Sitor: Sastra dan Politik
Sitor Situmorang
Hotman J. Lumban Gaol
Raja Usu, demikian nama yang diberikan Ompu Babiat kepada anaknya yang kemudian masyhur menjadi penyair dan budayawan dengan nama Sitor Situmorang. Ompu Babiat meninggal pada usia 123 tahun. Ompu Babiat adalah panglima perang dari Sisingamangaraja XII yang mendirikan benteng perlawanan terhadap penjajah Belanda di Lintong. Menurut pengakuan Sitor, walau Ompu Babiat dibaptis oleh Zending, namun sampai akhir hayatnya dia tetap menjalakan ritus agama Batak. “Dia tidak makan daging babi. Berambut gondrong, mengunyah sirih, dan tidak pernah menggunakan angkutan modern (mobil) ke mana pun dia pergi. Dia mirip seperti orang Badui Dalam, mempertahankan budaya nenek-moyangnya.” Lukisan lahiriah ayahnya itu direkam Sitor dalam otobiografi Sitor Situmorang seorang satrawan 45 peyair Danau Toba. Riwayat hidup tersebut ditulis 30 tahun lalu, takkala sang penyair berumur 55 tahun. Sekarang, Puji Tuhan, panjang umurnya, dia berusia 85 tahun.
Sitor adalah anak kelima dari sembilan bersaudara. Lahir 2 Oktober 1924 di lembah yang menghampar untuk mengilhami penyair dan para pemuja keindahan, sebuah desa yang bernama Harianboho. Desa tersebut berada di luar pulo Samosir. Dalam salah satu sajaknya, Sitor menyebut Harianboho sebagai lembah yang kekal. Sitor adalah sundut atau tingkatan marga ke-18 dari Situmorang.
Sebenarnya asal-usul marga mereka dari Urat, Samosir. Pada tahun 1908, setelah Perang Batak usai, berakhir dengan wafatnya sang Raja Batak Sisingamangaraja XII, Ompu Babiat pun menyerah pada Belanda dan membangun kehidupan yang baru di Harianboho, keluar dari Samosir. Di sanalah Sitor lahir dan dibesarkan hingga remaja. Untuk mengenang lembah kekalnya, Sitor menulis sajak “Harianboho.” Sajak yang selalu mengingatkannya pada lembah kekakalan, lembah Harianboho, yang tiada duanya. Ke mana pun dia mengembara, di kaki langit yang mana pun dia berpijak, kenangan pada Harianboho tidak terlupakan. Lembah yang kekal itu dia dendangkan dalam sajak berjudul Harianboho:
’Ku yakin menemukan jalan selalu
kembali padamu,
jalan pulang ke landai
di tepi danau
sepanjang pantai
’Ku yakin selalu padamu kembali
di akhir nanti,
saat kembara berakhir,
tiba saat pada musafir.
Di lading dan gerbang
negei-negeri ramah, tapi asing,
kau pun terkenang.
Betapa sering,
puluhan tahun negeri orang,
jadi tamu ragam cinta,
namun penumpang jua.
Karena ketentuan masalalu,
tak dapat diulang,
lahir sekali di pangkuanmu.
Ingatan jadi keyakinan terang.
Di seberang aku berada
kau di telapak terbawa,
menanti di tiap langkah
batu-batu lembah semula.
Cintanya bukan hanya pada Harianboho, juga pada Danau Toba dan Tanah Batak secara umum. Sajaknya, “Angin dan Air Danau Toba” menceritakan saat-saat Sitor muda, dengan menumpang perahu meninggalkan rumahnya di tepi baratlaut Danau Toba untuk melanjutkan pendidikan. Keterikantannya pada negeri Batak seakan tak terlerai. Masa kanak-kanaknya, kehidupan dan tata cara yang direndam dalam mitos Batak kuno menjadi sesuatu yang musykil untuk terlupakan oleh Sitor. Sitor yang berarti berputar-putar dibuatnya Ibunya kalau sedang mencarinya, saking lasaknya ketika masih kecil. Sifat yang ketika dia tumbuh dewasa menjadikannya seorang pengembara, pulang dan pergi ke beberapa negeri Eropa, terutama Belanda, negeri asal istrinya yang kedua, Barbara Brower.
Sitor kecil dididik dalam tradisi pendidikan Belanda. Mengenyam sekolah Hollands Inlands School (HIS) semacam sekolah dasar di Balige dan Sibolga, yang kemudian dilajutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setara SMP sekarang, di Tarutung, dan Algemeene Middelbare School (AMS) setara SMA di Jakarta yang masih bernama Belanda, Batavia. Saat dududk di MULO Tarutung, dia mengalami banyak perubahan, seperti seorang manusia purba yang melihat dunia baru, peradabadan yang asing untuk nenek-moyangnya. Untuk pertama kali melihat mobil dan merasakan sensasi menonton film. Pertemuan Sitor dengan sastra adalah ketika dia membaca “Max Havelaar,” karangan Murtatuli. Buku tersebut dia temukan di perpustakaan kakaknya.
Di MULO Tarutung, Sitor muda gemar pada pelajaran ilmu pasti. Menurutnya, belajar di sekolah Belanda guru-gurunya berlainan; lain guru untuk ilmu pasti, lain guru sejarah, lain pula guru bahasa. Di kelas, dia selalu berada di ranking atas. Kerapkali, guru ilmu pasti mengajar hanya sebentar, lalu menyerahkan murid-murid pada Sitor yang sudah dianggap sebagai asisten guru. Namun, dia menganggap kepercayaan itu sesuatu yang bisa-biasa saja. Menurut dia, kalau ujian ilmu pasti Sitor tidak diuji guru, malah diminta untuk mengawasi teman-temannya sekelas. Alasan gurunya sederhana saja, Sitor sudah dianggap mengerti dan tuntas memahami pelajaran. “Saya jadi profesor kelas tiga. Dulu, sekolah Belanda menyebut semua guru itu profesor. Sayalah profesor sampai kelas tiga,” katanya mengenang.
Tamat dari MULO Tarutung, Sitor melanjutkan studi ke Batavia, nama lama Jakarta. Dia diterima di sekolah Belanda. Belakangan sekolah ini berubah menjadi Perkumpulan Sekolah Kristen Jakarta (PSKD). Dia mendapat kursi di sekolah itu dengan melenggang masuk, tanpa tes. Tetapi, di Batavia Sitor tenggelam ke dalam dunia lain, yang membuatnya malas menghadapi pelajaran. “Malas sekolah, apalagi ilmu pasti, saya malas. Kerja saya hanya baca, baca, dan baca terus.” Namun, kegemaran membaca ini menjadi bekal bagi karirnya kelak.
Dalam periode inilah bakat kepenyairannya mulai menemukan bentuk. Menurut dia, kemampuannya sebagai penyair terbina sejak kecil, melalui kedekatan dan penghayatannya pada acara-acara adat. Sebelum bersekolah sudah terbiasa mendengar pidato-pidato yang bagus yang disampaikan oleh para tetua adat dalam bahasa Batak. “Sejak kecil saya terbiasa mendegar ibu-ibu mangandung,” kenang Sitor. Mangandung adalah satra lisan dalam masyarakat Toba, yang didendangkan seraya menangis dengan syair-syair yang menceritakan kisah hidup orang yang meninggal. Membaca banyak buku-buku sastra dan sejarah semakin mengasah ketajaman kepenyairannya.
“Saya menangkap tema dari pengalaman, pengamatan atau pendengaran yang mengharukan perasaan. Menulis sajak juga soal kepekaan bahasa. Bahasa itu bentuk budaya yang hidup dalam diri kita lewat pendengaran, pengalaman, bergaul dengan manusia lain. Ada bunyi, irama. Makin tambah umur, kepekaan menerima suara-suara, nada-nada, dan irama makin kendor,” katanya.
Sitor pernah menjadi wartawan. Karier jurnalistiknya dimulai tuhan 1942, menjadi redaktur harian Suara Nasional dan pernah menjadi wartawan perwakilan kantor berita ANTARA di Pematang Siantar. Oleh pendiri koran Waspada yang terbit di Medan, tahun 1947 Sitor ditawari untuk menjadi koresponden harian itu di Yogyakarta. Masa itu pusat pemerintahan republik berada di Yogyakarta. Dari kota itulah Sitor mengirimkan tulisan-rulisannya untuk Waspada, sehingga koran tersebut salalu mendapat berita-berita aktual dari pusat. Tidak jelas, mengapa dalam buku “40 tahun Koran Waspada” nama Sitor tidak disebut.
Dia juga pernah menjadi wartawan Berita Nasional dan Warta Dunia. Tahun 1959 hingga 1965 Sitor menjadi pejabat di bidang kebudayaan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bersama berbagai tokoh nasional dalam berbagai bidang dia pernah menjadi anggota Anggota Dewan Nasional, anggota Dewan Perancang Nasional, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan Departemen Perguruan Tinggi pada awal tahun 1960-an. Dia adalah ketua Lembaga Kebudayaan Nasional, sayap kebudayaan dari Partai Nasional Indonesia, sejak organisasi itu berdiri tahun 1959 sampai dibubarkan oleh rezim militeristis Suharto tahun 1965. Tak jauh dari dunia kesenimanan, dia pernah pula menjadi dosen di Akademi Teater Nasional. Pada tahun 1956-57 Sitor malah sempat menekuni sinematografi di California, Amerika Serikat. Anak desa Harianboho ini pernah pula menjadi dosen tamu di Universitas Leiden, Belanda (1981-1991). Dia sering mengembara di berbagai negara Eropa, terutama Negeri Belanda, Perancis, Italia, dan Spanyol. Dia berkunjung ke Beijing awal 1960-an dan menulis puisi-puisi perjalanan tentang Tiongkok. Dia berkunjung ke Singapura tahun 1942.
Di ulangtahunnya yang ke-85 dia tak kelihatan lelah. Matanya menatap tamu dengan cerah. Kalau memberikan tekanan, suaranya tetap tinggi. Gayanya yang khas juga tak berubah: menggebrak, menunjuk-nunjuk, terkadang malah mengguncang pundak lawan berbicara sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Salah satu sajaknya yang paling digemari publik adalah Lagu Gadis Itali. “Ketika menulis sajak itu saya memang menggunakan kekuatan pantun,” katanya. Pandangan politiknya dengan nyata tercermin dalam sajak-sajaknya. “Silakan nilai puisi saya dari puisi, bukan dari politik. Saya memang menulis puisi politik, ada juga yang tidak. Jika politik dinilai merusak bakat saya, itu kesimpulan mereka. Banyak orang yang memaksakan penilaian dengan hanya membaca puisi politik saya. Padahal, mereka juga membaca puisi saya yang non-politis, tapi tidak masuk penilaian. Ini tidak baik. Jika sajak saya dianggap tidak berhasil, silakan. Tapi, itu bukan karena aktivitas saya di politik.”
Dia berteman dengan semua sastrawan dan budayawan. Baginya, satu musuh terlalu banyak, seribu teman terlalu sedikit. Pertemanannya dengan Pramoedya Ananta Toer layaknya kedekatan yang tidak lekang oleh ketuaan. Persahabatan kedua sastrawan besar itu suatu ketika diperingati di Goethe House, Jakarta, di mana Sitor membacakan puisinya ”Blora” sebagai kenangan untuk Pram yang lahir dikota yang dinyanyikan Sitor dalam sajaknya itu.
Penyair dan dramawan Rendra memanggil Sitor dengan sapaan hormat dan bersahabat: Abang. Ketika Rendra meninggal 6 Agustus 2009, Sitor membacakan sajaknya di hadapan jasad temannya itu. Sajak yang dia bacakan itu semula berjudul ”Lagu Malamku Kini.” Namun, sebagai penghormatan pada Rendara judulnya dia tulis ulang menjadi ”Lagu Malammu Kini,” dan semua akhiran ”ku” berubah menjadi ”mu.”
Lagu Malammu Kini
Matranya ombak
zikirnya sungai
bahana hutan
deru samudra
lagu malamu kini
di pangkuan semesta
alam pesta tari
alunan gamelan dewa-dewa
cintamu, cintamu, sempurna!
Menurut Ajip Rosidi, temannya dan sesama anggota Akademi Jakarta, “Mungkin Sitorlah penyair yang paling banyak menghasilkan sajak di Indonesia.” Hampir 600 judul sajak yang dia tulis dalam kurun waktu yang cukup panjang, antara 1948 – 2005. “Dan Sitor sekarang masih hidup dan masih menulis sajak,” tulis Ajip.
Menurut Ajip Rosidi, sajak-sajak Sitor Situmorang yang mulai mendapat ”perhatian besar” adalah yang dia tulis sekembalinya dari perjalanannya ke Eropa untuk pertama kali pada tahun 1950. Waktu itu Sitor merupakan salah seorang seniman Indonesia yang menerima undangan dari Sticusa, lembaga kerjasama kebudayaan Belanda, untuk berkunjung ke negeri bekas penjajah tersebut. Sajak-sajaknya itu, menurut penilaian Ajip, ”… seakan membawakan suasana baru bagi perkembangan puisi Indonesia pada waktu itu, yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai ’zaman puisi gelap,’ karena kata-kata yang membentuk sajak-sajak tidaklah memberikan arti atau citra yang dapat ditangkap oleh pembvaca.” Sajak-sajak Sitor, kata Ajip Rosidi, yang adalah juga seorang penyair dan budayawan penting Indonesia, seakan menghidupkan kembali puisi lama yang tadinya sudah dilupakan orang karena dianggap ketinggalan zaman.
Sementara Harry Aveling, Director of Asian Studies School of Social Science La Trobe University, Australia, melihat sajak Sitor Situmorang banyak berisikan hasil renungan pengalaman religiusnya, sebagai seorang pemeluk agama Kristen. Harry Aveling menjuluki Sitor Situmorang sebagai penyair agung, karena selama 60 tahun lebih terus berkarya dan telah menghasilkan lebih dari 600-an sajak.
Karya Sitor tidak hanya kental dengan tradisi Batak yang kuat, tetapi juga dipengaruhi budaya Barat melalui sastrawan modern Belanda, seperti Slauerhoff. Tema karya Sitor yang menonjol: cinta semu atau tidak kekal, pengembaraan dan siklus abadi kematian dan kehidupan. Setelah pensiun sebagai dosen tamu di Seksi Indonesia di Universitas Leiden (1981-1990), sang penyair sempat tinggal di Pakistan. Pada tahun 2006 dia memperoleh anugrah ASEAN Writes Award dari Muangthai.
Sitor pernah dibui beberapa hari oleh tentara Belanda karena menjalankan profesi sebagai wartawan. Dan pengalaman yang paling pahit adalah ketika dia ditangkap dan ditahan selama delapan tahun oleh rezim Orde Baru tanpa pernah disidangkan. Tidak jelas apa kesalahan yang terlah diperbuatnya, sehingga begitu lama dia menderita di balik jeruji besi. Ada yang menyebut Sitor dibui karena karena keberpihakannya pada gelombang pasang gerakan kebudayaan yang menerjang kebudayaan imperialis, dan dukungannya yang teguh pada sikap politik Presiden Sukarno yang berusaha menyatukan kekuatan bangsa Indonesia baik dari unsur nasionalis, agama, dan sosialis, komunis.
Sitor adalah seorang sastrawan sekaligus seorang politikus. Mengutip ucapan Rendra dalam buku Mengapa & Bagaimana Saya Mengarang, yang ditulis Pamusuk Eneste tentang seniman berpolitik: “….seniman sebagai anggota masyarakat, sebagai bagian dari rakyat yang tidak ikut berkuasa, akan syah dan wajar pula kalau menyuarakan hasrat dan pendapat mengenai kedailan, ekonomi dan politik di dalam karyanya. Tidak bisa karyanya dianggap merosot hanya karena membicarakan politik, sosial, dan ekonomi.
Sitor termasuk dalam jajaran sastrawan Angkatan 45. Menurut dia, keberadaan Angkatan 45 untuk menggantikan Angkatan Pujangga Baru. Menjelang pergeseran dalam babakan sejarah sastra Indonesia itu, berlangsung polemik yang monumental antara mereka yang mau mengadopsi Barat dan mereka yang dengan cemerlang bisa melihat kekuatan budaya Timur sebagai dasar bagi kemajuan bangsa. Perdebatan ini dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan.” Tahun 1953, Sitor mengusulkan satu dikotomi yang mirip dengan pandangan “Pujangga Baru.” Hal inibisa dibaca sebagai tanda bahwa harapannya akan revolusi kejiwaan belum juga terkabul dalam perkembangan budaya.
Sebagai sastrawan Angkatan 45, Sitor mengagumi Chairil Anwar. Sementara pengaruh dari luar diterimanya dari Jean Paul Sartre, Albert Camus, dan Andre Malraux. Terutama Malraux banyak mempengaruhi pemikiran dan karyanya. Gagasan Malraux tentang “museum imajiner” dimodifikasi Sitor menjadi “living museum” atau museum hidup. Dan Malrauxlah yang banyak mempengaruhi kepenyairan Sitor.
Asrul Sani, yang juga termasuk dalam Angkatan 45, menyebut Sitor sebagai penyair yang hebat tapi politikus picisan. Semula, banyak yang mengkritik bahkan menyayangkan Sitor terjun ke ranah politik, karena hal itu akan “mengganggu” bakat kepenyairannya. Pada awal-awalnya, puisi-puisi Sitor membawa gaya sendiri dengan menengok kembali tradisi lama, seperti pantun, dengan renungan pribadi dan ziarah batin.
Sikap politik Sitor sangat kentara dalam sajak-sajak perjalanannya, yang merekam sentuhannya dengan rakyat Tiongkok yang sedang membangun sosialisme. Perjalanannya ke negeri yang beradadi bawah pimpinan Mao Tse Tung pada tahun 1962 di catatat oleh semenmtarakalangan sebagai sajak-sajak perjanalan yang penting yang sangat sarat pandangan politik. Ini bisa dimaklumi karena sdukungannya yang tak tergoyangkapn pada politik Presiden Sukarno yang dekat dengan Republik Rakyat Tiongkok. Aku ingin minum dari kehangatan/ harapan saudara-saudara./ Aku ingin menjabat tangan/ saudarasaudara yang sibuk bekerja./ Aku ingin makan roti ini,/ roti komune, sebagai tanda/ pulihnya pergaulan, setiakawan dan/ harapan antara manusia,/ buat selama-lamanya dalam cinta,/ cita-cita dan kenyataan dunia sosialis. Begitu bait terakhir sajaknya yang berjudul ”Makan roti komune.” Bahasanya sederhana, niatnya jelas. Tak heran jika Ajip Rosidi mencatat: ”Sajak baginya menjadi semacam catatan harian, meski tidak ditulis setiap hari. Dari sajak-sajaknya kita bisa mengikuti perjalanan hidup Sitor sang petualang.” Tidak hanya perjalanan hidupnya, juga sikap politik yang telah dia pilih secara sadar dengan risiko yang agaknya sudah pernah dia bayangkan. Dibungkam! Dipenjarakan! Bertahun-tahun oleh rezim Orde Baru Suharto.
Lawatan Sitor ke Tiongkok merupakan bagian dari acara sebuah delegasi Persatuan Pengarang Asdia-Afrika yang dia pimpin, yang singgah di Tokyo. Di dalam delegasi tersebut ada Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani. Di Tokyo lahirlah sajaknya Dialog dekat patung Hachiro yang dia tulis setelah melihat patung peringatan bagi kesetiaan seekor anjing yang terletak di depan stasiun Shibuya. Perjalanan para pengarang Asia-Afrika itu lalu berlanjut ke Hong Kong. Dari kota dagang, koloni Inggris, ini rombongan bertolak ke Beijing. Selain sajak yang memuja persahabatan di salah satu komune yang terletak di pinggir Beijing itu, lahir pula sajak-sajaknya yang lain, yang dikumpulkan dalam antologi ”Zaman Baru,” seperti Surat dari Tiongkok untuk Reni, Udara pagi di Peking, Lagu-lagu Tiongkok baru, Tiongkok lama, Lukisan-lukisan pekerja Tiongkok.
Delegasi berada di Tiongokk selama dua minggu. Para anggota delegasi memperoleh jamuan kelas satu seraya merasakan jejak perjuangan rakyat melawan Chiang Kai Sek yang berupaya mendirikan sebuah rezim pro-Amerika Serikat di daratan Tiongkok. Saat paling mengesankan bagi Sitor adalah ketika menyaksikan pesta kembang api yang diadakan di Lapangan Tienanmen. Delegasi diundang untuk melangkahi gerbang Istana dan bertemu dengan Mao Tse-tung. Sitor diperkenalkan dan berjabat tangan dengan pemimpin Tiongkok itu. Dari pertemuan tersebut, delegasi diundang makan malam dan dalam kesempatan itu Sitor pun membacakan sajaknya Perayaan yang dipersembahkan kepada Mao dan rakyat Tiongkok. Sitor memang mengagumi Tiongkok, baik yang berhubung dengan komunisme ataupun tidak.
Rekaman jekak perjalanan ke Tiongkok bukan tidak hanya berbau politik. Sitor juga menulis dengan manis Anak Kuba di Peking, dan buat gadis cantik bernama Zoila. Tahun 1968, Sitor mengunjungi Uni Soviet memenuhi undangan Asosiasi Penulis Uzbekistan.
Sitor merasa bahwa para kritikus yang dapat memahami karya-karyanya adalah almarhum Subagio Sastrowardoyo. Pada tahun 1976, Subagio menulis esai sastra berjudul Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor Situmorang. Dalam tulisan itu, Subagio membuktikan bahwa Sitor dipengaruhi oleh simbolisme Perancis. Sedangkan Maria Heinschke, seorang peneliti di Universitas Hamburg yang menulis sebuah buku berjudul Sitor: Mencari Penyair Modern Persaudaraan Baru, menyebut Sitor sebagai penyair yang punya kesadaran modernisme dalam mengungkapakan kebudayaan-kebudayaan dunia. Bagi Heinschke, Sitor menciptakan sebuah karya seni yang mesti dihadapi setiap hal yang melibatkan kehidupan.
Sementara kalangan menyebutkan sajak-sajak yang ditulis Sitor setelah terjadinya perubahan politik drastis pada tahun 1965-66 kembali ke bentuknya yang semula yang muncul pada tahun 1950-an. Subagio Sastrowardoyo menilai Sitor tetaplah seorang musafir yang menulis sajak, pengembara yang tidak bisa memiliki tempat yang berbeda.
Apakah arti agama buat Sitor? “Saya lebih percaya Sianjurmulamula. Saya lebih menghadap ke kiblat di Pusuk Buhit,” katanya. Sitor kagum pada mitologi dan ini terasa pada sajak-sajaknya, seperti Bromo, Pantai Parangtritis, Balige, Gunung Sibayak, Candi Borobudur, Legian, Tanah Karo pegunungan.
Tema Kristen tampil dalam sajak-sajaknya, seperti : Kisah Kias Kristus, Hukum Pilatus, Pesan Ruth Pada Tiap Perawan, Khotbah Baptisan Paskah, yang ditulisannya tahun 1980-an. Menurut Sitor, banyak orang yang menganggap sajak-sajakan tersebut menandakan Sitor telah menemukan jalan kembali ke gereja. Tidak. Dia mengkritik agama baru yang telah menyingkirkan agama kuno Batak.
KM Sinaga, 86 tahun, seorang pengusaha sukses, adalah teman Sitor saat sekolah MULO di Tarutung. Temannya yang lain, yang sudah melampaui usia 90 tahun adalah Amir Pasaribu, seorang komponis Indonesia terkemuka, saat ini berdiam di Medan. Amir adalah seniornya dalam kelompok diskusi Gelanggang Budaya. Untuk kedua rekannya ini Sitor mengabadikannya dalam sajak Lembah Silindung.
Ingat penyair Indonesia ingat Sitor Situmorang. Membicarakan penyair kontemporer Indonesia tidak bisa lepas dari si Ompung ini. Sajak-sajaknya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Selaian sajak, Sitor juga menulis cerita-cerita pendek, esai, dan naskah drama.
Pengalaman yang paling berkesan bagi Sitor adalah saat meliput Konferensi Federal di Bandung tahun 1947. Dengan bermodalkan tuksedo pinjaman dari sahabatnya, Rosihan Anwar, Sitor berhasil wawancarai Sultan Hamid, tokoh negara federal bentukan Belanda, sekaligus menjadi ajudan Ratu Belanda. Sultan Hamid adalah orang yang diplot menjadi tokoh federal, tentu dengan maksud untuk memecah-belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara boneka dalam wadah negara federal.
Wawancara dengan Sitor Situmorang:
Bagaimana ceritanya Amang menggeluti dunia kewartawanan?
Saat Nippon (Jepang) menginjakkan kakinya Batavia, semua orang daerah disuruh pulang ke kampung masing-masing. Sebenarnya untuk melemahkan semangat nasionalisme. Ketika itu, saya sekolah di Batavia, belum selesai, saya harus pulang ke Tapanuli. Di Sibolga, kala itu, ada satu gerakan nasional yang menerbitkan media. Saya menjadi redaktur. Dari sana menjadi wartawan Antara di Pematang Siantar. Lalu bekerja di Waspada. Ada satu masa, saat Muhammad Said, pendiri harian itu meminta saya menjadi kepala perwakilannya di Yogya. Saya dikirim atas permintaan Sukarno yang meminta harus ada wakil Waspada di Yogya. Dalam perjalanan dari Jakarta ke Yogya, saya sepesawat dengan Agus Salim. Ada kenangan yang tidak bisa saya lupakan, saat melihat Haji Agus Salim tidur di lantai, di lorong antara bangku-bangku pesawat, karena dia tidak tahan goyangan pesawat.
Apa yang membuat tertarik jadi wartawan?
Itu tak lepas dari panggilan tugas. Saya memulai wartawan di daerah. Kala itu kita masih muda. Tahun 1943 kemudian bergabung dengan Kantor Berita Nasional Antara, di Pematang Siantar. Kita selalu kagum pada orang-orang yang bekerja di media.
Apa aliran sajak yang Amang anut?
Sajak banyak bentuknya. Saya menerima segala bentuk. Waktu itu, saya berpikir kita punya warisan pantun, kenapa itu tak dipakai. Bukan karena saya memilih sebuah gaya, tapi memang suasana puisinya menuntut seperti itu.
Bagaimana proses kepenyairan Amang?
Sejak di bangku AMS pantun-pantun terngiang di kepala saya. Ada banyak ceceran sajak-sajak dari pengalaman masa kecil. Menangkap tema dari pengalaman, pengamatan atau pendengaran yang mengharukan perasaan. Belum sekolah sudah sering mendengar tonggo-tonggo, semacam doa dalam ritus agama Batak. Juga pidato-pidato yang baik para tetua adat dalam bahasa Batak. Saya anggap bakat itu berkembang. Oleh karena itu, saya sadar untuk membaca sebanyak-banyaknya. Tanpa saya sadari pengalaman masa kecil menjadi bekal di kemudian hari.
Apakah semua sajak Amang ada hubungannya dengan politik?
Silakan nilai puisi saya dari puisi, bukan dari politiknya. Saya memang menulis puisi politik, tapi ada juga yang tidak. Jika politik dinilai merusak bakat saya, itu kesimpulan mereka. Tapi, banyak orang yang memaksakan penilaian dengan hanya membaca puisi politik saya. Padahal dia juga baca puisi saya yang baik, tapi tidak masuk penilaian. Ini tidak bagus. Jika sajak saya dianggap tidak berhasil, silakan. Tapi, itu bukan karena keterlibatan saya dulu dalam politik.
Seperti satrawan Angkatan 45 itu?
Saya tidak membutuhkan pencantuman nama saya sebagai sastrawan Angkatan 45. Ketika itu umur saya 23 tahun. Angkatan 45 punya jalannya sendiri. Chairil Anwar adalah pelopor modernisme dalam puisi Indonesia. Chairil menggarap sajak bebas, pencitraan baru, kekuatan bahasa. Saya terinspirasi karyanya “Aku.”
Amang, merasa nggak di Belanda ada Harianboho. Bagaimana Amang menghadirkannya ketika jauh di negeri orang?
Itu sudah ada dalam diriku. Bahwa ke mana aku berpijak ada Harihanboho. Soal nasionalisme (keindonesiaan) menurut saya sudah selesai. Kalau perlu, bisa dilihat dari sajak-sajak saya. Saya merasa bahwa pengalaman telah memberikan ruang untuk hati saya.
Soal nasionalisme….
Nasionalisme diajarkan oleh Sukarno. Nasionalismelah yang melahirkan bangsa. Bagi saya nasionalisme itu perjumpaan dengan Sukarno. Tetapi, kalau mau meyelami pikiran Sukarno tidak mesti bertemu, bisa juga dari koran-koran. Dulu, kami berlangganan Koran Deli, di sana kita bisa bertemu dengan pikiran-pikiran Sukarno, karena di sana dimuat pidato-pidatonya. Ketemu Sukarno memang ada sensasi tersendiri. Tetapi, harus dipisahakan mempelajari pikirannya tidak musti lewat tatap muka. Bagi saya, Sukarno itu manusia sejarah, dia adalah pemimpin yang mengobarkan semangat nasionalisme. Ketika terjadi krisis identitas kebudayaan mestinya semangat itu berkobar lagi. Nasionalisme bukan hanya mempertahankan harga diri. Nasioalisme itu, dulu, tidak ada tawaran-menawar. Sekarang kita harus sadar bahwa globalisasi membawa benturan terhadap peradaban. Globalisasi tidak bisa dihindari, harus ditanggapi secara kreatif.
Adakah semangat nasionalime dari Batak sana?
Di semua kepulauan itu ada nilai-nilai nasionalisme. Orang yang di pedalaman punya hubungan dengan pesisir. Bahwa dengan hubungan dagang itu harus ada persinggungan. Dari pegunungan turun ke pesisir menjual hasil pertaniannya.
Bisa Amang ceritakan sebagai seorang nasionalis?
Itu konteks zaman. Kita keluar dari Harianboho. Di Tarutung, kesadaran nasionalisme itu mulai mucul di kampung halaman, sebab orangtua saya salah satu panglima perang Sisingamangaraja, jadi ada semangat melawan Belanda. Baru nalar itu sampai saat kita sekolah di Tarutung. Jadi, sejak kecil kita sudah tanggakap semangat nasionalisme itu.
Artinya lingkungan sekolah membantuan mengenal semangat nasioalisme?
Ya, jelas! Dulu sekolah MULO hanya ada di Medan, khusus untuk Belanda. Dua di Tapanuli, di Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan. Dari sana memang generasi pertama Batak yang maju-maju.
Sudah mendengar adanya Sumpah Pemuda?
Saya belum mendengar itu, karena umur saya waktu itu hanya tiga tahun. Jadi, melawan musuh dari luar, itu menciptakan semangat nasionalisme. Penjajahan dan perlawan yang dialami orangtua membawa semangat nasionalisme.
Kaitan dengan orangtua?
Ayah saya pahlawan lokal. Sampai-sampai dia memberikan saya sekolah yang dibangun Belanda. Saya melihat itu konkritnya politik, jadi tidak asal heroik. Kita harus mengerti politik baru kita berbicara nasionalisme. Kita melihat sejak dulu orang Batak dengan Aceh itu akur. Peran Aceh dalam perang yang dilancarkan Sisingamangara amat besar. Sejak dulu sudah muncul kerjasama antara Aceh dan Batak.
Bagaimana hubungan Sisingamangaraja XII dengan Ompu Babiat, ayah Amang?
Ompu Babaiat itu adalah hula-hula dari Sisingamaraja XII. Saya masih ingat, dulu, setiap Tahun Baru, keturunannya selalu berkunjung ke kampung kami di Harianboho. Ompu Babiat, ayah saya sangat dekat dengan keturunan Sisingamangaraja. Ayah saya dianggap sebagai ayah pengganti bagi mereka.
Saol bahasa Melayu?
Bahasa Melayu itu dulu bahasa yang paling umum. Kita ini negeri kepulauan yang terpengaruh dari nesia, sementara bahasa Latin tersebut dipengaruh India.
Bagaimana sastra yang baik itu?
Sastra yang baik harus bersinggungan dengan kenyataan hidup, dan bermanfaat bagi umat manusia. Penikmat sastra mesti bisa menikmati kandungan nilai kemanusiaan, menghayati keragaman manusia. Pramoedya telah menunjukkan hal itu kepada kita. Pram mengolah sejarah dan hidup manusia Indonesia yang bisa bicara ke dunia luar.
Apakah semua sajak-sajak Amang merupakan pengalaman pribadi?
Sajak itu adalah soal bahasa. Bahasa itu bentuk budaya yang hidup dalam diri kita lewat pendengaran, pengalaman, bersinggungan dengan manusia lain. Dalam sajak ada bunyi, irama, itulah sajak. Lalu kepekaan membaca itu merupakan hasil pengalaman dan penghayatan setelah secara rutin main-main dengan bahasa. Bagi saya, sajak itu harus menyentuh hati pembaca, di mana dia menemukan dirinya.
Mengapa Amang ditahan Orde Baru, rezim Soeharto?
Saya ditangkap tahun 1967. Dua tahun setelah G 30 S itu. Suasana waktu itu tentara mempunyai kekuasaan luar biasa. Saya adalah penganut ajaran Sukarno. Jadi orang Sukarnois dianggap lebih berbahaya dari komunis. Kalau mengerti politik, negara kita, di zaman Suharo saya ditangkap, katanya, karena melanggar undang-undang. Undang-undang apa? Tidak jelas. Suharto menjadi presiden karena kudeta dengan lihai. Dan ada insinden yang memicu itu.
Saat Amang dipenjara seperti apa perlakukan yang Anda terima?
Saya langsung ditangkap di rumah saya di Jalan Darmawansa, Jakarta Selatan. Dari sana saya dibawa ke Rumah Tahanan Militer (RTM), dekat daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Memang, saya tidak pernah dipukul. Terhadap isu Sukarnoisme, itu penilaian Amerika. Padahal itu tidak ada. Prasangka ini yang dibakar-bakar oleh Amerika Serikat di Indonesia. Boleh kami dituduh. Tapi kalau Bung Karno disamakan dengan komunis, itu tuduhan bodoh.
Berapa lama Amang dibui?
Praktis saya dibui tujuh tahun. Di Rumah Tahanan Militer itu saya ditahan tiga bulan, tetapi tiga bulan itu seperti tiga abad rasanya. Tidak ada penerangan selama tiga bulan dimasukkan ke sel gelap. Tidak pernah melihat matahari. Saya merasa tiga bulan itu seperti tiga abad. Makan seadanya. Memang tidak ada pemukulan selama dipenjara. Lalu, setelah itu dipindahkan ke penjara Salemba. Di Salemba itulah saya ditahan hingga tujuh tahun lamanya, tanpa pernah ada pengadilan. Tidak pernah ada.
Bagaimana Amang melihat tujuh tahun Anda dipenjara Salemba, apakah itu waktu yang sia-sia?
Memang selama tujuh tahun itu adalah pengalaman yang tidak bisa saya lupakan. Setiap hari kita bisa melihat kepala penjara itu, kalau nggak salah bernama Marzuki. Jika dia berjalan kita selalu merasa seperti berhadapan dengan Negara. Memang kebetulan waktu itu makan sudah sulit. Tetapi, yang paling menyakitkan bukan soal makanan. Yang paling menyedihkan adalah tidak diperkenankan menulis. Kalau ketahuan ada kertas atau pena akan ditahan dalam sel gelap.
Apakah Amang diperkenankan menulis seperti Pramoedya ketika dia dibuang ke Pulau Buru?
Tidak diizinkan. Tahanan seperti saya dilarang membawa kertas apalagi pena. Selalu digeledah. Kalau ketahuan hukumannya kita akan dimasukkan ke tempat gelap. Menyakitkan! Yang biasa menulis dilarang menulis.
Jadi tidak ada lahir tulisan?
Bagaimana!? Menulis apa? Saya tidak boleh menulis apa-apa. Saya ditempatkan di blok “intelektual.” Jadi, sekarang, kalau saya memandang pada umur saya yang ke-85 ini: seluruh perjalan hidup saya, saya merasa tidak ada yang sia-sia. Praktis seluruh pengalaman itu adalah sebagai refleksi bagi saya. Kalau melihat delapan tahun dipenjara sebagai waktu yang sia-sia, tetapi kalau saya menggabungkan semua pengalaman itu, tidak ada yang sia-sia.
Apakah Amang dendam terhadap Suharto?
Saya tidak merasa dendam terhadap Suharto. Tidak ada dendam dalam kamus saya. Ada satu momen yang bisa mengingatkan saya. Ketika saya baru keluar dari penjara Salemba, tahun 1975, seluruh marga Situmorang meminta saya harus pulang ke Bona Pasogit. Ada beberapa perwakilan pengurus Situmorang mendatangi saya, bahwa saya harus pulang ke Harianboho untuk bertemu nenek-moyang saya. Momen itu menyadarkan saya tidak perlu memikirkan yang remeh-temeh seperti Suharto. Saya merasa buat apa lagi memikirkan Suharto, sedangkan saya sudah bertemu langsung dengan nenek-moyang saya. Saya tidak pernah mengingat-igat lagi, apalagi dendam terhadap seseorang termasuk dedam terhadap Suharto. Suharto, menurut saya terlalu kecil untuk dingat-ingat.
Bagaimana kedekatan Amang dengan Sukarno?
Waktu itu saya salah satu anggota Dewan Nasional. Sebagai anggota Dewan Nasional. Dengan begitulah saya sering bertemu dengan Sukarno. Dulu, kalau masuk ke Dewan Nasional dianggap antek Sukarno. Hubungan saya dengan Sukarno bukan hanya soal politik. Saya bisa bertemu dengan Sukarno tanpa janji. Pertama kali saya bertemu dengan Sukarno di Yogyarakta, sebagai waratawan. Ketika Sukarno sudah begitu dekat untuk menjabat tangan saya, dia seperti tertegun sebentar, menatap saya, mengingat-ingat. Kemudian Sukarno menyebutkan sebuah nama, Abner Situmorang, Abang saya. Saya hanya diam. Sukarno mengenal Abang saya ketika dia berkunjung ke Medan dan di lapangan terbang dia disambut oleh Abang saya, yang ketika itu adalah wakil gubernur Sumatera Utara.
Dekat dengan Sukarno, tetapi mengapa Amang dituduhKomunis, ditangkap?
Pada masa akhir jabatan Sukarno, kalau seseoang sudah dibilang Sukarnois maka orang itu dianggap lebih berbahaya dari komunis. Saya pengikuti ideologi Sukarno, tetapi saya bukan pencari keuntungan dari persahabatan dengan Sukarno.
Menyesal menjadi Sukarnois?
Saya tidak pernah merasa bersalah menjadi Sukaris. Sampai saat ini saya masih menganut Sukarnoisme, itu bukan berarti bahwa paham Sukarnoisme yang terbaik. Boleh-boleh saja orang berbeda pendapat dengan saya. Prasangka ini yang salah selama ini. Kalau Sukarno disamakan dengan komunis, itu tuduhan konyol!
Apakah Megawati termasuk penganut ideologi Sukarno?
Apakah kalau anak Sukarno pasti mengerti ajaran Sukarno?! Belum tentu! Ada ideologi dangkal, yang cenderung melihat ideologi Sukarno akan sama dengan anak Sukarno. Yang benar adalah anak ideologi Soekarno.
Apakah Sukarnoisme relevan untuk saat ini?
Saya merasa semangat dari Sukarnoisme itu masih relevan untuk saat ini. Saya belajar banyak masalah kebangsaaan dari Sukarno. Bayangkan, 17.000 lebih pulau di Indonesia, dihuni 300 suku-suku; saya kira tidak ada yang sehebat Sukarno mampu mempersatukan itu semua. Saya tidak ngotot untuk ideologi Sukarno yang paling benar.
Bagaimana pendapat Amang jika ada yang mengaku penganut Sitorisme
Itu tidak mungkin ada. Tetapi, kalau dalam persajakan, terserah. Kalau ada yang menganut Sitor dalam gaya sajak, itu silakan saja. Sajak-sajak saya banyak diilhami sajak-sajak penyair lain.
Soal Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), bisa Amang ceritakan?
Tahun 1959, saya terpilih menjadi ketua LKN. Saya terpilih oleh rapat akbar di Solo dengan saingan terberat saya Nyonya Supeli [zaman Bung Karno dikenal sebagai dutabesar keliling – red.] Saya bangga bisa diterima di tengah-tegah budaya Jawa. Tetapi, dengan begitu saya punya tanggungjawab untuk menumbuhkan budaya nasional. Saya sadar betul hal itu.
Ajip Rosidi, dalam buku otobiografinya, menyebut Sitor mengusulkan dia menjadi sekretais jenderal LKN, tetapi dia menolak karena LKN berafiliasi dengan PNI?
Saya merasa tidak perlu untuk menanggapinya. Kecuali saya melakukan kesalahan. Ketika itu saya harus memberikan kesempatan untuk siapa saja. Kecuali saya mengucapkan satu ucapan yang salah berkait dengan masalah tersebut. Saya tidak perlu komentar soal itu.
Apa agenda LKN?
Sejak dulu Sukarno sudah memikirkan globalisasi, dan itulah yang menjadi salah satu agenda dari Lembaga Kebudayaan Nasional. Globalisasi tidak bisa dihindari, harus ditanggapi secara kreatif. LKN itu memang digandeng partai politik, tetapi pada prisipnya organisasi memberikan kebebasan kepada para budayawan untuk mempersiapkan mental bangsa.
Kenapa sastrawan kerapkali terlibat atau dikaitkan dengan politik?
Sastrawan itu bukan malaikat. Manusia, yang kebetulan sastrawan, tak boleh bersikap tidak ada urusan dengan politik. Jikalau ada yang bilang sastrawan tak boleh berpolitik, itu omong-kosong. Pramoedya besar bukan karena dia Lekra, tapi karena karyanya. Kami menghadapi tantangan imperialis, kami melawan.
Pendapat Amang mengenai penolakan kaum Manifesto Kebudayaan terhadap politik?
Kita harga orang yang tidak berpolitik. Namun, jangan pula berlagak politik itu tidak perlu. Itu tidak benar. Setiap orang sebenarnya sudah berpolitik. Tapi, tidak terang-terangan seperti Sitor. Saya politikus! Kalau mau melawan politik komunis lawanlah dengan sikap politik!
Bisa ceritakan seperti apa kedekatan Amang dengan Sukarno?
Satu waktu, ketika saya menjabat anggota Dewan Nasional. Waktu itu saya tidak memiliki rumah, saya bertempattinggal dengan menempati sebuah garasi, garasi yang sudah rusak ringsek. Sukarno menyuruh ajudannya untuk menemui saya. Melihat keadaan tempattinggal saya ajudan tidak masuk, hanya memberitahu agar saya besok pagi menemui Sukarno. Pendek cerita, saya menemui Sukarno besok paginya. Biasanya, Sukarno jam tujuh pagi rutin menerima tamu tanpa kaitan dengan politik, seperti tokoh bisnis, seperti Dasaad dan lain-lain, juga tokoh-tokoh masyarakat. Jadi, memang siapa saya bisa ketemu tanpa janji?! Lalu, Sukarno bilang ”Kamu tidak punya rumah, ya?” Saya jawab saya, ”Punya.” Lalu, Sukarno balik bilang, ”Kamu tinggal di garasi.” Tanpa panjang lebar, Sukarno meminta salah seorang menterinya, yang berkaitan dengan rumah-rumah yang berada di bawah kontrol pemerintah, untuk mengurus dan memberikan saya rumah di Jalan Darmawangsa, Jakarta Selatan. Rumah besar itu adalah bekas rumah Belanda.
Nomor berapa rumah yang di Jalan Darmawangsa itu?
Saya tidak ingat lagi nomornya berapa. Belakangan saya tahu, ketika saya dipaksa keluar oleh tentara, ada yang berkepentingan untuk menguasai rumah itu. Waktu itu ada konflik antar tentara. Ada beberapa jenderal tidak punya rumah. Ada dua truk memaksa saya keluar, dan semua barang saya dikeluarkan.
Ketika itu Amang pindah kemana?
Saya menumpang di rumah keluarga.
Bagaimana Amang bisa menjadi penulis?
Inti menulis adalah banyak membaca. Orang yang memiliki bakat menulis harus didukung ketekunan. Bakat harus didukung kerja keras. Menurut saya, bakat itu timbul dengan sendirinya. Proses kreatif itu juga dipengaruhi oleh banyaknya saya berkunjung ke daerah-daerah, juga ke Eropa, Amerika.
TAPIAN: Sejak kapan jiwa petualangan Anda muncul?
Sejak masuk sekolah di Batavia, saya sudah malas belajar. Malas sekolah, apalagi untuk ilmu pasti saya makin malas. Kerja saya hanya membaca dan membaca dan membaca terus. Jadi, inti menulis itu harus banyak membaca. Baca, baca, dan baca! Dan dari sanalah kesukaan menulis itu tumbuh. Ketika masih kecil banyak hal yang saya alami. Sejak kecil sudah terbiasa melihat acara-acara adat. Belum sekolah sudah sering mendengar pidato-pidato yang baik yang disampaikan para tetua adat. Sejak kecil saya terbiasa mendegar ibu-ibu mangandung menangisi kemalangan dengan lalu-lagu. ***