wawancara dengan Bondan Gunawan tentang Gus Dur

Kalah, Tapi Wibawa atau Karismanya Tak Hancur

Gus Dur


Tak terhingga jumlah teman dan kenalan Gus Dur, tetapi sedikit yang berdampingan dengan Guru Bangsa itu sejak dia masih melata dalam perjuangan menegakkan demokrasi dan penghormatan terhadap keberagaman kepercayaan dan keyakinan sampai dia duduk di Istana. Di antara yang sedikit itu adalah Bondan Gunawan, sohib Gus Dur ketika mendirikan Forum Demokrasi tahun 1993, dari mana gerakan demokrasi menemukan momentum baru dengan tokohnya seorang yang sangat berakar di kalangan agama, tapi dengan visi kebhinnekaan.
Bondan tidak hanya menjadi teman Gus Dur yang enak dalam diskusi, tetapi juga ketika melonggarkan otot dan syaraf dengan mampir makan-minum di warung-warung sederhana di tepi jalan, berbaur dengan segala rupa orang tanpa merasa kehilangan harga diri.
Pria kelahiran Yogyakarta, 24 April 1948, lulusan fakultas teknik jurusan teknik geologi Universitasa Gajah Mada ini mencapai puncak karier politiknya sebagai Sekretaris Negara. Berdasarkan perintah Presiden Abdurrahman Wahid, dia membuat sejarah dengan masuk ke dalam sarang Panglima Angkatan Perang GAM, Teungku Abdullah Syafei, untuk menyelesaikan konflik Aceh di meja perundingan. Ketika mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, menerima Nobel Perdamaian tahun 2008, mereka yang lupa akan sejarah berharap Susilo Bambang Yudhoyono akan menerima penghargaan serupa. Mereka lupa, Gus Durlah yang membuka jalan menuju perdamaian.
Bondan adalah adik Brigjen Katamso Dharmosaputro, Komandan Korem 072/Pamungkas, yang diculik dan terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Sekarang Bondan memimpin semacam paguyuban politik bernama Gugus Nusantara yang bermarkas di rumahnya di Cempaka Putih. Ke alamat ini suatu hari Gus Dur datang pada hari ulangtahunnya yang ke-68, dan Bondan merayakannya. Akankah teman dekat Gus Dur ini mengulang sejarahnya dengan jurus yang baru ini? Berikut petikan wawancara Hotman J. Lumban Gaol dan Martin Aleida dengan Bondan Gunawan mengenai Gus Dur:

Setelah Gus Dur menjadi presiden perubahan apa yang telah dia lakukan?

Gus Dur telah melakukan perubahan justru sebelum beliau menjadi presiden. Perubahan yang pertama kali beliau lakukan adalah ketika dia memimpin NU. Untuk menjadi ketua PBNU seseorang harus memenuhi ketentuan Dewan Syuro yang antara lain mengharuskan calon memahami Kitab Kuning. Gus Dur melepaskan ketentuan tersebut.
Sesudah dia menjadi presiden, banyak yang kita rasakan. Gus Dus semakin mengembangkan pluralisme dan juga memposisikan semua institusi pada tempatnya, reformasi birokrasi di seluruh bidang. Salah satu yang menjadi konsen beliau adalah bagaimana memisahkan polisi dari angkatan bersenjata. Dan menjabarkan dwifungsi. Itu yang sangat menonjol. Dan berikutnya adalah bahwa Istana Negara dan Istana Merdeka diposisikan dekat dengan rakyat, tidak dibuat jauh dari rakyat. Sehingga sistem protokoler yang selama ini berlaku beliau buat longgar.
Contohnya?
Dalam hal penerimaan tamu. Dia tidak pernah menolak tamu. Asal sampai ke telinganya, Gus Dur akan menerima. Tetapi, karena ketatnya protokol di Istana, maka dia buka pintu pertemuan di Jalan Irian, Menteng.
Forum Demokrasi didirikan dalam rangka apa?
Gus Dur dan teman-temanya merasa bahwa secara seremonial demokrasi ada. Ada pemilu, tetapi tidak ada perubahan bagi kepentingan rakyat. Apalagi pemilu itu tidak memberikan kemungkinan pergantian kepemimpinan nasional sebagaimana mestinya. Kalau hal ini berlanjut terus, tidak baik bagi masa depan bangsa. Tidak dihasilkan pemerintahan yang memikirkan kepentingan umum, yang ada adalah pemerintahan yang otoriter, atau dinasti pemeritahan yang kuat. Oleh karena itu, Gus Dur mengajak kita membangun Forum Demokrasi.
Anggotanya?
Dari berbagai kecenderungan ideologi. Dari teman-teman yang berasal dari berbagai agama, berbagai etnis, tidak ada batasan. Siapa saja bisa masuk. Badan pekerjanya lima orang: Gus Dur, saya sendiri, Todung Mulya Lubis, Marianne Katoppo, Alfons Taryadi. Sementara Marsilam Simanjuntak dan Rahman Tolleng menyusul kemudian. Kelompok kerjanya terdiri dari lima orang. Di dalam perkembanganya kita tidak pernah membatasi siapa yang masuk dalam kelompok kerja tersebut. Forumnya menyelenggarakan diskusi setiap Rabu. Dan kita juga punya pertemuan-pertemuan yang sifatnya terbatas. Ke pertemuan itu Marsilam Simanjuntak, Daniel Dhakidae, dan Rahman Tolleng sering datang.
Di mana pertemuan berlangsung?
Di Gondangdia. Di Jalan Cemara 5. Kemudian kita pindah ke Jalan Moria. Habis dari Jalan Moria kita pindah ke rumah ini (rumah Bondan di Jl. Cempaka Putih Raya). Setelah Gus Dur mendirikan PKB, kepengurusannya berganti, dan beliau mundur dari Forum Demokrasi, kemudian saya yang memimpin.
Bisa diuraikan tentang keputusan Gus Dur sebagai presiden yang memberikan kebebasan bagi masyarakat keturunan Tionghoa untuk merayakan budaya mereka?
Sebenarnya, sebelum menjadi presiden pun beliau bersama saya telah membentuk Yayasan Nur Kebajikan. Tugas yayasan ini utamanya mendorong MATAKIN, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, agar mendapat tempat yang sama di masyarakat. Waktu itu, kita sepakat, bahwa agama tidak harus memperoleh pengakuan pemerintah segala. Karena menurut kita Konghucu itu sudah ada sebelum Indonesia ada. Dasar pemikirannya itu. Mengapa majemuk? Karena sejak dulu Indonesia itu bermacam-macam. Dan keberagaman itu kita perjuangkan supaya diakui. Kita melihat ada kesenjangan. Misalnya bagi mereka yang menikah secara Konghucu kalau melahirkan anak, mereka akan kesulitan mengurus akte kelahiran, karena Konghucu tidak diakui sebagai agama. Itu bukan hanya dialami oleh saudara-saudara kita peranakan Tionghoa. Demikian juga halnya, misalnya, dengan penganut Sunda Wiwitan, atau Parmalim di Tanah Batak sana. Boleh jadi kalau mengaku Parmalim tidak akan bisa mengurus akte kelahiran. Padahal, itu budaya. Parmalim sudah ada sejak dulu. Itulah sebabnya mengapa diupayakan untuk memberikan pengakuan.
Jadi, semua pemikiran itu sudah ada sebelum Gus Dur jadi presiden?
Dia tidak mencari popularitas.
Apa dasar pemikiran Gus Dur mengenai pluralisme?
Pluralisme itu didasarkan pada nilai-nilai lingkungan. Menurut Gus Dur, ketika kemajemukan itu ada maka daya dukung lingkungan akan tinggi. Sesunggguhnya kita diberikan Tuhan berbagai-bagai macam budaya. Dan menurut saya, tidak ada bangsa di dunia ini yang tidak mengeliminir salah satu etnisnya. Misalnya, Amerika Serikat mengeliminir suku Indian, Australia mengeliminir Aborigin, Jerman juga begitu. Indonesia tidak! Di sini semua ada, semuanya punya tempat. Tidak ada kelompok yang disisihkan, walau memang ada yang tertinggal. Di Sumatera, misalnya, ada Suku Anak Dalam, di Papua pun demikian. Tetapi, kita memberikan tempat, dan mereka itu punya hak yang sama seperti suku bangsa yang lain. Itulah yang menurut saya yang dijadikan Gus Dur sebagai pijakan. Bahwa kita ini bangsa yang majemuk. Dia mempertahankan pluralisme, bahkan keyakinan-keyakinannya.
Termasuk mengubah nama Irian menjadi Papua?
Kalau itu memang keinginan masyarakat sana. Kenapa tidak! Setiap provinsi punya bendera, juga kabupaten. Selain merah putih sebagai bendera nasional, tidak masalah kalau ada yang mengibarkan Bintang Kejora. Bagi Gus Dur, Bintang Kejora itu indentitas Papua. Kenapa dilarang? Yang lain ’kan berpikir pendek. Dari dulu nama mereka memang Papua. Sekarang, apakah Tapanuli ingin memisahkan diri dari Indonesia, karena ada Taput ada Tapsel? Kadang-kadang timbul kesalah-pahaman dari mereka yang tidak mengerti secara mendalam tentang pikiran Gus Dur. Gagasan yang visioner dari Gus Dur jarang dipahami orang. Dan dia jarang menjelaskan apa yang menjadi kebijakannya. Kan kalau kebijakan itu dijelaskan bukan kebijakan lagi namanya. Jadi berisiko juga dengan sikapnya semacam itu.

Tetang ketetapan MPRS yang melarang Marxisme yang ingin dicabutnya?

Kita bukan orang-orang yang soliter. Apa urusannya sekarang, kalau ada sebuah idelogi, kalau sesungguhnya kita juga punya embrio ideologi itu. Cinta bangsa itu sikap nasionalisme kita dalam kaitannya dengan Negara. Kita juga memiliki watak kebersamaan yang dalam bahasa dulunya disebut ”gotong royong.” Gus Dur melihatnya dari situ. Bukan masalahnya mau memberi hati kepada PKI. Bukan tujuannya untuk membangun kembali PKI. Jadi, kalau soal itu adalah idelogi yang berada di tengah masyarakat kenapa tidak dikembangkan. Nah, lihat sekarang, lahirnya neolib. Orang, mau tidak mau harus mengakui karena tak adanya kebebasan, maka tidak ada yang mengontrol watak serakah neolib. Nah, ini contoh kongkrit. Secara empiris bisa dirasakan, dan bayangkan, sekarang tokoh politik pastilah orang-orang yang punya uang. Misalnya, Sitorus (DL Sitorus), dia bisa mendirikan partai. Kalau tidak punya uang bagaimana dia bisa mendirikan partai? Jangan harap bisa mendirikan partai kalau tidak punya uang. Nah, hal-hal semacam ini mengakibatkan perubahan dalam sistim nilai.
Sejauh mana pikirian Gus Dur berpengaruh pada Anda?
Saya dan Gus Dur berbeda ideologi. Dia itu NU, saya ini Sukarnois. Tetapi, kami punya kesamaan, pijakan kami adalah masyarakat tradisional. Basis NU adalah masyarakat tradisional, saya juga masyarakat tradisional yang sama yang ada di berbagai daerah. Jadi, pertemuan saya dengan Gus Dur itu bukan pertemuan pertemanan, tetapi pertemauan ideologis.
Orang juga akan bertanya-tanya kapan sebutan “Guru Bangsa” itu melekat pada diri Gus Dur, tahu-tahu dia menjadi guru bangsa. Gus Dur sendiri tidak pernah mempersiapkan, apalagi serius menjadi presiden. Yang lain punya uang untuk menjadi presiden. Gus Dur tidak punya! Waktu itu, sebelum masuk istana, dia tanya saya. “Mas, uang saya cuma tinggal seratus ribu lagi, bagaimana ini?” Lalu, saya bilang, nanti kita cari sama-sama. Jadi dialah presiden yang tidak punya uang.
Apakah Gus Dur lebih baik sebagai Bapak Bangsa daripada presiden?
Ada cerita, tetapi cerita ini sangat dramatis. Mengapa Gus Dur disebut Guru Bangsa. Satu hari, sesudah Forum Demokrasi terbentuk, saya barbicang-bicang dengan Gus Dur berdua. Kami memang sering berbicang-bicang berdua. Dia bercanda dan bilang begini, “Orang menganggap kita ingin menjadi presiden. Mas Bondan, kalau saya jadi presiden, teman-teman saya banyak yang hanya lulusan IAIN. Jadi, menterinya siapa?” Waktu itu tahun 1991, Suharto masih kuat.
Katanya, ”Kalau jadi presiden jangan lama-lama. Cukup dua tahun saja. Tahun pertama kita cabut semua ketetapan-ketetapan yang nggak-nggak itu. Tahun kedua kita siapkan pemilu.” Jadi, dari omongan bercanda itu, yang ada dalam pikiran kita waktu itu adalah bahwa Gus Dur hanya memimpin dua tahun. Setelah itu berhenti. Ketika dia memperingati usianya yang ke-68, dia datang ke rumah ini. Saya minta dia keluar dari percaturan politik. Nggak mau. Dia bilang di depan Magnes Suseno, Rahman Tolleng, dia minta didukung dua tahun lagi untuk terlibat dalam percaturan politik. Seketika itu juga saya jengkel. Tetapi lama-lama saya pikirkan, saya baru ingat kelakuannya. Dia pernah ngomong demokrasi butuh partai. Partai kan alat untuk mencapai kekuasaan. Kita semua di Forum Demokrasi tidak ada yang di partai. Artinya, apa? Kalau mau mengatur republik ini, ya berpartailah. Jadi, caranya seperti itu. Dengan temannya pun tidak pernah ngomong secara eksplisit. Tersirat, tersirat. Begitulah caranya ngomong. Saya juga heran dia sudah dipinggir-pinggirkan kekuasaan tetapi terus berjuang. Jadi kalau ditanya apakah menyesal Gus Dur menjadi presiden? Jawabannya jelas tidak. Dia manusia besar yang mendahului zamannya. Gus Dur presiden atau tidak bagi saya sama saja. Tetapi, saya punya catatan juga, manusia besar kalau membuat kesalahan dampaknya besar juga. Namun, jasa-jasa besarnya akan tetap diingat.
Dekrik itu bukankah kesalahannya yang paling fatal?
Iya. Sebetulnya dia akan membuat apa saja [untuk mempertahankan diri dari serangan lawan politiknya], tetapi seperti yang saya katakan tadi, dukungannya di parlemen hanya sedikit. Jadi dektrit itu upaya terakhir. Tanpa dia buat dektrit itu, dia telah dimakzulkan. Dekrit itu sebenarnya adalah upayanya yang terakhir untuk memukul, walau sebenanya Gus Dur sudah tak berdaya.
Apa isi dekrik itu?
Meminta DPR bubar, meminta Golkar bubar. Hanya saja, saya punya feeling tidak mungkin akan berhasil. Wong orang-orangnya sendiri di parlemen yang akan menderita. Bagaimana dengan anggota PKB yang baru saja kredit rumah dan kredit mobil… Limapuluh tiga anggota DPR PKB akan begok-begok kalau parlemen dibubarin. Saya ngomong seperti itu kepada Gus Dur. Tetapi, dia bilang, ”Biarin saja…”
Sebagai orang yang dekat dengan Gus Dur, kesan apa yang melekat?
Gus Dur itu, kalau pun tidak cocok, dia tidak ingin menyakiti hati orang. Itu yang saya rasakan. Dia orang yang sangat bertenggang rasa tinggi. Sifat itu sudah melekat pada habitnya sehari-hari. Dia adalah orang yang sangat sederhana. Saya tidak pernah melihat dia menikmati fasilitas duniawi yang melekat dalam dirinya. Nggak ada terbersit terlihat oleh saya dia menikmati kemewahan lahiriah. Orang sering keliru, Gus Dur diejek sering jalan-jalan ke luar negeri. Beliau katakan soal itu pada saya. “Saya kalau jalan-jalan itu, yang saya nikmati apa sih Mas, wong saya juga tidak bisa lihat apa-apa.” Dia bilang, kita kan rame di dalam negeri, tetapi kita tak boleh kalah pamor di luar negeri. Dia selalu bercanda dengan mengatakan: “Bung Karno gila wanita. Pak Harto gila harta. Kalau saya gila-gilaan.”
Gus Dur gagal dalam kaderisasi. Benar?
Dia selalu ditanya orang mengapa kaderisasinya tidak jalan? Dia menjawab: Kadernisasinya adalah melahirkan orang-orang yang berani melawan dia. Gus Dur menciptakan kebebasan, mengajari orang mau berbeda, sehingga orang-orang yang dia didik melawan dia. Syaifullah Yusuf, Matori Abdul Djalil, Muhaimin Iskandar, semua! Jadi kalau kita tanya, apakah dia tokoh liberal dalam melahirkan kader. Dia bukan hanya liberal, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa kamu bisa berbeda dengan orang lain.
Dia tidak memukul balik?
Ya, dia pukul balik juga. Tetapi, kadang-kadang dia harus kalah. Karena stamina yang muda-muda lebih kuat dari dia. Muhaimin dekat dengan kekuasaan, dan dengan begitu ia akhirnya mengalahkan Gus Dur. PKB-nya kalah. Tetapi, anehnya kekalahan itu tidak menghacurkan wibawa atau karismanya. ***