. Waktu itu, kita sepakat, bahwa agama tidak harus memperoleh pengakuan pemerintah segala. Karena menurut kita Konghucu itu sudah ada sebelum Indonesia ada. Dasar pemikirannya itu. Mengapa majemuk? Karena sejak dulu Indonesia itu bermacam-macam. Dan keberagaman itu kita perjuangkan supaya diakui. Kita melihat ada kesenjangan. Misalnya bagi mereka yang menikah secara Konghucu kalau melahirkan anak, mereka akan kesulitan mengurus akte kelahiran, karena Konghucu tidak diakui sebagai agama. Itu bukan hanya dialami oleh saudara-saudara kita peranakan Tionghoa. Demikian juga halnya, misalnya, dengan penganut Sunda Wiwitan, atau Parmalim di Tanah Batak sana. Boleh jadi kalau mengaku Parmalim tidak akan bisa mengurus akte kelahiran. Padahal, itu budaya. Parmalim sudah ada sejak dulu. Itulah sebabnya mengapa diupayakan untuk memberikan pengakuan.
Jadi, semua pemikiran itu sudah ada sebelum Gus Dur jadi presiden?
Dia tidak mencari popularitas.
Apa dasar pemikiran Gus Dur mengenai pluralisme?
Pluralisme itu didasarkan pada nilai-nilai lingkungan. Menurut Gus Dur, ketika kemajemukan itu ada maka daya dukung lingkungan akan tinggi. Sesunggguhnya kita diberikan Tuhan berbagai-bagai macam budaya. Dan menurut saya, tidak ada bangsa di dunia ini yang tidak mengeliminir salah satu etnisnya. Misalnya, Amerika Serikat mengeliminir suku Indian, Australia mengeliminir Aborigin, Jerman juga begitu. Indonesia tidak! Di sini semua ada, semuanya punya tempat. Tidak ada kelompok yang disisihkan, walau memang ada yang tertinggal. Di Sumatera, misalnya, ada Suku Anak Dalam, di Papua pun demikian. Tetapi, kita memberikan tempat, dan mereka itu punya hak yang sama seperti suku bangsa yang lain. Itulah yang menurut saya yang dijadikan Gus Dur sebagai pijakan. Bahwa kita ini bangsa yang majemuk. Dia mempertahankan pluralisme, bahkan keyakinan-keyakinannya.
Termasuk mengubah nama Irian menjadi Papua?
Kalau itu memang keinginan masyarakat sana. Kenapa tidak! Setiap provinsi punya bendera, juga kabupaten. Selain merah putih sebagai bendera nasional, tidak masalah kalau ada yang mengibarkan Bintang Kejora. Bagi Gus Dur, Bintang Kejora itu indentitas Papua. Kenapa dilarang? Yang lain ’kan berpikir pendek. Dari dulu nama mereka memang Papua. Sekarang, apakah Tapanuli ingin memisahkan diri dari Indonesia, karena ada Taput ada Tapsel? Kadang-kadang timbul kesalah-pahaman dari mereka yang tidak mengerti secara mendalam tentang pikiran Gus Dur. Gagasan yang visioner dari Gus Dur jarang dipahami orang. Dan dia jarang menjelaskan apa yang menjadi kebijakannya. Kan kalau kebijakan itu dijelaskan bukan kebijakan lagi namanya. Jadi berisiko juga dengan sikapnya semacam itu.

Tetang ketetapan MPRS yang melarang Marxisme yang ingin dicabutnya?

Kita bukan orang-orang yang soliter. Apa urusannya sekarang, kalau ada sebuah idelogi, kalau sesungguhnya kita juga punya embrio ideologi itu. Cinta bangsa itu sikap nasionalisme kita dalam kaitannya dengan Negara. Kita juga memiliki watak kebersamaan yang dalam bahasa dulunya disebut ”gotong royong.” Gus Dur melihatnya dari situ. Bukan masalahnya mau memberi hati kepada PKI. Bukan tujuannya untuk membangun kembali PKI. Jadi, kalau soal itu adalah idelogi yang berada di tengah masyarakat kenapa tidak dikembangkan. Nah, lihat sekarang, lahirnya neolib. Orang, mau tidak mau harus mengakui karena tak adanya kebebasan, maka tidak ada yang mengontrol watak serakah neolib. Nah, ini contoh kongkrit. Secara empiris bisa dirasakan, dan bayangkan, sekarang tokoh politik pastilah orang-orang yang punya uang. Misalnya, Sitorus (DL Sitorus), dia bisa mendirikan partai. Kalau tidak punya uang bagaimana dia bisa mendirikan partai? Jangan harap bisa mendirikan partai kalau tidak punya uang. Nah, hal-hal semacam ini mengakibatkan perubahan dalam sistim nilai.
Sejauh mana pikirian Gus Dur berpengaruh pada Anda?
Saya dan Gus Dur berbeda ideologi. Dia itu NU, saya ini Sukarnois. Tetapi, kami punya kesamaan, pijakan kami adalah masyarakat tradisional. Basis NU adalah masyarakat tradisional, saya juga masyarakat tradisional yang sama yang ada di berbagai daerah. Jadi, pertemuan saya dengan Gus Dur itu bukan pertemuan pertemanan, tetapi pertemauan ideologis.
Orang juga akan bertanya-tanya kapan sebutan “Guru Bangsa” itu melekat pada diri Gus Dur, tahu-tahu dia menjadi guru bangsa. Gus Dur sendiri tidak pernah mempersiapkan, apalagi serius menjadi presiden. Yang lain punya uang untuk menjadi presiden. Gus Dur tidak punya! Waktu itu, sebelum masuk istana, dia tanya saya. “Mas, uang saya cuma tinggal seratus ribu lagi, bagaimana ini?” Lalu, saya bilang, nanti kita cari sama-sama. Jadi dialah presiden yang tidak punya uang.
Apakah Gus Dur lebih baik sebagai Bapak Bangsa daripada presiden?
Ada cerita, tetapi cerita ini sangat dramatis. Mengapa Gus Dur disebut Guru Bangsa. Satu hari, sesudah Forum Demokrasi terbentuk, saya barbicang-bicang dengan Gus Dur berdua. Kami memang sering berbicang-bicang berdua. Dia bercanda dan bilang begini, “Orang menganggap kita ingin menjadi presiden. Mas Bondan, kalau saya jadi presiden, teman-teman saya banyak yang hanya lulusan IAIN. Jadi, menterinya siapa?” Waktu itu tahun 1991, Suharto masih kuat.
Katanya, ”Kalau jadi presiden jangan lama-lama. Cukup dua tahun saja. Tahun pertama kita cabut semua ketetapan-ketetapan yang nggak-nggak itu. Tahun kedua kita siapkan pemilu.” Jadi, dari omongan bercanda itu, yang ada dalam pikiran kita waktu itu adalah bahwa Gus Dur hanya memimpin dua tahun. Setelah itu berhenti. Ketika dia memperingati usianya yang ke-68, dia datang ke rumah ini. Saya minta dia keluar dari percaturan politik. Nggak mau. Dia bilang di depan Magnes Suseno, Rahman Tolleng, dia minta didukung dua tahun lagi untuk terlibat dalam percaturan politik. Seketika itu juga saya jengkel. Tetapi lama-lama saya pikirkan, saya baru ingat kelakuannya. Dia pernah ngomong demokrasi butuh partai. Partai kan alat untuk mencapai kekuasaan. Kita semua di Forum Demokrasi tidak ada yang di partai. Artinya, apa? Kalau mau mengatur republik ini, ya berpartailah. Jadi, caranya seperti itu. Dengan temannya pun tidak pernah ngomong secara eksplisit. Tersirat, tersirat. Begitulah caranya ngomong. Saya juga heran dia sudah dipinggir-pinggirkan kekuasaan tetapi terus berjuang. Jadi kalau ditanya apakah menyesal Gus Dur menjadi presiden? Jawabannya jelas tidak. Dia manusia besar yang mendahului zamannya. Gus Dur presiden atau tidak bagi saya sama saja. Tetapi, saya punya catatan juga, manusia besar kalau membuat kesalahan dampaknya besar juga. Namun, jasa-jasa besarnya akan tetap diingat.
Dekrik itu bukankah kesalahannya yang paling fatal?
Iya. Sebetulnya dia akan membuat apa saja [untuk mempertahankan diri dari serangan lawan politiknya], tetapi seperti yang saya katakan tadi, dukungannya di parlemen hanya sedikit. Jadi dektrit itu upaya terakhir. Tanpa dia buat dektrit itu, dia telah dimakzulkan. Dekrit itu sebenarnya adalah upayanya yang terakhir untuk memukul, walau sebenanya Gus Dur sudah tak berdaya.
Apa isi dekrik itu?
Meminta DPR bubar, meminta Golkar bubar. Hanya saja, saya punya feeling tidak mungkin akan berhasil. Wong orang-orangnya sendiri di parlemen yang akan menderita. Bagaimana dengan anggota PKB yang baru saja kredit rumah dan kredit mobil… Limapuluh tiga anggota DPR PKB akan begok-begok kalau parlemen dibubarin. Saya ngomong seperti itu kepada Gus Dur. Tetapi, dia bilang, ”Biarin saja…”
Sebagai orang yang dekat dengan Gus Dur, kesan apa yang melekat?
Gus Dur itu, kalau pun tidak cocok, dia tidak ingin menyakiti hati orang. Itu yang saya rasakan. Dia orang yang sangat bertenggang rasa tinggi. Sifat itu sudah melekat pada habitnya sehari-hari. Dia adalah orang yang sangat sederhana. Saya tidak pernah melihat dia menikmati fasilitas duniawi yang melekat dalam dirinya. Nggak ada terbersit terlihat oleh saya dia menikmati kemewahan lahiriah. Orang sering keliru, Gus Dur diejek sering jalan-jalan ke luar negeri. Beliau katakan soal itu pada saya. “Saya kalau jalan-jalan itu, yang saya nikmati apa sih Mas, wong saya juga tidak bisa lihat apa-apa.” Dia bilang, kita kan rame di dalam negeri, tetapi kita tak boleh kalah pamor di luar negeri. Dia selalu bercanda dengan mengatakan: “Bung Karno gila wanita. Pak Harto gila harta. Kalau saya gila-gilaan.”
Gus Dur gagal dalam kaderisasi. Benar?
Dia selalu ditanya orang mengapa kaderisasinya tidak jalan? Dia menjawab: Kadernisasinya adalah melahirkan orang-orang yang berani melawan dia. Gus Dur menciptakan kebebasan, mengajari orang mau berbeda, sehingga orang-orang yang dia didik melawan dia. Syaifullah Yusuf, Matori Abdul Djalil, Muhaimin Iskandar, semua! Jadi kalau kita tanya, apakah dia tokoh liberal dalam melahirkan kader. Dia bukan hanya liberal, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa kamu bisa berbeda dengan orang lain.
Dia tidak memukul balik?
Ya, dia pukul balik juga. Tetapi, kadang-kadang dia harus kalah. Karena stamina yang muda-muda lebih kuat dari dia. Muhaimin dekat dengan kekuasaan, dan dengan begitu ia akhirnya mengalahkan Gus Dur. PKB-nya kalah. Tetapi, anehnya kekalahan itu tidak menghacurkan wibawa atau karismanya. ***

Sitor Situmorang


Sitor: Sastra dan Politik

Sitor Situmorang

Hotman J. Lumban Gaol

Raja Usu, demikian nama yang diberikan Ompu Babiat kepada anaknya yang kemudian masyhur menjadi penyair dan budayawan dengan nama Sitor Situmorang. Ompu Babiat meninggal pada usia 123 tahun. Ompu Babiat adalah panglima perang dari Sisingamangaraja XII yang mendirikan benteng perlawanan terhadap penjajah Belanda di Lintong. Menurut pengakuan Sitor, walau Ompu Babiat dibaptis oleh Zending, namun sampai akhir hayatnya dia tetap menjalakan ritus agama Batak. “Dia tidak makan daging babi. Berambut gondrong, mengunyah sirih, dan tidak pernah menggunakan angkutan modern (mobil) ke mana pun dia pergi. Dia mirip seperti orang Badui Dalam, mempertahankan budaya nenek-moyangnya.” Lukisan lahiriah ayahnya itu direkam Sitor dalam otobiografi Sitor Situmorang seorang satrawan 45 peyair Danau Toba. Riwayat hidup tersebut ditulis 30 tahun lalu, takkala sang penyair berumur 55 tahun. Sekarang, Puji Tuhan, panjang umurnya, dia berusia 85 tahun.

Sitor adalah anak kelima dari sembilan bersaudara. Lahir 2 Oktober 1924 di lembah yang menghampar untuk mengilhami penyair dan para pemuja keindahan, sebuah desa yang bernama Harianboho. Desa tersebut berada di luar pulo Samosir. Dalam salah satu sajaknya, Sitor menyebut Harianboho sebagai lembah yang kekal. Sitor adalah sundut atau tingkatan marga ke-18 dari Situmorang.

Sebenarnya asal-usul marga mereka dari Urat, Samosir. Pada tahun 1908, setelah Perang Batak usai, berakhir dengan wafatnya sang Raja Batak Sisingamangaraja XII, Ompu Babiat pun menyerah pada Belanda dan membangun kehidupan yang baru di Harianboho, keluar dari Samosir. Di sanalah Sitor lahir dan dibesarkan hingga remaja. Untuk mengenang lembah kekalnya, Sitor menulis sajak “Harianboho.” Sajak yang selalu mengingatkannya pada lembah kekakalan, lembah Harianboho, yang tiada duanya. Ke mana pun dia mengembara, di kaki langit yang mana pun dia berpijak, kenangan pada Harianboho tidak terlupakan. Lembah yang kekal itu dia dendangkan dalam sajak berjudul Harianboho:

’Ku yakin menemukan jalan selalu
kembali padamu,
jalan pulang ke landai
di tepi danau
sepanjang pantai

’Ku yakin selalu padamu kembali
di akhir nanti,
saat kembara berakhir,
tiba saat pada musafir.

Di lading dan gerbang
negei-negeri ramah, tapi asing,
kau pun terkenang.

Betapa sering,
puluhan tahun negeri orang,
jadi tamu ragam cinta,
namun penumpang jua.
Karena ketentuan masalalu,
tak dapat diulang,
lahir sekali di pangkuanmu.

Ingatan jadi keyakinan terang.
Di seberang aku berada
kau di telapak terbawa,

menanti di tiap langkah
batu-batu lembah semula.

Cintanya bukan hanya pada Harianboho, juga pada Danau Toba dan Tanah Batak secara umum. Sajaknya, “Angin dan Air Danau Toba” menceritakan saat-saat Sitor muda, dengan menumpang perahu meninggalkan rumahnya di tepi baratlaut Danau Toba untuk melanjutkan pendidikan. Keterikantannya pada negeri Batak seakan tak terlerai. Masa kanak-kanaknya, kehidupan dan tata cara yang direndam dalam mitos Batak kuno menjadi sesuatu yang musykil untuk terlupakan oleh Sitor. Sitor yang berarti berputar-putar dibuatnya Ibunya kalau sedang mencarinya, saking lasaknya ketika masih kecil. Sifat yang ketika dia tumbuh dewasa menjadikannya seorang pengembara, pulang dan pergi ke beberapa negeri Eropa, terutama Belanda, negeri asal istrinya yang kedua, Barbara Brower.
Sitor kecil dididik dalam tradisi pendidikan Belanda. Mengenyam sekolah Hollands Inlands School (HIS) semacam sekolah dasar di Balige dan Sibolga, yang kemudian dilajutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setara SMP sekarang, di Tarutung, dan Algemeene Middelbare School (AMS) setara SMA di Jakarta yang masih bernama Belanda, Batavia. Saat dududk di MULO Tarutung, dia mengalami banyak perubahan, seperti seorang manusia purba yang melihat dunia baru, peradabadan yang asing untuk nenek-moyangnya. Untuk pertama kali melihat mobil dan merasakan sensasi menonton film. Pertemuan Sitor dengan sastra adalah ketika dia membaca “Max Havelaar,” karangan Murtatuli. Buku tersebut dia temukan di perpustakaan kakaknya.
Di MULO Tarutung, Sitor muda gemar pada pelajaran ilmu pasti. Menurutnya, belajar di sekolah Belanda guru-gurunya berlainan; lain guru untuk ilmu pasti, lain guru sejarah, lain pula guru bahasa. Di kelas, dia selalu berada di ranking atas. Kerapkali, guru ilmu pasti mengajar hanya sebentar, lalu menyerahkan murid-murid pada Sitor yang sudah dianggap sebagai asisten guru. Namun, dia menganggap kepercayaan itu sesuatu yang bisa-biasa saja. Menurut dia, kalau ujian ilmu pasti Sitor tidak diuji guru, malah diminta untuk mengawasi teman-temannya sekelas. Alasan gurunya sederhana saja, Sitor sudah dianggap mengerti dan tuntas memahami pelajaran. “Saya jadi profesor kelas tiga. Dulu, sekolah Belanda menyebut semua guru itu profesor. Sayalah profesor sampai kelas tiga,” katanya mengenang.
Tamat dari MULO Tarutung, Sitor melanjutkan studi ke Batavia, nama lama Jakarta. Dia diterima di sekolah Belanda. Belakangan sekolah ini berubah menjadi Perkumpulan Sekolah Kristen Jakarta (PSKD). Dia mendapat kursi di sekolah itu dengan melenggang masuk, tanpa tes. Tetapi, di Batavia Sitor tenggelam ke dalam dunia lain, yang membuatnya malas menghadapi pelajaran. “Malas sekolah, apalagi ilmu pasti, saya malas. Kerja saya hanya baca, baca, dan baca terus.” Namun, kegemaran membaca ini menjadi bekal bagi karirnya kelak.
Dalam periode inilah bakat kepenyairannya mulai menemukan bentuk. Menurut dia, kemampuannya sebagai penyair terbina sejak kecil, melalui kedekatan dan penghayatannya pada acara-acara adat. Sebelum bersekolah sudah terbiasa mendengar pidato-pidato yang bagus yang disampaikan oleh para tetua adat dalam bahasa Batak. “Sejak kecil saya terbiasa mendegar ibu-ibu mangandung,” kenang Sitor. Mangandung adalah satra lisan dalam masyarakat Toba, yang didendangkan seraya menangis dengan syair-syair yang menceritakan kisah hidup orang yang meninggal. Membaca banyak buku-buku sastra dan sejarah semakin mengasah ketajaman kepenyairannya.
“Saya menangkap tema dari pengalaman, pengamatan atau pendengaran yang mengharukan perasaan. Menulis sajak juga soal kepekaan bahasa. Bahasa itu bentuk budaya yang hidup dalam diri kita lewat pendengaran, pengalaman, bergaul dengan manusia lain. Ada bunyi, irama. Makin tambah umur, kepekaan menerima suara-suara, nada-nada, dan irama makin kendor,” katanya.
Sitor pernah menjadi wartawan. Karier jurnalistiknya dimulai tuhan 1942, menjadi redaktur harian Suara Nasional dan pernah menjadi wartawan perwakilan kantor berita ANTARA di Pematang Siantar. Oleh pendiri koran Waspada yang terbit di Medan, tahun 1947 Sitor ditawari untuk menjadi koresponden harian itu di Yogyakarta. Masa itu pusat pemerintahan republik berada di Yogyakarta. Dari kota itulah Sitor mengirimkan tulisan-rulisannya untuk Waspada, sehingga koran tersebut salalu mendapat berita-berita aktual dari pusat. Tidak jelas, mengapa dalam buku “40 tahun Koran Waspada” nama Sitor tidak disebut.
Dia juga pernah menjadi wartawan Berita Nasional dan Warta Dunia. Tahun 1959 hingga 1965 Sitor menjadi pejabat di bidang kebudayaan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bersama berbagai tokoh nasional dalam berbagai bidang dia pernah menjadi anggota Anggota Dewan Nasional, anggota Dewan Perancang Nasional, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan Departemen Perguruan Tinggi pada awal tahun 1960-an. Dia adalah ketua Lembaga Kebudayaan Nasional, sayap kebudayaan dari Partai Nasional Indonesia, sejak organisasi itu berdiri tahun 1959 sampai dibubarkan oleh rezim militeristis Suharto tahun 1965. Tak jauh dari dunia kesenimanan, dia pernah pula menjadi dosen di Akademi Teater Nasional. Pada tahun 1956-57 Sitor malah sempat menekuni sinematografi di California, Amerika Serikat. Anak desa Harianboho ini pernah pula menjadi dosen tamu di Universitas Leiden, Belanda (1981-1991). Dia sering mengembara di berbagai negara Eropa, terutama Negeri Belanda, Perancis, Italia, dan Spanyol. Dia berkunjung ke Beijing awal 1960-an dan menulis puisi-puisi perjalanan tentang Tiongkok. Dia berkunjung ke Singapura tahun 1942.
Di ulangtahunnya yang ke-85 dia tak kelihatan lelah. Matanya menatap tamu dengan cerah. Kalau memberikan tekanan, suaranya tetap tinggi. Gayanya yang khas juga tak berubah: menggebrak, menunjuk-nunjuk, terkadang malah mengguncang pundak lawan berbicara sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Salah satu sajaknya yang paling digemari publik adalah Lagu Gadis Itali. “Ketika menulis sajak itu saya memang menggunakan kekuatan pantun,” katanya. Pandangan politiknya dengan nyata tercermin dalam sajak-sajaknya. “Silakan nilai puisi saya dari puisi, bukan dari politik. Saya memang menulis puisi politik, ada juga yang tidak. Jika politik dinilai merusak bakat saya, itu kesimpulan mereka. Banyak orang yang memaksakan penilaian dengan hanya membaca puisi politik saya. Padahal, mereka juga membaca puisi saya yang non-politis, tapi tidak masuk penilaian. Ini tidak baik. Jika sajak saya dianggap tidak berhasil, silakan. Tapi, itu bukan karena aktivitas saya di politik.”
Dia berteman dengan semua sastrawan dan budayawan. Baginya, satu musuh terlalu banyak, seribu teman terlalu sedikit. Pertemanannya dengan Pramoedya Ananta Toer layaknya kedekatan yang tidak lekang oleh ketuaan. Persahabatan kedua sastrawan besar itu suatu ketika diperingati di Goethe House, Jakarta, di mana Sitor membacakan puisinya ”Blora” sebagai kenangan untuk Pram yang lahir dikota yang dinyanyikan Sitor dalam sajaknya itu.
Penyair dan dramawan Rendra memanggil Sitor dengan sapaan hormat dan bersahabat: Abang. Ketika Rendra meninggal 6 Agustus 2009, Sitor membacakan sajaknya di hadapan jasad temannya itu. Sajak yang dia bacakan itu semula berjudul ”Lagu Malamku Kini.” Namun, sebagai penghormatan pada Rendara judulnya dia tulis ulang menjadi ”Lagu Malammu Kini,” dan semua akhiran ”ku” berubah menjadi ”mu.”
Lagu Malammu Kini

Matranya ombak
zikirnya sungai
bahana hutan
deru samudra

lagu malamu kini
di pangkuan semesta
alam pesta tari
alunan gamelan dewa-dewa

cintamu, cintamu, sempurna!

Menurut Ajip Rosidi, temannya dan sesama anggota Akademi Jakarta, “Mungkin Sitorlah penyair yang paling banyak menghasilkan sajak di Indonesia.” Hampir 600 judul sajak yang dia tulis dalam kurun waktu yang cukup panjang, antara 1948 – 2005. “Dan Sitor sekarang masih hidup dan masih menulis sajak,” tulis Ajip.
Menurut Ajip Rosidi, sajak-sajak Sitor Situmorang yang mulai mendapat ”perhatian besar” adalah yang dia tulis sekembalinya dari perjalanannya ke Eropa untuk pertama kali pada tahun 1950. Waktu itu Sitor merupakan salah seorang seniman Indonesia yang menerima undangan dari Sticusa, lembaga kerjasama kebudayaan Belanda, untuk berkunjung ke negeri bekas penjajah tersebut. Sajak-sajaknya itu, menurut penilaian Ajip, ”… seakan membawakan suasana baru bagi perkembangan puisi Indonesia pada waktu itu, yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai ’zaman puisi gelap,’ karena kata-kata yang membentuk sajak-sajak tidaklah memberikan arti atau citra yang dapat ditangkap oleh pembvaca.” Sajak-sajak Sitor, kata Ajip Rosidi, yang adalah juga seorang penyair dan budayawan penting Indonesia, seakan menghidupkan kembali puisi lama yang tadinya sudah dilupakan orang karena dianggap ketinggalan zaman.
Sementara Harry Aveling, Director of Asian Studies School of Social Science La Trobe University, Australia, melihat sajak Sitor Situmorang banyak berisikan hasil renungan pengalaman religiusnya, sebagai seorang pemeluk agama Kristen. Harry Aveling menjuluki Sitor Situmorang sebagai penyair agung, karena selama 60 tahun lebih terus berkarya dan telah menghasilkan lebih dari 600-an sajak.
Karya Sitor tidak hanya kental dengan tradisi Batak yang kuat, tetapi juga dipengaruhi budaya Barat melalui sastrawan modern Belanda, seperti Slauerhoff. Tema karya Sitor yang menonjol: cinta semu atau tidak kekal, pengembaraan dan siklus abadi kematian dan kehidupan. Setelah pensiun sebagai dosen tamu di Seksi Indonesia di Universitas Leiden (1981-1990), sang penyair sempat tinggal di Pakistan. Pada tahun 2006 dia memperoleh anugrah ASEAN Writes Award dari Muangthai.
Sitor pernah dibui beberapa hari oleh tentara Belanda karena menjalankan profesi sebagai wartawan. Dan pengalaman yang paling pahit adalah ketika dia ditangkap dan ditahan selama delapan tahun oleh rezim Orde Baru tanpa pernah disidangkan. Tidak jelas apa kesalahan yang terlah diperbuatnya, sehingga begitu lama dia menderita di balik jeruji besi. Ada yang menyebut Sitor dibui karena karena keberpihakannya pada gelombang pasang gerakan kebudayaan yang menerjang kebudayaan imperialis, dan dukungannya yang teguh pada sikap politik Presiden Sukarno yang berusaha menyatukan kekuatan bangsa Indonesia baik dari unsur nasionalis, agama, dan sosialis, komunis.
Sitor adalah seorang sastrawan sekaligus seorang politikus. Mengutip ucapan Rendra dalam buku Mengapa & Bagaimana Saya Mengarang, yang ditulis Pamusuk Eneste tentang seniman berpolitik: “….seniman sebagai anggota masyarakat, sebagai bagian dari rakyat yang tidak ikut berkuasa, akan syah dan wajar pula kalau menyuarakan hasrat dan pendapat mengenai kedailan, ekonomi dan politik di dalam karyanya. Tidak bisa karyanya dianggap merosot hanya karena membicarakan politik, sosial, dan ekonomi.
Sitor termasuk dalam jajaran sastrawan Angkatan 45. Menurut dia, keberadaan Angkatan 45 untuk menggantikan Angkatan Pujangga Baru. Menjelang pergeseran dalam babakan sejarah sastra Indonesia itu, berlangsung polemik yang monumental antara mereka yang mau mengadopsi Barat dan mereka yang dengan cemerlang bisa melihat kekuatan budaya Timur sebagai dasar bagi kemajuan bangsa. Perdebatan ini dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan.” Tahun 1953, Sitor mengusulkan satu dikotomi yang mirip dengan pandangan “Pujangga Baru.” Hal inibisa dibaca sebagai tanda bahwa harapannya akan revolusi kejiwaan belum juga terkabul dalam perkembangan budaya.
Sebagai sastrawan Angkatan 45, Sitor mengagumi Chairil Anwar. Sementara pengaruh dari luar diterimanya dari Jean Paul Sartre, Albert Camus, dan Andre Malraux. Terutama Malraux banyak mempengaruhi pemikiran dan karyanya. Gagasan Malraux tentang “museum imajiner” dimodifikasi Sitor menjadi “living museum” atau museum hidup. Dan Malrauxlah yang banyak mempengaruhi kepenyairan Sitor.
Asrul Sani, yang juga termasuk dalam Angkatan 45, menyebut Sitor sebagai penyair yang hebat tapi politikus picisan. Semula, banyak yang mengkritik bahkan menyayangkan Sitor terjun ke ranah politik, karena hal itu akan “mengganggu” bakat kepenyairannya. Pada awal-awalnya, puisi-puisi Sitor membawa gaya sendiri dengan menengok kembali tradisi lama, seperti pantun, dengan renungan pribadi dan ziarah batin.
Sikap politik Sitor sangat kentara dalam sajak-sajak perjalanannya, yang merekam sentuhannya dengan rakyat Tiongkok yang sedang membangun sosialisme. Perjalanannya ke negeri yang beradadi bawah pimpinan Mao Tse Tung pada tahun 1962 di catatat oleh semenmtarakalangan sebagai sajak-sajak perjanalan yang penting yang sangat sarat pandangan politik. Ini bisa dimaklumi karena sdukungannya yang tak tergoyangkapn pada politik Presiden Sukarno yang dekat dengan Republik Rakyat Tiongkok. Aku ingin minum dari kehangatan/ harapan saudara-saudara./ Aku ingin menjabat tangan/ saudarasaudara yang sibuk bekerja./ Aku ingin makan roti ini,/ roti komune, sebagai tanda/ pulihnya pergaulan, setiakawan dan/ harapan antara manusia,/ buat selama-lamanya dalam cinta,/ cita-cita dan kenyataan dunia sosialis. Begitu bait terakhir sajaknya yang berjudul ”Makan roti komune.” Bahasanya sederhana, niatnya jelas. Tak heran jika Ajip Rosidi mencatat: ”Sajak baginya menjadi semacam catatan harian, meski tidak ditulis setiap hari. Dari sajak-sajaknya kita bisa mengikuti perjalanan hidup Sitor sang petualang.” Tidak hanya perjalanan hidupnya, juga sikap politik yang telah dia pilih secara sadar dengan risiko yang agaknya sudah pernah dia bayangkan. Dibungkam! Dipenjarakan! Bertahun-tahun oleh rezim Orde Baru Suharto.
Lawatan Sitor ke Tiongkok merupakan bagian dari acara sebuah delegasi Persatuan Pengarang Asdia-Afrika yang dia pimpin, yang singgah di Tokyo. Di dalam delegasi tersebut ada Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani. Di Tokyo lahirlah sajaknya Dialog dekat patung Hachiro yang dia tulis setelah melihat patung peringatan bagi kesetiaan seekor anjing yang terletak di depan stasiun Shibuya. Perjalanan para pengarang Asia-Afrika itu lalu berlanjut ke Hong Kong. Dari kota dagang, koloni Inggris, ini rombongan bertolak ke Beijing. Selain sajak yang memuja persahabatan di salah satu komune yang terletak di pinggir Beijing itu, lahir pula sajak-sajaknya yang lain, yang dikumpulkan dalam antologi ”Zaman Baru,” seperti Surat dari Tiongkok untuk Reni, Udara pagi di Peking, Lagu-lagu Tiongkok baru, Tiongkok lama, Lukisan-lukisan pekerja Tiongkok.
Delegasi berada di Tiongokk selama dua minggu. Para anggota delegasi memperoleh jamuan kelas satu seraya merasakan jejak perjuangan rakyat melawan Chiang Kai Sek yang berupaya mendirikan sebuah rezim pro-Amerika Serikat di daratan Tiongkok. Saat paling mengesankan bagi Sitor adalah ketika menyaksikan pesta kembang api yang diadakan di Lapangan Tienanmen. Delegasi diundang untuk melangkahi gerbang Istana dan bertemu dengan Mao Tse-tung. Sitor diperkenalkan dan berjabat tangan dengan pemimpin Tiongkok itu. Dari pertemuan tersebut, delegasi diundang makan malam dan dalam kesempatan itu Sitor pun membacakan sajaknya Perayaan yang dipersembahkan kepada Mao dan rakyat Tiongkok. Sitor memang mengagumi Tiongkok, baik yang berhubung dengan komunisme ataupun tidak.
Rekaman jekak perjalanan ke Tiongkok bukan tidak hanya berbau politik. Sitor juga menulis dengan manis Anak Kuba di Peking, dan buat gadis cantik bernama Zoila. Tahun 1968, Sitor mengunjungi Uni Soviet memenuhi undangan Asosiasi Penulis Uzbekistan.
Sitor merasa bahwa para kritikus yang dapat memahami karya-karyanya adalah almarhum Subagio Sastrowardoyo. Pada tahun 1976, Subagio menulis esai sastra berjudul Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor Situmorang. Dalam tulisan itu, Subagio membuktikan bahwa Sitor dipengaruhi oleh simbolisme Perancis. Sedangkan Maria Heinschke, seorang peneliti di Universitas Hamburg yang menulis sebuah buku berjudul Sitor: Mencari Penyair Modern Persaudaraan Baru, menyebut Sitor sebagai penyair yang punya kesadaran modernisme dalam mengungkapakan kebudayaan-kebudayaan dunia. Bagi Heinschke, Sitor menciptakan sebuah karya seni yang mesti dihadapi setiap hal yang melibatkan kehidupan.
Sementara kalangan menyebutkan sajak-sajak yang ditulis Sitor setelah terjadinya perubahan politik drastis pada tahun 1965-66 kembali ke bentuknya yang semula yang muncul pada tahun 1950-an. Subagio Sastrowardoyo menilai Sitor tetaplah seorang musafir yang menulis sajak, pengembara yang tidak bisa memiliki tempat yang berbeda.
Apakah arti agama buat Sitor? “Saya lebih percaya Sianjurmulamula. Saya lebih menghadap ke kiblat di Pusuk Buhit,” katanya. Sitor kagum pada mitologi dan ini terasa pada sajak-sajaknya, seperti Bromo, Pantai Parangtritis, Balige, Gunung Sibayak, Candi Borobudur, Legian, Tanah Karo pegunungan.
Tema Kristen tampil dalam sajak-sajaknya, seperti : Kisah Kias Kristus, Hukum Pilatus, Pesan Ruth Pada Tiap Perawan, Khotbah Baptisan Paskah, yang ditulisannya tahun 1980-an. Menurut Sitor, banyak orang yang menganggap sajak-sajakan tersebut menandakan Sitor telah menemukan jalan kembali ke gereja. Tidak. Dia mengkritik agama baru yang telah menyingkirkan agama kuno Batak.
KM Sinaga, 86 tahun, seorang pengusaha sukses, adalah teman Sitor saat sekolah MULO di Tarutung. Temannya yang lain, yang sudah melampaui usia 90 tahun adalah Amir Pasaribu, seorang komponis Indonesia terkemuka, saat ini berdiam di Medan. Amir adalah seniornya dalam kelompok diskusi Gelanggang Budaya. Untuk kedua rekannya ini Sitor mengabadikannya dalam sajak Lembah Silindung.

Ingat penyair Indonesia ingat Sitor Situmorang. Membicarakan penyair kontemporer Indonesia tidak bisa lepas dari si Ompung ini. Sajak-sajaknya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Selaian sajak, Sitor juga menulis cerita-cerita pendek, esai, dan naskah drama.
Pengalaman yang paling berkesan bagi Sitor adalah saat meliput Konferensi Federal di Bandung tahun 1947. Dengan bermodalkan tuksedo pinjaman dari sahabatnya, Rosihan Anwar, Sitor berhasil wawancarai Sultan Hamid, tokoh negara federal bentukan Belanda, sekaligus menjadi ajudan Ratu Belanda. Sultan Hamid adalah orang yang diplot menjadi tokoh federal, tentu dengan maksud untuk memecah-belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara boneka dalam wadah negara federal.

Wawancara dengan Sitor Situmorang:
Bagaimana ceritanya Amang menggeluti dunia kewartawanan?
Saat Nippon (Jepang) menginjakkan kakinya Batavia, semua orang daerah disuruh pulang ke kampung masing-masing. Sebenarnya untuk melemahkan semangat nasionalisme. Ketika itu, saya sekolah di Batavia, belum selesai, saya harus pulang ke Tapanuli. Di Sibolga, kala itu, ada satu gerakan nasional yang menerbitkan media. Saya menjadi redaktur. Dari sana menjadi wartawan Antara di Pematang Siantar. Lalu bekerja di Waspada. Ada satu masa, saat Muhammad Said, pendiri harian itu meminta saya menjadi kepala perwakilannya di Yogya. Saya dikirim atas permintaan Sukarno yang meminta harus ada wakil Waspada di Yogya. Dalam perjalanan dari Jakarta ke Yogya, saya sepesawat dengan Agus Salim. Ada kenangan yang tidak bisa saya lupakan, saat melihat Haji Agus Salim tidur di lantai, di lorong antara bangku-bangku pesawat, karena dia tidak tahan goyangan pesawat.
Apa yang membuat tertarik jadi wartawan?
Itu tak lepas dari panggilan tugas. Saya memulai wartawan di daerah. Kala itu kita masih muda. Tahun 1943 kemudian bergabung dengan Kantor Berita Nasional Antara, di Pematang Siantar. Kita selalu kagum pada orang-orang yang bekerja di media.

Apa aliran sajak yang Amang anut?
Sajak banyak bentuknya. Saya menerima segala bentuk. Waktu itu, saya berpikir kita punya warisan pantun, kenapa itu tak dipakai. Bukan karena saya memilih sebuah gaya, tapi memang suasana puisinya menuntut seperti itu.

Bagaimana proses kepenyairan Amang?
Sejak di bangku AMS pantun-pantun terngiang di kepala saya. Ada banyak ceceran sajak-sajak dari pengalaman masa kecil. Menangkap tema dari pengalaman, pengamatan atau pendengaran yang mengharukan perasaan. Belum sekolah sudah sering mendengar tonggo-tonggo, semacam doa dalam ritus agama Batak. Juga pidato-pidato yang baik para tetua adat dalam bahasa Batak. Saya anggap bakat itu berkembang. Oleh karena itu, saya sadar untuk membaca sebanyak-banyaknya. Tanpa saya sadari pengalaman masa kecil menjadi bekal di kemudian hari.

Apakah semua sajak Amang ada hubungannya dengan politik?
Silakan nilai puisi saya dari puisi, bukan dari politiknya. Saya memang menulis puisi politik, tapi ada juga yang tidak. Jika politik dinilai merusak bakat saya, itu kesimpulan mereka. Tapi, banyak orang yang memaksakan penilaian dengan hanya membaca puisi politik saya. Padahal dia juga baca puisi saya yang baik, tapi tidak masuk penilaian. Ini tidak bagus. Jika sajak saya dianggap tidak berhasil, silakan. Tapi, itu bukan karena keterlibatan saya dulu dalam politik.

Seperti satrawan Angkatan 45 itu?
Saya tidak membutuhkan pencantuman nama saya sebagai sastrawan Angkatan 45. Ketika itu umur saya 23 tahun. Angkatan 45 punya jalannya sendiri. Chairil Anwar adalah pelopor modernisme dalam puisi Indonesia. Chairil menggarap sajak bebas, pencitraan baru, kekuatan bahasa. Saya terinspirasi karyanya “Aku.”

Amang, merasa nggak di Belanda ada Harianboho. Bagaimana Amang menghadirkannya ketika jauh di negeri orang?
Itu sudah ada dalam diriku. Bahwa ke mana aku berpijak ada Harihanboho. Soal nasionalisme (keindonesiaan) menurut saya sudah selesai. Kalau perlu, bisa dilihat dari sajak-sajak saya. Saya merasa bahwa pengalaman telah memberikan ruang untuk hati saya.

Soal nasionalisme….
Nasionalisme diajarkan oleh Sukarno. Nasionalismelah yang melahirkan bangsa. Bagi saya nasionalisme itu perjumpaan dengan Sukarno. Tetapi, kalau mau meyelami pikiran Sukarno tidak mesti bertemu, bisa juga dari koran-koran. Dulu, kami berlangganan Koran Deli, di sana kita bisa bertemu dengan pikiran-pikiran Sukarno, karena di sana dimuat pidato-pidatonya. Ketemu Sukarno memang ada sensasi tersendiri. Tetapi, harus dipisahakan mempelajari pikirannya tidak musti lewat tatap muka. Bagi saya, Sukarno itu manusia sejarah, dia adalah pemimpin yang mengobarkan semangat nasionalisme. Ketika terjadi krisis identitas kebudayaan mestinya semangat itu berkobar lagi. Nasionalisme bukan hanya mempertahankan harga diri. Nasioalisme itu, dulu, tidak ada tawaran-menawar. Sekarang kita harus sadar bahwa globalisasi membawa benturan terhadap peradaban. Globalisasi tidak bisa dihindari, harus ditanggapi secara kreatif.

Adakah semangat nasionalime dari Batak sana?
Di semua kepulauan itu ada nilai-nilai nasionalisme. Orang yang di pedalaman punya hubungan dengan pesisir. Bahwa dengan hubungan dagang itu harus ada persinggungan. Dari pegunungan turun ke pesisir menjual hasil pertaniannya.

Bisa Amang ceritakan sebagai seorang nasionalis?
Itu konteks zaman. Kita keluar dari Harianboho. Di Tarutung, kesadaran nasionalisme itu mulai mucul di kampung halaman, sebab orangtua saya salah satu panglima perang Sisingamangaraja, jadi ada semangat melawan Belanda. Baru nalar itu sampai saat kita sekolah di Tarutung. Jadi, sejak kecil kita sudah tanggakap semangat nasionalisme itu.
Artinya lingkungan sekolah membantuan mengenal semangat nasioalisme?
Ya, jelas! Dulu sekolah MULO hanya ada di Medan, khusus untuk Belanda. Dua di Tapanuli, di Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan. Dari sana memang generasi pertama Batak yang maju-maju.

Sudah mendengar adanya Sumpah Pemuda?
Saya belum mendengar itu, karena umur saya waktu itu hanya tiga tahun. Jadi, melawan musuh dari luar, itu menciptakan semangat nasionalisme. Penjajahan dan perlawan yang dialami orangtua membawa semangat nasionalisme.

Kaitan dengan orangtua?
Ayah saya pahlawan lokal. Sampai-sampai dia memberikan saya sekolah yang dibangun Belanda. Saya melihat itu konkritnya politik, jadi tidak asal heroik. Kita harus mengerti politik baru kita berbicara nasionalisme. Kita melihat sejak dulu orang Batak dengan Aceh itu akur. Peran Aceh dalam perang yang dilancarkan Sisingamangara amat besar. Sejak dulu sudah muncul kerjasama antara Aceh dan Batak.

Bagaimana hubungan Sisingamangaraja XII dengan Ompu Babiat, ayah Amang?
Ompu Babaiat itu adalah hula-hula dari Sisingamaraja XII. Saya masih ingat, dulu, setiap Tahun Baru, keturunannya selalu berkunjung ke kampung kami di Harianboho. Ompu Babiat, ayah saya sangat dekat dengan keturunan Sisingamangaraja. Ayah saya dianggap sebagai ayah pengganti bagi mereka.

Saol bahasa Melayu?
Bahasa Melayu itu dulu bahasa yang paling umum. Kita ini negeri kepulauan yang terpengaruh dari nesia, sementara bahasa Latin tersebut dipengaruh India.

Bagaimana sastra yang baik itu?
Sastra yang baik harus bersinggungan dengan kenyataan hidup, dan bermanfaat bagi umat manusia. Penikmat sastra mesti bisa menikmati kandungan nilai kemanusiaan, menghayati keragaman manusia. Pramoedya telah menunjukkan hal itu kepada kita. Pram mengolah sejarah dan hidup manusia Indonesia yang bisa bicara ke dunia luar.

Apakah semua sajak-sajak Amang merupakan pengalaman pribadi?
Sajak itu adalah soal bahasa. Bahasa itu bentuk budaya yang hidup dalam diri kita lewat pendengaran, pengalaman, bersinggungan dengan manusia lain. Dalam sajak ada bunyi, irama, itulah sajak. Lalu kepekaan membaca itu merupakan hasil pengalaman dan penghayatan setelah secara rutin main-main dengan bahasa. Bagi saya, sajak itu harus menyentuh hati pembaca, di mana dia menemukan dirinya.

Mengapa Amang ditahan Orde Baru, rezim Soeharto?
Saya ditangkap tahun 1967. Dua tahun setelah G 30 S itu. Suasana waktu itu tentara mempunyai kekuasaan luar biasa. Saya adalah penganut ajaran Sukarno. Jadi orang Sukarnois dianggap lebih berbahaya dari komunis. Kalau mengerti politik, negara kita, di zaman Suharo saya ditangkap, katanya, karena melanggar undang-undang. Undang-undang apa? Tidak jelas. Suharto menjadi presiden karena kudeta dengan lihai. Dan ada insinden yang memicu itu.

Saat Amang dipenjara seperti apa perlakukan yang Anda terima?
Saya langsung ditangkap di rumah saya di Jalan Darmawansa, Jakarta Selatan. Dari sana saya dibawa ke Rumah Tahanan Militer (RTM), dekat daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Memang, saya tidak pernah dipukul. Terhadap isu Sukarnoisme, itu penilaian Amerika. Padahal itu tidak ada. Prasangka ini yang dibakar-bakar oleh Amerika Serikat di Indonesia. Boleh kami dituduh. Tapi kalau Bung Karno disamakan dengan komunis, itu tuduhan bodoh.

Berapa lama Amang dibui?
Praktis saya dibui tujuh tahun. Di Rumah Tahanan Militer itu saya ditahan tiga bulan, tetapi tiga bulan itu seperti tiga abad rasanya. Tidak ada penerangan selama tiga bulan dimasukkan ke sel gelap. Tidak pernah melihat matahari. Saya merasa tiga bulan itu seperti tiga abad. Makan seadanya. Memang tidak ada pemukulan selama dipenjara. Lalu, setelah itu dipindahkan ke penjara Salemba. Di Salemba itulah saya ditahan hingga tujuh tahun lamanya, tanpa pernah ada pengadilan. Tidak pernah ada.

Bagaimana Amang melihat tujuh tahun Anda dipenjara Salemba, apakah itu waktu yang sia-sia?
Memang selama tujuh tahun itu adalah pengalaman yang tidak bisa saya lupakan. Setiap hari kita bisa melihat kepala penjara itu, kalau nggak salah bernama Marzuki. Jika dia berjalan kita selalu merasa seperti berhadapan dengan Negara. Memang kebetulan waktu itu makan sudah sulit. Tetapi, yang paling menyakitkan bukan soal makanan. Yang paling menyedihkan adalah tidak diperkenankan menulis. Kalau ketahuan ada kertas atau pena akan ditahan dalam sel gelap.

Apakah Amang diperkenankan menulis seperti Pramoedya ketika dia dibuang ke Pulau Buru?
Tidak diizinkan. Tahanan seperti saya dilarang membawa kertas apalagi pena. Selalu digeledah. Kalau ketahuan hukumannya kita akan dimasukkan ke tempat gelap. Menyakitkan! Yang biasa menulis dilarang menulis.

Jadi tidak ada lahir tulisan?
Bagaimana!? Menulis apa? Saya tidak boleh menulis apa-apa. Saya ditempatkan di blok “intelektual.” Jadi, sekarang, kalau saya memandang pada umur saya yang ke-85 ini: seluruh perjalan hidup saya, saya merasa tidak ada yang sia-sia. Praktis seluruh pengalaman itu adalah sebagai refleksi bagi saya. Kalau melihat delapan tahun dipenjara sebagai waktu yang sia-sia, tetapi kalau saya menggabungkan semua pengalaman itu, tidak ada yang sia-sia.

Apakah Amang dendam terhadap Suharto?
Saya tidak merasa dendam terhadap Suharto. Tidak ada dendam dalam kamus saya. Ada satu momen yang bisa mengingatkan saya. Ketika saya baru keluar dari penjara Salemba, tahun 1975, seluruh marga Situmorang meminta saya harus pulang ke Bona Pasogit. Ada beberapa perwakilan pengurus Situmorang mendatangi saya, bahwa saya harus pulang ke Harianboho untuk bertemu nenek-moyang saya. Momen itu menyadarkan saya tidak perlu memikirkan yang remeh-temeh seperti Suharto. Saya merasa buat apa lagi memikirkan Suharto, sedangkan saya sudah bertemu langsung dengan nenek-moyang saya. Saya tidak pernah mengingat-igat lagi, apalagi dendam terhadap seseorang termasuk dedam terhadap Suharto. Suharto, menurut saya terlalu kecil untuk dingat-ingat.

Bagaimana kedekatan Amang dengan Sukarno?
Waktu itu saya salah satu anggota Dewan Nasional. Sebagai anggota Dewan Nasional. Dengan begitulah saya sering bertemu dengan Sukarno. Dulu, kalau masuk ke Dewan Nasional dianggap antek Sukarno. Hubungan saya dengan Sukarno bukan hanya soal politik. Saya bisa bertemu dengan Sukarno tanpa janji. Pertama kali saya bertemu dengan Sukarno di Yogyarakta, sebagai waratawan. Ketika Sukarno sudah begitu dekat untuk menjabat tangan saya, dia seperti tertegun sebentar, menatap saya, mengingat-ingat. Kemudian Sukarno menyebutkan sebuah nama, Abner Situmorang, Abang saya. Saya hanya diam. Sukarno mengenal Abang saya ketika dia berkunjung ke Medan dan di lapangan terbang dia disambut oleh Abang saya, yang ketika itu adalah wakil gubernur Sumatera Utara.

Dekat dengan Sukarno, tetapi mengapa Amang dituduhKomunis, ditangkap?
Pada masa akhir jabatan Sukarno, kalau seseoang sudah dibilang Sukarnois maka orang itu dianggap lebih berbahaya dari komunis. Saya pengikuti ideologi Sukarno, tetapi saya bukan pencari keuntungan dari persahabatan dengan Sukarno.

Menyesal menjadi Sukarnois?
Saya tidak pernah merasa bersalah menjadi Sukaris. Sampai saat ini saya masih menganut Sukarnoisme, itu bukan berarti bahwa paham Sukarnoisme yang terbaik. Boleh-boleh saja orang berbeda pendapat dengan saya. Prasangka ini yang salah selama ini. Kalau Sukarno disamakan dengan komunis, itu tuduhan konyol!

Apakah Megawati termasuk penganut ideologi Sukarno?
Apakah kalau anak Sukarno pasti mengerti ajaran Sukarno?! Belum tentu! Ada ideologi dangkal, yang cenderung melihat ideologi Sukarno akan sama dengan anak Sukarno. Yang benar adalah anak ideologi Soekarno.

Apakah Sukarnoisme relevan untuk saat ini?
Saya merasa semangat dari Sukarnoisme itu masih relevan untuk saat ini. Saya belajar banyak masalah kebangsaaan dari Sukarno. Bayangkan, 17.000 lebih pulau di Indonesia, dihuni 300 suku-suku; saya kira tidak ada yang sehebat Sukarno mampu mempersatukan itu semua. Saya tidak ngotot untuk ideologi Sukarno yang paling benar.

Bagaimana pendapat Amang jika ada yang mengaku penganut Sitorisme
Itu tidak mungkin ada. Tetapi, kalau dalam persajakan, terserah. Kalau ada yang menganut Sitor dalam gaya sajak, itu silakan saja. Sajak-sajak saya banyak diilhami sajak-sajak penyair lain.

Soal Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), bisa Amang ceritakan?
Tahun 1959, saya terpilih menjadi ketua LKN. Saya terpilih oleh rapat akbar di Solo dengan saingan terberat saya Nyonya Supeli [zaman Bung Karno dikenal sebagai dutabesar keliling – red.] Saya bangga bisa diterima di tengah-tegah budaya Jawa. Tetapi, dengan begitu saya punya tanggungjawab untuk menumbuhkan budaya nasional. Saya sadar betul hal itu.

Ajip Rosidi, dalam buku otobiografinya, menyebut Sitor mengusulkan dia menjadi sekretais jenderal LKN, tetapi dia menolak karena LKN berafiliasi dengan PNI?
Saya merasa tidak perlu untuk menanggapinya. Kecuali saya melakukan kesalahan. Ketika itu saya harus memberikan kesempatan untuk siapa saja. Kecuali saya mengucapkan satu ucapan yang salah berkait dengan masalah tersebut. Saya tidak perlu komentar soal itu.

Apa agenda LKN?
Sejak dulu Sukarno sudah memikirkan globalisasi, dan itulah yang menjadi salah satu agenda dari Lembaga Kebudayaan Nasional. Globalisasi tidak bisa dihindari, harus ditanggapi secara kreatif. LKN itu memang digandeng partai politik, tetapi pada prisipnya organisasi memberikan kebebasan kepada para budayawan untuk mempersiapkan mental bangsa.

Kenapa sastrawan kerapkali terlibat atau dikaitkan dengan politik?
Sastrawan itu bukan malaikat. Manusia, yang kebetulan sastrawan, tak boleh bersikap tidak ada urusan dengan politik. Jikalau ada yang bilang sastrawan tak boleh berpolitik, itu omong-kosong. Pramoedya besar bukan karena dia Lekra, tapi karena karyanya. Kami menghadapi tantangan imperialis, kami melawan.

Pendapat Amang mengenai penolakan kaum Manifesto Kebudayaan terhadap politik?
Kita harga orang yang tidak berpolitik. Namun, jangan pula berlagak politik itu tidak perlu. Itu tidak benar. Setiap orang sebenarnya sudah berpolitik. Tapi, tidak terang-terangan seperti Sitor. Saya politikus! Kalau mau melawan politik komunis lawanlah dengan sikap politik!

Bisa ceritakan seperti apa kedekatan Amang dengan Sukarno?
Satu waktu, ketika saya menjabat anggota Dewan Nasional. Waktu itu saya tidak memiliki rumah, saya bertempattinggal dengan menempati sebuah garasi, garasi yang sudah rusak ringsek. Sukarno menyuruh ajudannya untuk menemui saya. Melihat keadaan tempattinggal saya ajudan tidak masuk, hanya memberitahu agar saya besok pagi menemui Sukarno. Pendek cerita, saya menemui Sukarno besok paginya. Biasanya, Sukarno jam tujuh pagi rutin menerima tamu tanpa kaitan dengan politik, seperti tokoh bisnis, seperti Dasaad dan lain-lain, juga tokoh-tokoh masyarakat. Jadi, memang siapa saya bisa ketemu tanpa janji?! Lalu, Sukarno bilang ”Kamu tidak punya rumah, ya?” Saya jawab saya, ”Punya.” Lalu, Sukarno balik bilang, ”Kamu tinggal di garasi.” Tanpa panjang lebar, Sukarno meminta salah seorang menterinya, yang berkaitan dengan rumah-rumah yang berada di bawah kontrol pemerintah, untuk mengurus dan memberikan saya rumah di Jalan Darmawangsa, Jakarta Selatan. Rumah besar itu adalah bekas rumah Belanda.

Nomor berapa rumah yang di Jalan Darmawangsa itu?
Saya tidak ingat lagi nomornya berapa. Belakangan saya tahu, ketika saya dipaksa keluar oleh tentara, ada yang berkepentingan untuk menguasai rumah itu. Waktu itu ada konflik antar tentara. Ada beberapa jenderal tidak punya rumah. Ada dua truk memaksa saya keluar, dan semua barang saya dikeluarkan.

Ketika itu Amang pindah kemana?
Saya menumpang di rumah keluarga.

Bagaimana Amang bisa menjadi penulis?
Inti menulis adalah banyak membaca. Orang yang memiliki bakat menulis harus didukung ketekunan. Bakat harus didukung kerja keras. Menurut saya, bakat itu timbul dengan sendirinya. Proses kreatif itu juga dipengaruhi oleh banyaknya saya berkunjung ke daerah-daerah, juga ke Eropa, Amerika.

TAPIAN: Sejak kapan jiwa petualangan Anda muncul?
Sejak masuk sekolah di Batavia, saya sudah malas belajar. Malas sekolah, apalagi untuk ilmu pasti saya makin malas. Kerja saya hanya membaca dan membaca dan membaca terus. Jadi, inti menulis itu harus banyak membaca. Baca, baca, dan baca! Dan dari sanalah kesukaan menulis itu tumbuh. Ketika masih kecil banyak hal yang saya alami. Sejak kecil sudah terbiasa melihat acara-acara adat. Belum sekolah sudah sering mendengar pidato-pidato yang baik yang disampaikan para tetua adat. Sejak kecil saya terbiasa mendegar ibu-ibu mangandung menangisi kemalangan dengan lalu-lagu. ***

Ritual Pemulihan Alam di Pulau Palue

PUA KARAPAU
Ritual Pemulihan Alam di Pulau Palue

Sabtu, 23 Januari 2010 | 04:57 WIB

Samuel Oktora

Musim kemarau panjang, hasil pertanian dan laut kurang menggembirakan, serta wabah penyakit melanda menjadi tanda serius bagi tetua adat untuk segera melakukan ”pendinginan” atau pemulihan alam. Ritual Pua Karapau merupakan salah satu jawabannya.

Pua Karapau (muat kerbau) merupakan salah satu ritual adat yang telah dilakukan turun-temurun oleh warga Dusun Cawelo dan Tudu, Desa Rokirole di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Pulau sendiri sekitar dua jam dengan morot laut dari Maumere (Kabupaten Sikka) atau satu jam dari Ropa (pesisir utara Kabupaten Ende).

Warga dua dusun itu yang berada di luar Palue pun berdatangan sebelum rangkaian Pua Karapau mulai dilakukan hingga puncaknya, yakni berupa pemotongan kerbau sebagai persembahan kepada Rawula Watu Tana (Tuhan penguasa alam semesta) dan para leluhur. Tahun ini puncak acara jatuh awal bulan 11 tahun 2009.

Termasuk Lakimosa (tetua adat) Cawelo, Cosmas Himalaya, yang tinggal di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, jauh-jauh hari sudah tiba di Palue, pulau kecil dalam kepungan Laut Flores itu.

”Dalam tradisi di Cawelo, Pua Karapau digelar dua kali dalam lima tahun, sedangkan di wilayah adat yang lain ada yang cuma satu kali. Pua Karapau di Cawelo tahap pertama dilakukan tahun 2006 dan kali ini yang kedua,” kata Cosmas.

Pua Karapau tahun ini memang agak unik karena semestinya hanya memuat dua kerbau. Namun, berhubung seekor kerbau yang dipersiapkan sejak tahun 2006 mati pada bulan Juni 2009, maka perlu dipersiapkan gantinya tahun ini sehingga yang dipersiapkan menjadi tiga ekor.

Pasalnya, untuk Pua Karapau tahap pertama akan dipersiapkan dua kerbau, seekor di antaranya untuk dipotong dalam ritual tersebut, sedangkan seekor lainnya dipersiapkan untuk dipersembahkan pada masa Pati Karapau (potong kerbau) pada tahun ke-5.

Sementara pada Pua Karapau tahap kedua juga dimuat lagi dua kerbau, seekor dipotong saat itu, sedangkan seekor lainnya untuk Pati Karapau. Dengan demikian, saat Pati Karapau tahun 2011 akan dipotong dua kerbau yang dipersembahkan bagi Rawula.

”Persembahan kerbau pada waktu Pua Karapau dimaksudkan sebagai pemberitahuan bahwa masyarakat Cawelo telah mempersiapkan persembahan (dua kerbau) untuk Rawula dan para leluhur, yang akan diberikan pada saat Pati Karapau,” kata Cosmas.

Dari delapan desa di Pulau Palue, tradisi Pua Karapau dan Pati Karapau dilakukan turun-temurun oleh komunitas adat di empat desa, yaitu Nitunglea, Rokirole, Tuanggeo, dan Ladolaka.

Namun, tata cara ritual antara satu wilayah adat dan wilayah yang lain berbeda-beda. Sebagai contoh di Rokirole yang berpenduduk 1.500 jiwa—yang meliputi tiga dusun—memiliki dua wilayah kelakimosaan, yaitu wilayah adat Cawelo dan Tudu, serta wilayah Lakimosa Koa. Di Cawelo, Pua Karapau dalam lima tahun dilakukan dua kali, sedangkan di Koa dilaksanakan sekali saja.

Serba lima

Satu hal yang menarik dalam Pua Karapau sejumlah ritual yang dilakukan serba lima. Begitu pula Pati Karapau digelar setiap lima tahun sekali. Bagi komunitas pendukung ritual itu, angka lima menyimbolkan keberuntungan.

Sebelum Pua Karapau dilaksanakan tanggal 28 Oktober, masyarakat Cawelo harus menjalani masa pantang, yaitu tidak melakukan pekerjaan di kebun, melaut, atau pekerjaan lain, selama lima hari. Selama hampir sepekan itu sejumlah warga menyeberang ke Ropa, Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende di daratan Pulau Flores, untuk membeli tiga kerbau sebagai hewan kurban.

Sebelum berangkat ke Ropa, rombongan adat masing-masing harus lima kali mengelilingi tubu ca (tugu besar) dan tubu lo’o (tugu kecil) di tengah kampung. Selanjutnya perahu yang juga bermuatan gendang dan gong harus berputar lima kali di sekitar pelabuhan sebelum bertolak ke Ropa.

Selama perjalanan juga dilantunkan lima lagu adat. Begitu pula ketika rombongan hampir tiba di Ropa, perahu harus berputar lima kali sebelum lego jangkar. Setelah kerbau dinaikkan ke dalam perahu di pantai Ropa, perahu kembali berputar lima kali sebelum bertolak pulang ke Pulau Palue.

Cosmas menjelaskan, dalam ritual Pua Karapau akan terbangun relasi yang baik, terutama dengan Rawula, lalu persahabatan dengan alam, serta hubungan yang harmonis dengan sesama. Ritual itu menuntut yang berkonflik menjadi rukun kembali karena di dalamnya ada proses perdamaian dan pemulihan.

Kerbau yang dipotong sebagai persembahan dalam ritual tersebut, ujar Lakimosa Cawelo yang lain, Bernadus Ratu, juga berperan sebagai korban penebusan sebagai ganti kesalahan yang dibuat manusia atau warga setempat.

Karena itu, tak heran, begitu kerbau yang telah dipotong tersungkur karena kehabisan darah, warga berebut menyentuhkan kakinya ke badan kerbau yang berlumuran darah. Tentu dengan harapan segala penyakit yang diderita juga tertumpah atau ditanggung ke darah kerbau tersebut.

Karena berfungsi sebagai korban penebusan kesalahan, daging kerbau tidak dikonsumsi oleh semua lakimosa dan keluarganya, serta warga Cawelo dan Tudu.

Sebaliknya warga dusun atau desa lain diperbolehkan mengambil dan mengonsumsi daging kerbau itu. Namun, pengambilan daging kerbau kurban itu harus dilakukan secara diam-diam seolah mencuri atau tanpa diketahui masyarakat Cawelo.

Warga juga berkeyakinan posisi kepala kerbau setelah jatuh dan tewas mempunyai makna sendiri. Arah kepala hewan kurban itu diyakini menunjukkan kawasan yang akan memberikan hasil panen berlimpah pada musim mendatang.

Pada ritual Senin (3/11), kepala kerbau sebenarnya menghadap ke gunung di bagian selatan, posisi yang tidak mendatangkan rezeki karena menghadap kawasan berbatu atau bukan lahan pertanian. Karena masih bernapas, kepala kerbau itu oleh sejumlah tetua cepat-cepat digeser dan diarahkan ke utara menghadap areal kebun dan perairan pantai tempat para nelayan memburu ikan.

”Lewat ritual ini diharapkan hasil dari kebun maupun laut berlimpah. Kalau demikian, masyarakat berkecukupan dan dijauhkan dari penyakit. Juga mereka yang bekerja di luar pulau akan mendapatkan perlindungan,” kata Lakimosa Cawelo, Neno Toni, seusai pemotongan kerbau.

Ketahanan pangan baik

Tradisi tua itu menunjukkan betapa masyarakat Cawelo masih berpegang kuat pada akar budaya mereka. Ritual Pua Karapau dan Pati Karapau juga menunjukkan masyarakat Cawelo adalah masyarakat yang religius. Tradisi itu juga berdampak positif pada pertanian mereka.

Masyarakat Palue tidak menanam padi untuk kebutuhan pangan. Mereka hanya menanam jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, dan pisang. Penunjang ekonomi mereka yang lain adalah dari tanaman perdagangan, seperti kelapa, vanili, jambu mete, dan kakao, serta hasil melaut.

Mereka tidak pernah mengalami krisis pangan alias kelaparan. Ketahanan pangan warga Palue secara umum baik, sebagaimana warga Cawelo, karena ditunjang dengan adat istiadat setempat.

Setelah masa Pua Karapau berakhir dalam lima tahun, yang ditutup dengan Pati Karapau, masyarakat adat Cawelo akan memasuki phije, yakni masa haram atau pantang selama lebih kurang lima tahun. Selama masa itu mereka dilarang melakukan aktivitas yang merusak alam, juga melukai tanah. Sebagai contoh, memetik daun, apalagi menebang pohon, merupakan larangan keras. Begitu pula penggalian, pengerukan, dan pembuatan jalan maupun fondasi rumah juga dilarang. Penguburan orang mati pun tak bisa dilakukan dalam masa phije. Orang mati pada masa itu terpaksa tidak dikubur dalam tanah, melainkan dibaringkan saja di pemakaman.

Pada masa phije, yang diperbolehkan adalah aktivitas untuk menunjang atau memberikan kehidupan seperti bertani. Jika masa pantang itu dilanggar, warga akan dikenai sanksi adat. Yang lebih fatal, sebuah pelanggaran diyakini dapat mengakibatkan korban jiwa atau kesialan. Itu sebabnya pada masa itu warga menjadi fokus pada kegiatan pertanian. Bahkan, kelestarian lingkungan juga terjaga dengan baik.

Namun, pengaruh adat itu juga berdampak kurang baik pada aspek pembangunan, salah satunya pembuatan jalan kabupaten pada bulan Oktober lalu menjadi terhambat. Hal itu terjadi untuk pembuatan jalan sepanjang 1 kilometer lebih, yang menghubungkan Dusun Cawelo dengan Koa.

Pembangunan tidak bisa berjalan karena di Dusun Koa telah dilakukan Pati Karapau pada bulan Januari sehingga saat ini telah memasuki masa phije lebih kurang hingga tahun 2014.

Camat Palue Fernandes Woda pun kemudian mengusulkan kepada Bupati Sikka Sosimus Mitang agar proyek jalan rabat beton Cawelo-Koa dialihkan dahulu ke daerah lain dalam wilayah Palue.

Dari pengalaman kasus ini memang sudah tidak zamannya lagi penetapan dan pengalokasian anggaran pembangunan desa dilakukan dari atas (top down), melainkan harus dari aspirasi arus bawah (bottom up).

Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Sikka sebelum menetapkan alokasi anggaran pembangunan desa perlu berkomunikasi terlebih dahulu dengan lembaga adat sehingga program pembangunan desa tidak terbengkalai.

Keterangan Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/23/04573064/ritual.pemulihan.alam.di.pulau.palue

Pemanasan Global, Gas Rumah Kaca

Pemanasan Global, Gas Rumah Kaca

Oleh: Hotman J Lumban Gaol*)

Pemanasan Global

Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, peningkatan pengamatan tubuh kolektif memberikan gambaran tentang sebuah dunia pemanasan dan perubahan pada sistem iklim. Tanda-tanda peringatan dini itu secara jelas dari kasat mata dengan perubahan iklim yang tidak tentu. IPCC didirikan untuk mengawasi sebab dan dampak pemanasan global. IPCC dibawa naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang terdiri dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia.

Setiap tahun, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia ini mengadakan pertemuan guna mencari solusi dan mendiskusikan mencari solusi terhadap pemanasan global. Hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa dampak gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan global. Kita, manusia, menjadi pemberi kontribusi yang besar terhadap terciptanya gas-gas rumah kaca. Selain itu, gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, pembangkit tenaga listrik, serta pembabatan hutan.

Laporan terbaru, Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan IPCC mengungkapkan bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir ini. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir!

IPCC memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. Jika itu terus berlangsung, emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 yang akan datang. Itu artinya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis.

Indonesia bagaimana? Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Purnomo menegaskan, Indonesia telah bertekad tidak lagi melakukan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Selain itu, dalam kesepakatan sejumlah program kerja sama yang memuat prinsip pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV), hal itu tetap dilakukan berdasarkan kesepakatan negara bersangkutan (Kompas/21/12/09).

Sudah banyak dilakukan cara untuk menanggulangi pemanasan global ini. Misalnya, Persetujuan Kopenhagen yang diadakan beberapa waktu lalu itu tidak memberikan apapa. Para aktivis lingkungan menyebutnya sebagai solusi yang menyesatkan (false solution) bagi ancaman perubahan iklim global, juga menjadi instrumen yang memperkuat kendali dan posisi negara-negara industri untuk memperdaya negara-negara berkembang dan kepulauan seperti Indonesia. Persetujuan Kopenhagen tidak termuat komitmen negara-negara industri untuk mengurangi emisinya dalam jumlah besar. Melainkan hanya ada kesepakatan untuk menjaga agar kenaikan rata-rata suhu Bumi tidak melebihi dua derajat celsius dibandingkan dengan era revolusi industri (sekitar 250 tahun lalu). Jadi tidak menjadi solusi.

Temuan yang dilakukan, menjadi model iklim yang dijadikan acuan oleh IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100. Pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Di Tanjung Priok misalnya, tiap tahun konstur tanahnya turun tiap tahun dua centi meter sementara permukaan lautnya makin naik. Artinya 50 tahun lagi Tanjung Priok akan tengelam.

Saat ini, suhu rata-rata global pada permukaan Bumi makin meningkat pada seratus tahun terakhir ini. Sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca. Temuan ini dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.

Gas rumah kaca
Gas rumah kaca itu apa? Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi itu berbentuk radiasi gelombang pendek. Maka, ketika energi ini tiba pada permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Itu artinya, permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun, sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.

Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca, itu.

IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global.*) wartawan dan pengiat budaya

George Junus Aditjondro: BERDIRI DENGAN COUNTRY’S terpinggirkan

George Junus Aditjondro: BERDIRI DENGAN COUNTRY’S terpinggirkan

Alpha Amirrachman, Kontributor, Depok, Jawa Barat

George Junus Aditjondro

memprotes

Orang mungkin tidak pernah membayangkan bahwa salah satu yang paling kritis dan anti-Orde Baru akademik dan aktivis sosial, George Junus Aditjondro, bertemu dengan presiden Soeharto atas undangan yang kedua pada upacara khidmat di Istana Merdeka pada tahun 1987.

“Aku sedang disajikan dengan Kalpataru penghargaan bagi upaya saya untuk mendorong berbagai organisasi lingkungan untuk menjadi pengawas lingkungan,” tutur George.

“Pada saat aliansi taktis antara pemerintah dan organisasi non-pemerintah, yang sebagian besar berorientasi lingkungan, sudah padat. Hal ini karena kemudian menteri negara lingkungan hidup Emil Salim merasa perlu untuk memperkuat peran pelayanan-Nya, dan oleh karena itu diperlukan `kaki ‘dalam masyarakat.”

“Jadi, kita saling membutuhkan. Kami membutuhkan pengakuan sehingga kita memiliki ruang untuk bergerak bebas, dan menteri yang dibutuhkan kita untuk memperluas pengaruhnya di seluruh negeri.”

Namun, aliansi mulai retak ketika ketiga kasus lingkungan yang serius bendungan Kedungombo di Jawa Tengah, Indo Rayon (Sumatera Utara) dan Scott Paper (Papua) tampaknya sudah melampaui batas-batas tertentu, dan George semakin dikesampingkan sebagai kritik atas kasus tidak membuat semua orang bahagia.

George lahir pada 27 Mei 1946, di Pekalongan Jawa ke Belanda ayah dan ibu. Ayahnya dididik di Belanda selama sembilan tahun dan juga seorang aktivis mahasiswa dari Perhimpunan Indonesia (PI) sebagai sekretaris Mohammad Hatta, yang terakhir pertama kemudian menjadi Vice President of Indonesia.

Dia mengatakan ayahnya menikah dengan seorang wanita Belanda sebelum pulang ke Pekalongan untuk mendirikan sebuah firma hukum. Tapi ia tidak tinggal lama sebagai seorang pengacara dan memutuskan untuk bekerja sebagai kepala pengadilan negara.

George mengatakan bahwa pada saat itu adalah puncak dari pertempuran antara kolonial Belanda dan Indonesia, dan rumah mereka adalah sebuah tempat pertemuan rahasia para pejuang kemerdekaan seperti Hoegeng dan Ali Moertopo.

“Ayahku adalah seorang kepala negara pengadilan dan istrinya Belanda, sehingga Belanda tidak pernah mencurigai kegiatan kami,” tutur George. “Secara bersamaan, ibu saya juga terlibat dalam kontraspionase untuk menguntungkan perjuangan kemerdekaan.”

Tinggal di Belanda ketika ia masih sangat muda, George pergi ke sekolah dasar di tiga kota, Banyuwangi, Pontianak dan Makassar, saat ia mengikuti tur ayahnya tugas pengadilan. Di Makassar ayahnya diangkat menjadi anggota pengadilan tinggi negara dan ikut serta dalam pembukaan hukum dan ilmu-ilmu sosial di Universitas Hasanuddin sekolah.

“Meskipun saya biologis Jawa, saya kultural lebih timur dari barat, karena Indonesia, selama tahun-tahun sebagai seorang pemuda, aku tinggal di makassar dari SMP sampai 1964 ketika saya mulai kuliah di sekolah teknik Hasanuddin.”

“Saya mengalami situasi yang tegang ketika perang antara DI / TII (Darul Islam / Tentara Islam Indonesia) dan Militer Indonesia berlangsung sampai pemimpin pemberontak, Kahar Muzakar, dibunuh,” katanya.

George menambahkan bahwa situasi relatif normal sampai kudeta yang dituduhkan pada tahun 1965 oleh komunis, yang memaksa keluarganya untuk pindah kembali ke Semarang. Jadi dia pergi ke negara akademi teknis di kota dan juga belajar teknik elektronik di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Dia tidak pernah selesai juga.

“Sebuah tes IQ kemudian mengungkapkan bahwa aku lebih berorientasi secara sosial daripada orang matematika; rasa keadilan sosial sangat banyak diwarisi dari ayah saya,” George kepada The Jakarta Post pada peluncuran buku yang diedit berjudul Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso (Revitalisasi Wisdoms Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso) di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat.

George, yang memberikan kontribusi sebuah bab tentang konflik Poso dalam buku ini, tampak segar dan fit selama wawancara dilaksanakan pada awal pagi. Dia menambahkan komitmennya untuk berdiri di terpinggirkan itu didukung oleh ayahnya prinsip bahwa, meskipun darah aristokrat, ayahnya sangat menentang feodalisme. Penghargaannya terhadap budaya diwarisi dari ibunya.

George sepenuhnya aktif sebagai jurnalis di Kami mahasiswa sehari-hari dan berpengaruh Asosiasi Wartawan Mahasiswa Indonesia (IPMI). Dia kemudian menjadi wartawan di majalah berita Tempo 1971-1979. Dia membantu Fikri Jufri wartawan di meja bisnis sebelum menjadi editor untuk teknologi dan lingkungan. Menjadi seorang wartawan, ia berkenalan dengan banyak aktivis lingkungan dan pertanian.

Setelah 10 tahun di Tempo, George memutuskan untuk mengabdikan diri untuk pemberdayaan masyarakat pertanian, sehingga ia membantu mendirikan Bimbingan Pedesaan Sekretariat dengan Bambang Ismawan, Prof Sayogo dan Abdullah Sarwani. Ia juga membantu mendirikan pengawas lingkungan WALHI dan bekerja untuk Yayasan Pengembangan Masyarakat Irian Jaya (YPMD-Irja) 1981-1989.

Karena spesialisasi ayahnya di hukum pertanian, sebagai seorang aktivis George manfaat banyak dari banyak buku-buku ayahnya. Perannya dalam memelihara kesadaran lingkungan dianggap begitu signifikan presiden Soeharto yang kemudian disampaikan kepadanya penghargaan lingkungan Kalpataru pada tahun 1987.

George lebih lanjut mendapatkan beasiswa untuk studi untuk Master of Science di Universitas Cornell di Amerika Serikat dengan tesis tentang proses pendidikan dari pembangunan masyarakat di YPMD-Irja, yang selesai pada tahun 1991. Dia kemudian dilanjutkan dengan penelitian untuk PhD dan selesai itu pada tahun 1993 dari universitas yang sama dengan tesis pendidikan publik tentang dampak pembangunan bendungan Kedungombo, Jawa Tengah.

Meskipun demikian, tak henti-hentinya George kritik terhadap ketidakadilan di Timor Timur, ia melawan Angkatan Darat fungsi ganda dan kepentingan bisnis keluarga Soeharto lebih dari cukup untuk menyebabkan kerusakan parah hubungannya dengan rezim Orde Baru.

Untuk memprotes apa yang dianggap tak tertahankan ketidakadilan yang dilakukan oleh negara, ia mengembalikan penghargaan Kalpataru kepada pemerintah.

Setelah diinterogasi oleh pihak berwenang beberapa kali, George memiliki kesempatan untuk melarikan diri dari negara pada tahun 1995 dan mengajar di Murdoch University dan University of Newcastle di Australia dan menjadi orang pengasingan diri di negara tetangga.

Ia kembali ke Indonesia setelah jatuhnya Orde Baru dan sekarang bekerja sebagai konsultan penelitian di Yayasan Tanah Merdeka di Palu, Sulawesi Tengah, di mana ia merasa lebih di rumah, meskipun asal Jawa.

Ketika ditanya mengenai peran wisdoms lokal dalam mengurangi konflik di Indonesia, khususnya di Poso, dia mengatakan bahwa cara pemerintah memanfaatkan instrumen tradisional bisa menjadi bumerang jika mereka tidak dilakukan dengan benar. Dia mengutip contoh dari tradisi tana motambu di Poso di mana pihak-pihak yang diperlukan untuk makan daging kerbau yang dikorbankan, sebelum kesepakatan damai.

“Tapi Presiden Abdurrahman Wahid merindukan bahwa elemen penting dari tradisi ketika ia, sebaliknya, meninggalkan upacara tanpa makan daging,” kata George, yang juga mengajarkan Marxisme di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta.

Nya lahir Poso-istri saat ini sedang belajar untuk gelar doktor di kota.

George memperingatkan bahwa instrumen tradisional mungkin juga malah berkembang menjadi alat otoriter ketika para pemimpin lokal yang memikat untuk memanipulasi mereka untuk memaksakan kehendak mereka pada masyarakat, dan untuk memisahkan masyarakat dengan menyatakan bahwa orang yang bukan dari kelompok mereka adalah orang luar.

“Jadi, hal terbaik untuk menangani konflik komunal adalah memiliki sebuah sintesis antara pendekatan tradisional dan kontemporer,” George membantah. Dia menambahkan bahwa lebih lanjut wisdoms lokal ditantang oleh linguistik dan transformasi masyarakat agama, dan mengidentifikasi penyebab yang paling bertanggung jawab untuk kelanjutan dan eskalasi konflik adalah sesuatu yang tidak boleh dilupakan.

Oleh karena itu, memperlihatkan aliansi antara perusahaan terhubung secara politik dan beberapa elemen militer, yang katanya telah terpinggirkan dan menjadi korban masyarakat lokal di daerah konflik, juga penting.

Ket: pertama kali diterbitkan di The Jakarta Post, 9 Januari 2007

Surat Pembaca

AGENDA SIDANG PGI TENTANG PROTAP?

Sidang Raya PGI ke-15 di Mamasa, Sulawesi Barat dari 18-24 November dihadiri 85 perwakilan dari sinode yang bernaung dibawa Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI). Umat Kristen berharap Sidang Raya ini bisa memilih pemimpin PGI yang berani, beringritas, dan jujur, yang bisa memperjuangkan harapan umat.
Selain itu, umat Kristen pun berharap Sidang Raya ini bisa memberikan respon terhadap pergumulan umatnya. Salah satunya adalah masalah Provinsi Tapanuli yang telah lama diperjuangkan umat Kristen di Tapanuli. Maka pada Sidang Raya menyampaikan sikapnya. Agustus lalu sikap dari HKBP telah disampaikan oleh ephorus, bahwa HKBP meminta masalah Protap jangan ditunda-tunda dengan alasan SARA.
Demikian pula, seperti diberitakan SIB, Sekretaris Jenderal Gereja Kristen Protestan Indonesia Pdt M Simamora STh dan Sekretaris Jenderal Huria Kristen Indonesia, Pdt R Simanjuntak mengatakan asal peluang kesempatan maka utusan GKPI dan HKI akan berusaha menyuarakan masalah Protap menjadi salah satu materi pembahasan pada Sidang Raya PGI di Mamasa, Sulawesi Barat. Sebab, dari sejak awal GKPI dan HKI tetap komit mendukung setiap pemekaran daerah, karena maksud dan tujuan adalah untuk pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak…
Masalah protap adalah kerinduan masyarakat Tapanuli yang kebetulan mayoritas umat Kristen. Kita berharap pada Sidang Raya ini PGI bisa melihat dirinya, PGI dapat merasakan, ada bagian dari dirinya yang masih tertinggal (Tapanuli) dan membutuhkan perhatian…..Selama ini, PGI kurang berani memberikan stanment terkait masalah yang dihadapi Propinsi Tapanuli…….Kita berharap PGI sebagai institusi berani menyampaikan sikapnya? Kita berharap pada sidang kali ini PGI mampu memberikan sika itu.

Hotman J Lumban Gaol, S.Th
seorang wartawan
Email: redaksi.tokohbatak@gmail.com
Weblog: www.http://tokohbatak.wordpress.com

HUMBANG PENGHASIL TERBAIK HAMINJON

Kampung halaman

HUMBANG PENGHASIL TERBAIK HAMINJON Marhaminjon

Jaherbit Marbun, op Stephen Lumban Gao, sedang manige pohon keminyaan
foto oleh Hotman J Lumban Gaol (Hojot Marluga)
Ketika Yesus lahir di Betlehem ada tiga orang majus dari timur datang membawa persembahan. Mereka sampai ke sana berkat tuntunan bintang-bintang. Persembahan mereka terdiri dari emas, mur (damar yang harum), dan kemenyan. Tak ada kisah-kisah para rasul yang menyebutkan dari mana kemenyan itu diambil. Hanya para penulis sejarah yang mengatakan kemenyan berasal dari Tapanuli dengan pintu masuknya pelabuhan Barus. Para pelaut dari Persia (sekarang Iran) yang membawa kemenyaan itu ke dunia luar. Dan jadilah kemenyan sebagai perangkat pengharum upacara keagamaan. Kemenyan Tanah Batak sudah lama dikenal, diperkirakan sejak pelabuhan Barus mulai aktif sebagai pintu masuk dunia ke Tanalui, yaitu di abad ke-13.

Kemenyaan dalam bahasa Batak disebut haminjon, semantara dunia ilmu pengetahuan menyebutnya Styrax Benzoin. Selain di Tapanuli dia hanya ditemukan di Muangthai, Kamboja, dan Vietnam. Muangthai juga disebut orang Siam, karena itu getah yang harum itu dikenal pula dengan nama “Siam Benzoin.” Wilayah Humbang-Hasundutan di Tanah Batak dipuja sebagai sumber haminjon berkualitas terbaik. Sigarang-garang adalah salah satu huta hamijon di wilayah Dolok Sanggul.

Haminjon merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat Humbang-Hasundutan. Sekitar 65 persen warga hidup dari haminjon. Saat ini diperkirakan ada sekitar 16.283 ha lahan yang menjadi sumber kemenyan. Penghasil kemenyan utama adalah Kecamatan Dolok Sanggul, Onan Ganjang, Parlilitan, dan Pakkat, Sijamapolang, Pollung. Tahun 60-an terbentuk organisasi yang khusus mengurusi komoditas ini, Persatuan Pengusaha Kemenyan Indonesia (PERPEKI) berpusat di Dolok Sanggul. Dan pada tahun 1978 berdiri asosiasi Perkumpulan Pedagang/Pengusaha Kemenyan Tapanuli Utara (The North Tapanuli Benzoin Traders Association — BENTRAS).

Bagi parhaminjon, masalah utama yang mereka hadapi adalah soal harga, apalagi sekarang banyak pohon haminjon yang dibabat. Hutan sumber kemenyan telah dimasuki kegiatan Toba Pulp Lestari, pabrik bubur kertas, yang dianggap masyarakat sebagai sumber kerusakan lingkungan. Aktivitas industri itu merambah ke kawasan tangkapan Aek (sungai) Simonggo, yakni Aek Nauli, Simarombun, Pulo, dan Lae Kirta.

Keempat kawasan ini adalah daerah perladangan kemenyan. Saat ini hutan kemenyaan telah ditebangi Toba Pulp Lestari. Perusahaan yang tak henti-hentinya didemonstrasi masyarakat itu memiliki hutan konsesi yang merambah ke wilayah Humbang-Hasundutan, seluas 103.000 ha.
Gota ni haminjon

Gota ni haminjon (getah kemenyan) mengandung asam balsamat yang wangi, maka bias dijadikan parfum dan wangi-wangian serta bias dijadikan minyak untuk ritus-ritus agama. Bau dari wangian haminjon sangat mencolok; itu sebabnya perusahan-perusahan parfum dunia menjadikan haminjan menjadi bahan bakunya. Data menunjukkan, tahun 1990 produsen haminjon utama dari Tapanuli di Indonesia dengan luas tanaman kira-kira 22.670 hektar dan produksi getah sekira 2.000 ton per.

Di Humbang-Hasundutan, selain tanahnya yang cocok ditanami haminjon, sebagaimana haminjon dapat tumbuh dan subur pada areal berketinggian 500 hingga 2.000 meter diatas permukaan laut (dpl). Humbang Hasundutan sendiri sebagai habitat terbaik haminjon pada ketinggian 1.200 hingga 1.500 dpl. Misalnya, di Aeknauli, kecamatan Pollung misalnya haminjon walau baru berusia mudah sudah menghasilkan getah 0,1 kg per sekali panen (6 bulan), itu artinya kontur tanah sesuai dengan pohon keminyaan.

Umumnya kemenyan tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian 900-1200 meter di atas permukaan laut, bersuhu antara 28-30 derajat Celsius di tanah podsolik merah kuning dan latosol. Keasaman tanah antara 5,5 hingga 6,5 dengan kemiringan tanah maksimal 25 derajat.
Keminyaan Setara Emas

Kemenyan menjadi komoditas andalan daerah jauh di bawah kopi dan karet, bahkan sekitar 65 persen keluarga (33.702) hidup dari pohon kemenyan. Keminyan mampu hidup hingga lebih dari 100 tahun.
“Mamiaro hamijon non butuh do kesabaran, Alana ikkon sabar do merawat. Merawat pohon kemenyan itu butuh kesabaran, sebab harus sabar untuk merawat kemiyaan,” ujar J Simanullang, 51 tahun. Salah satu parhaminjon di Sigarang-garang saat ditemui TAPIAN.

Proses pertama adalah maninge adalah cukilan pertama pada batang pohon akan menghasilkan getah berwarna putih. Getahnya ini baru bisa diambil sekitar tiga bulan kemudian itulah disebut mangaluak atau mengambil hasil getah keminyaan. Sebelum manige pertama adalah mangarambas yaitu membersihkan tumbuhan yang ada di sekitar batang pohon yang kira-kira 2 meter.

Alat-alat dalam para parhaminjon adalah agat berbetuk pisau kecil bulat digunakan untuk mengambil getah haminjon. Getah itu menempel di kulit pohon sehingga untuk memanen petani harus mencongkel kulit batang kemenyan. Getah putih yang disebut sidukapi adalah getah yang paling besar dari hamijon dan paling mahal. Dari bekas cukilan itu akan menghasilkan tetesan getah kedua yang disebut tahir biasanya dipanen dua-tiga bulan setelah memanen sidukapi harganya lebih murah.

Biasanya dalam manige ada ritus berdoa dibawa pohon dengan membawa lemak daging babi, kemudian sebelum maninge terlebih dahulu semua peralatan siolesi daging babi. Ada ritus para parhaminjon membuat kue itak gurgur, kue yang terbuat dari campuran tepung beras, gula merah, dan parutan kelapa. Kue itu dikunyah lalu disemburkan ke batang pohon kemenyan yang hendak disadap. Lalu mulailah manguris atau membersihkan pohon. Di Humbang-Hasundutan, Haminjon menjadi salah satu komiditi andalan.***

METODE KAMPANYE YANG RAMAH LINGKUNGAN

METODE KAMPANYE YANG RAMAH LINGKUNGANgurgurma
Oleh Gurgur Manurung
Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2009, hampir di semua wilayah, khususnya perkotaan dijejali oleh spanduk, baliho, brosur dan lain sebagainya. Berbagai macam cara dilakukan para Calin Legislatif (Caleg) dan Calon Presiden (Capres) untuk mempromosikan diri. Meminjam istilah Jusuf Kalla bahwa para politisi kita senang membuat fotonya nebeng di pinggir jalan. Mereka mempromosikan diri dengan mengabaikan aturan.
Hampir tidak ada politisi kita yang berkampanye dengan mempertimbangkan keindahan, dan masa depan lingkungan. Mereka hanya memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa meyadari bahwa kita hidup di bumi yang teramat terbatas. Hampir semua partai politik dan politisi melakukan kampanye dengan cara menambah beban lingkungan. Anehnya, para incumbent pun ikut-ikutan. Bagaimana mungkin eksekutif dapat menertibkan kampanye yang serampangan jika eksekutif juga ikut melakukannya?. Sejatinya, jika ingin populer, mereka dapat belajar dari Al-Gore yang amat popular di se-antero bumi karena membeberkan fakta-fakta kehancuran bumi. Inilah bukti, bahwa di negeri ini terlalu senang dengan politik pencitraan.
Jikalau melihat kota Jakarta yang begitu sesak, ditambah lagi penempelan spanduk, baliho, brosur, dan foto-foto yang menghiraukan aturan, apa yang diharapkan dari mereka?. Jikalau dalam kampanye saja mereka menghiraukan kepentingan publik, apakah mungkin mereka setelah terpilih akan memikirkan publik?. Rasanya, tidak. Mengapa mereka ingin menjadi pejabat publik dengan menyesakkan publik dengan baliho, spanduk, brosur, foto-foto?. Apa sesungguhnya yang dibutuhkan rakyat?. Apa sesungguhnya yang mampu menyentuh hati rakyat?. Bagaimana seharusnya tanggungjawab partai dan politisi terhadap masa depan bangsa dan bumi dalam konteks pemanasan global yang telah mengancam umat manusia di kolong langit ini?. Lagipula, amat menyakitkan jika kalimat-kalimat yang dituliskan melukai hati rakyat.
Sebagai contoh misalnya, iklan di Jl.Gatot Subroto Jakarta foto Menteri Pemuda dan Olahraga Adhiaksa Dault terpampang bersama Presiden SBY dan Wapres JK. Di bawah ketiga orang itu tertulis agar rakyat membudayakan olahraga. Lalu, muncul pertanyaan, dimanakah rakyat Jakarta berolahraga?. Jangankan tempat berolahraga, tempat rekreasi ibu hamil dan anak-anak usia dini untuk bermainpun tidak ada. Tidakkah iklan intu menyakiti rakyat Jakarta yang tidak memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai dengan hak rakyat?. Inilah iklan pencitraan yang irasional.
Jikalau eksekutif bekerja untuk membangun pencitraan dengan cara menghabiskan uang Negara, partai politik dan politisi melakukan berbagai cara untuk mencari biaya kampanye, warisan apa yang kita tinggalkan bagi masa depan bangsa ini?. Jika ini yang terjadi, maka bangsa ini makin lama makin bangkrut. Bangsa ini akan hancur berkeping-keping. Sebab, metode kampanye yang menyebarkan spanduk dan brosur-brosur secara serampangan jika dilakukan 44 partai maka kota semakin sesak. Pemborosan terjadi dimana-mana. Politisi yang tidak terpilih jatuh miskin dan politisi yang menjadi anggota legislatif akan cnderung mengganti biaya kampanye dengan berbagai cara.
Secara rasional, objektif dan realistis sejatinya partai politik dan politisi harus menyentuh rakyat sesuai kebutuhannya. Kebutuhan rakyat tentu berbeda-beda. Kebutuhan rakyat miskin yang terutama adalah kebutuhan pokok dan perhatian. Perhatian dalam bentuk pembinaan. Mereka akan tersentuh jika para politisi memperjuangkan keadilan bagi mereka. Sebaliknya, eksekutif tidak perlu beriklan ria di media cetak dan elektronik apabila rakyat memperoleh haknya. Jika rakyat merasa mendapat haknya, untuk apa eksekutif memasang iklan dengan harga mahal?. Tidakkah mereka secara otomatis akan didukung kembali?. Pencitraan diri dengan mengabaikan hak-hak rakyat mengakibatkan incumbent secara otomatis ditinggalkan rakyat. Ketika rakyat ditinggalkan incumbent merupakan kesempatan emas bagi partai politik baru untuk menyentuh rakyat dengan metode yang mencerahkan rakyat. Sejatinya, kampanye tujuannnya adalah mencerahkan rakyat, bukan membodohi rakyat untuk meraih kekuasaan.

Kampanye yang ramah lingkungan